Bagaimana Teknologi Pengurutan Genom Bantu Hentikan Penularan COVID di Sydney
Jarum jam menunjukkan lewat malam pada Kamis pekan lalu, ketika Departemen Kesehatan negara bagian New South Wales (NSW) Australia mendapat kabar menakutkan.
Seorang perempuan yang tinggal di pinggiran Kota Sydney dinyatakan positif COVID-19 lewat tes, padahal sudah hampir sebulan kota Sydney tanpa terjadinya penularan.
Perempuan itu seorang pekerja kebersihan di lokasi karantina Hotel Novotel dan Ibis di Darling Harbour, memicu kekhawatiran akan meluasnya penularan.
Ketika para politisi masih berusaha menjawab berbagai pertanyaan, para ilmuwan langsung bertindak.
Keesokan harinya, mereka langsung sibuk untuk mengurutkan genom dari sampel positif tersebut.
Menemukan cetak biru genetik
Untuk menentukan dari mana asal kasus COVID-19, para ilmuwan mencari kasus lainnya yang mengandung materi genetik serupa dan menyusun pohon keluarga dari kasus terkait.
Salah satu metode paling umum yang digunakan untuk itu disebut pengurutan genom nanopore.
Pakar virologi Prof Rowena Bull dari Kirby Institute menjelaskan prosesnya dimulai dengan sampel positif COVID-19.
“Setelah mengambil sampel, mereka kemudian menambahkan beberapa bahan kimia yang dapat membongkar virus dan melepaskan RNA kecil di dalamnya,” kata Dr Rowena kepada ABC.
RNA, atau asam ribonukleat, adalah materi genetik di dalam virus yang mengandung cetak birunya.
“Kalau kita memiliki DNA, maka virus memiliki RNA, yang amat sangat mirip,” jelasnya.
Dari situ, sampel RNA kemudian diolah dengan bahan kimia hingga berkembang biak berkali-kali dan menjadi materi genetik yang kaya. Pada akhir proses, materi itu menjadi DNA.
“Ini proses yang sama ketika sel-sel kita mereplikasi diri di dalam tubuh kita. Namun yang ini hanya dilakukan di dalam tabung reaksi,” kata Dr Rowena.
Model berikut ini menunjukkan RNA virus:
Reaksi kimia yang diperlukan untuk menyiapkan sampel ini bisa memakan waktu lebih dari 90 menit.
Setelah ilmuwan memiliki sampel genetik yang mereka butuhkan, sampel itu kemudian dimasukkan ke dalam perangkat kecil, yang membaca genom minimal dalam empat jam.
Proses ini menghasilkan cetak biru genetik dengan mengamati bagaimana arus listrik berubah saat DNA dilewatkan melalui pori kecil di protein.
Hasilnya adalah cetakan dari 30.000 huruf yang menunjukkan pola unik dari empat huruf RNA yang terdiri dari genom: A, C, G dan T.
Seiring penyebaran COVID-19 di masyarakat, satuan huruf alfabet ini mulai berubah kecil-kecilan, terkadang disamakan dengan ketidaksesuaian yang mungkin Anda lihat saat membuat fotokopi dari lembar yang sudah difotokopi.
Perubahan kecil, atau kesalahan, ini menunjukkan perubahan pada kode RNA virus dan itu menadi kunci untuk melacaknya.
Menemukan kecocokan genetik
Setelah pihak terkait memiliki urutan genetik kasus COVID-19 yang baru ini, mereka harus membandingkan materi itu dengan kasus yang sudah diketahui. Tujuannya untuk mencari tahu kemungkinan sumbernya.
Pada 3 November, kasus COVID-19 baru telah berhasil diurutkan genomnya dalam beberapa jam.
Hasilnya kemudian dicocokkan dengan dua database, yaitu database internasional yang disebut GISAID dan databesa lokal yang disebut AusTracker.
Basis data ini berisi urutan genetik kasus COVID-19 dari semua negara yang berpartisipasi.
Ketika warga Kota Sydney semakin waspada dengan penularan komunitas yang baru, banyak yang menganggap bahwa pekerja karantina hotel telah tertular virus dari seseorang menjalani karantina.
Namun, ada ketidakcocokan. Wanita itu adalah pekerja yang tidak memiliki kontak langsung dengan orang yang dikarantina.
Pada saat yang sama Depked NSW menemukan RNA COVID-19 dalam sampel limbah di bagian lain Sydney.
Pada pukul 5 sore tanggal 4 Desember, petugas pelacak kontak berhasil mendapatkan jawabannya.
Tes menunjukkan bahwa pekerja kebersihan itu terinfeksi jenis COVID-19 dari Amerika Serikat dan pelacakan kontak menyimpulkan kemungkinan berasal dari anggota kru penerbangan yang menjalani isolasi mandiri di salah satu hotel.
Tidak ditemukan kesamaan dengan ke sampel limbah, hotel lain tempat dia bekerja atau jenis virus sebelumnya yang telah beredar di masyarakat.
Otoritas kesehatan tahu dimana virus itu bermula dan dimana berhenti.
Memetakan wabah Rumah Sakit Ryde
Pakar virologi Depkes NSW Profesor Bill Rawlinson berkata salah satu teka-teki paling awal adalah wabah COVID-19 yang terkait dengan Rumah Sakit Ryde pada bulan Maret.
Pada saat itu, otoritas kesehatan sedang menangani wabah di fasilitas perawatan lansia yang terletak tak jauh dari sana, yang terkait dengan pertemuan medis di Liverpool serta warga Australia yang kembali dari luar negeri.
Saat itu sulit memastikan dimana wabah itu bermula dan berakhir.
Klaster tersebut tampaknya dimulai dari seorang dokter yang telah bekerja di rumah sakit, tapi pengurutan genom menunjukkan sebaliknya.
Dalam ilustrasi ini:
- Lingkaran hijau menunjukkan tiga kemungkinan sumber infeksi – satu dokter dan dua pasien atau pengunjung
- Lingkaran merah menunjukkan staf medis yang terinfeksi
- Lingkaran biru menunjukkan pasien dan pengunjung yang terinfeksi
- Garis yang tidak terputus menunjukkan transmisi yang jelas
Pelacakan kontak menemukan:
- Ada berbagai jenis virus yang beredar
- Kebanyakan orang hanya menularkan ke satu orang meski ada yang menularkan ke banyak orang
- Beberapa jalur penularan tidak jelas
- Setidaknya tujuh rumah tangga akhirnya terkena dampak
Menurut Prof Bill Rawlinson, ada beberapa peristiwa dimana orang yang terjangkit jenis virus berbeda kemudian menularkannya ke orang lain.
Misalnya, seorang pasien di rumah sakit diberi gas nebulising ketika mengalami gejala dan tanpa disadari hal ini menyebabkan penularan virus ke sejumlah orang.
Dalam kasus lain, mereka mengidentifikasi kesalahan pada alat pelindung diri (APD) yang dikenakan tenaga medis.
“Hal itu memberi kami informasi bagaimana melacak orang-orang ini dan bagaimana mencegah penularan virus lebih lanjut,” kata Prof Bill.
“Kami jadi tahu bahwa sebagian besar penularannya bersifat lokal,” jelasnya.
Membuktikan teknologinya bekerja dengan cepat
Pengurutan genom dan pelacakan kontak telah meningkat selama pandemi COVID-19.
Pada awal Maret, Depkes NSW menghubungi lembaga Garvan dan Kirby untuk meminta bantuan dalam memetakan penularan COVID-19.
Saat itu, sampel masih dibawa dengan berjalan kaki dari satu laboratorium ke laboratorium lainnya dalam tempat pendingin.
“Pada gelombang kedua kami sudah memiliki semua metodologi yang diperlukan,” kata Prof Rowena Bull.
“Setelah menerima sampel di pagi hari, malamnya kami sudah bisa menentukan apakah urutan genom itu ada di dalam kelompok tertentu atau di kelompok lainnya,” katanya.
Kunci untuk mempercepat proses ini adalah teknologi pengurutan genom yang disebut nanopore.
Teknologi nanopore yang dikembangkan Oxford sebenarnya telah berusia hampir satu dekade, tapi hingga saat ini teknologi tersebut hanya terbatas pada laboratorium-laboratorium terbaik.
Ada kekhawatiran metode ini tidak seakurat metode lain yang disebut Illumina, namun unggul dalam soal waktu penyelesaian yang jauh lebih singkat.
Kolaborasi antara Garvan Institute, Kirby Institute, dan Depkes NSW membuktikan manfaat menggunakan pengurutan nanopore ketika sampel diperlakukan dengan cara tertentu dan dianalisis dengan benar.
Mereka membuktikan bahwa metode nanopore tidak mengorbankan akurasi hasilnya.
“Secara tradisional, butuh waktu lama untuk mengurutkan seluruh genom. Dalam wabah sekarang, teknologi ini dapat digunakan cukup cepat, dan di situlah kelebihannya,” kata Prof Rowena.
Penelitian tim ini telah dipublikasikan di jurnal Nature Communications.
Kepala teknologi genom pada Garvan Institute Dr Ira Deveson mengatakan temuan nereka membuka pintu bagi laboratorium lainnya untuk melakukan pelacakan genetik virus corona semacam ini.
“Kelebihan utama dari instrumen nanopore ini bukan hanya karena ia kecil, tapi juga tidak memerlukan banyak keahlian, atau infrastruktur laboratorium khusus,” katanya.
Dr Ira berkata, dengan hasil penelitian ini mereka telah menghilangkan hambatan yang ada agar teknologi ini dapat diadopsi lebih lanjut oleh pihak lain.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Science