ABC

Bahagianya Anak-anak Pengungsi Bisa Bersekolah Kembali di Cisarua

Cisarua Refugee Learning Centre (CRLC) mengelola sebuah sekolah untuk anak-anak pengungsi di Cisarua, Bogor, sejak Agustus 2014. Kini sekolah itu memiliki enam kelas, 12 guru, enam staf serta lebih dari 100 murid. Inilah kisah sebagian murid-murid itu.

Sekolah ini dijalankan oleh lembaga nirlaba asal Australia, Cisarua Learning Inc. dan mendapat dukungan dari banyak pihak termasuk dari Australia. Serikat pekerja sektor pendidikan Australian Education Union misalnya, mengirimkan dua orang guru dua kali setahun ke sekolah ini untuk membantu.

Arzoo dan adiknya Omid

Arzoo dan adiknya Omid. (Foto: Cisarua Refugee Learning Centre)
Arzoo dan adiknya Omid. (Foto: Cisarua Refugee Learning Centre)

"Nama saya Arzoo, umur 12 tahun berasal dari Afghanistan meskipun saya lahir di Pakistan. Keluargaku kembali ke Afghanistan saat saya 8 tahun dan sempat sekolah di sana selama 2 tahun. Sekitar 8 bulan lalu, keluargaku datang ke Jakarta, dan ini merupakan saat yang sulit bagiku. Saya tak punya teman, dan khawatir sebab saya tidak lagi belajar dan bersekolah.

Saya bertanya-tanya apakah ada sekolah buat saya di Indonesia? Saat keluargaku pindah ke Bogor, kami dengar ada sekolah untukku. Saya dan adikku Omid mendaftar namun masuk daftar tunggu selama 6 minggu. Saya sering lihat murid-murid sekolah itu lewat depan rumahku, dengan senyuman dan tas sekolah di punggung mereka. Sungguh saya ingin segera masuk sekolah kembali.

Untungnya, saya dan adikku tidak perlu menunggu lebih lama dan kini aku adalah murid Cisarua Refugee Learning Centre (CRLC). Guru-guruku sangat baik, penuh motivasi dan pekerja keras. Mereka mengajariku bahasa Inggris, dan mata pelajaran favoritku adalah matematika dan sains.

Di awal masuk sekolah, saya tidak bisa bicara dengan tamu-tamu dari Australia sebab saya tidak percaya diri berbahasa Inggris. Tamu-tamu itu membawa banyak buku untuk perpustakaan dan saya membaca sebagian besar di antaranya, sehingga turut membantu bahasa Inggrisku. Kini saya bisa bicara, menulis, dan membaca bahasa Inggris dengan baik.

Saya berterima kasih bagi para dermawan, dan guru-guru yang memberikan pelajaran bermutu.

Saya juga berterima kasih buat ibu dan ayahku yang membantuku belajar. Kalau besar aku ingin jadi ilmuan yang menciptakan sesuatu untuk membantu negaraku. Aku juga ingin jadi pelukis yang bisa melukiskan sakitnya pengalaman perang yang dialami orang di Afghanistan dan Pakistan.

Selain sekolah, aku suka main bola. Kami bermain sekali seminggu dengan guru-guru. Sesudah main bola biasanya kami makan Ashak, makanan khas Hazaragi yang dibuat ibu untuk saya dan adikku."

Sahel dan ayahnya

Sahel diantar ayahnya ke sekolah. (Foto: Cisarua Refugee Learning Centre).
Sahel diantar ayahnya ke sekolah. (Foto: Cisarua Refugee Learning Centre).

Pengungsi yang tinggal di daerah Cisarua berasal dari berbagai negara, dan CRLC merasa beruntung bisa menampung mereka. Setiap pengungsi memiliki kisahnya sendiri, begitu pula Sahel dan ayahnya. Sahel kini belajar di Kelas Persiapan. Inilah kisahnya seperti dituturkan ayahnya:

"Kami tinggal di Cisarua terpisah dari ibunya dan anggota keluarga lainnya. Saya selalu memperhatikan Sahel. Saya adalah ibu sekaligus ayah baginya.

Setiap hari saya mengantar dia ke sekolah ini dan menungguinya hingga selesai. Perjalanan pengungsian kami sangat keras namun Sahel memberiku kekuatan. Pernah dia dapat penghargaan dari guru yang membuatnya sangat bahagia. Begitu pula saya. Saat menunggui Sahel, saya biasanya membaca buku di perpustkaan.

Kami seperti sahabat karib. Di sore hari kami pergi jalan-jalan. Pada malam hari kami main guling-gulingan dan saya selalu mengalah. Dia menggenggam kakiku dan menghitung sampai 3, lalu menjatuhkanku. Dia selalu senang setiap kali menang. Lama-lama dia pun ngantuk dan tertidur.

Sahel banyak bertanya dan saya berusaha sebaiknya untuk menjawab. Dia sering menanyakan hal yang sama, "Kapan paspor kita datang sehingga saya bisa pergi melihat ibu?"

Saya akan memberikan apapun untuk membahagiakan Sahel dan memberinya pendidikan. Mimpiku adalah melihat Sahel sebagai orang berpendidikan di masa depan."

Ahmad Basir Zaffari Tofan

Ahmad Basir Zaffari Tofan. (Foto: Cisarua Refugee Learning Centre)
Ahmad Basir Zaffari Tofan. (Foto: Cisarua Refugee Learning Centre)

"Nama saya Ahmad Basir Zaffari Tofan, umur 15 tahun. Saya lahir di Afghanistan pada tahun 2001. Hidupku ibarat gelombang di lautan. Saya merasa hidupku seperti kapal yang hancur dihantam badai, dan keping-kepingnya berserakan kemana-mana.

Keluargaku terpaksa melarikan diri dari Afghanistan. Kami pindah ke Quetta, Pakistan, saat aku 8 tahun. Awalnya sangat sulit namun aku berusaha menyesuaikan diri. Seiring berjalannya waktu dan aku mulai terbiasa, etnis kami lalu menjadi target. Kami tidak bisa kembali ke Afghanistan, jadi keluargaku datang ke Indonesia.

Kami berada dalam kegelapan. Tidak tahu apa yang akan terjadi dengan nasib kami. Awalnya, sangat sulit bagiku sebagai anak bungsu. Saya tidak punya teman. Mereka semua ada di Pakistan. Namun akhirnya saya ke CRLC. Saya sangat senang.

Namaku ada di daftar tunggu untuk masuk ke sekolah ini. Setahun kemudian saya pun diterima, dan mendapat kesempatan menjadi murid kembali. Kini saya punya banyak teman dan menikmati saat-saat bergelut dengan buku kembali. Saya juga senang karena bukan hanya belajar tapi juga bisa bermain bola.

Inspirasiku bernama Abdul Ali Mazari. Saya ingin belajar politik dan menjadi pemimpin di masa depan."

Asma

Asma. (Foto: Cisarua Refugee Learning Centre)
Asma. (Foto: Cisarua Refugee Learning Centre)

"Saya Asma. Murid di Cisarua Refugee Learning Centre. Saya tadinya sekolah di negaraku Afghanistan sebelum keluargaku melarikan diri dari sana.

Saat kami tiba di Indonesia, saya tidak punya teman. Hidupku sulit rasanya. Namun semuanya berubah saat saya masuk sekolah kembali. Dua kakak perempuanku dan satu adik laki-lakiku semua sekolah di sini.

Saya senang karena bisa belajar lagi. Guru-guru di sini menyenangkan dan mereka mengajariku bahasa Inggris. Saya belajar terus untuk bisa berbahasa Inggris. Guru, kakak dan orangtuaku banyak membantuku.

Sejak masuk sekolah di sini, saya senang karena bisa bertemu dengan banyak orang Australia, mereka ramah dan baik. Kedatangan mereka ke sekolah ini memberiku harapan.

Kelak aku ingin menjadi guru. Ingin mengajari anak-anak lainnya dan memberi mereka pendidikan, sama seperti yang aku dapatkan di sekolah ini."

*Kisah para pengungsi ini dikutip dari Cisarua Refugee Learning Centre Facebook dengan seizin pengelolanya.