ABC

Bagaimana Rasanya Menjadi Muslim di Pedalaman Australia

Pelbagai peristiwa serangan teroris yang mengatasnamakan agama Islam di berbagai negara, seringkali berdampak terhadap para pemeluk agama ini yang sama sekali tidak tahu-menahu.

Inilah pengalaman empat warga Gippsland, kota pedalaman Australia, mengenai kehidupan mereka sebagai seorang muslim dan bagaimana warga lainnya terkadang salah paham tentang Islam.

'Saya merasa terlindungi, aman dan kuat'

Yumna Ahmed (23) baru saja menyelesaikan pendidikan S2 bidang bioteknologi. (Foto: ABC/Zoe Ferguson)
Yumna Ahmed (23) baru saja menyelesaikan pendidikan S2 bidang bioteknologi. (Foto: ABC/Zoe Ferguson)

Yumna Ahmed datang ke Australia bersama keluarganya di tahun 2009. Dia lahir dan besar di Pakistan dan keluarga muslim.

"Saya melihat orangtua menjalankan ibadah, dan saya pun mengikutinya," katanya.

Menurut dia, "Hak-hak perempuan dihargai dalam Islam dan sebagai muslimah memiliki banyak hak".

Yumma yang baru saja menyelesaikan pendidikan S2 bidang bioteknologi mengatakan bangga bisa bebas menjalani pendidikan sebagai seorang muslimah.

"Saya sekolah – ini salah satu hak seorang muslimah, sebagaimana dikatakan nabi. Belajar itu wajib bagi orang Islam, makanya saya suka agama ini," katanya.

Yumna mengakui jilbab yang dikenakannya justru membuatnya merasa kuat dan bukannya tertekan sebagaimana seringh disalahpahami oleh sebagian orang.

"Orang tidak percaya bahwa saya justru merasa kuat," katanya seraya menambahkan, banyak kesalahpahaman yang menganggap muslimah berjilbab karena dipaksa oleh suaminya.

"Saya belum menikah, saya lihat ibu mengenakannya dan makanya saya ikuti. Namun setelah dewasa saya secara sadar melakukannya. Saya bayangkan bagaimana rasanya kalau tanpa jilbab," katanya.

"Saya merasa terlindungi, aman dan kuat. Makanya saya pakai jilbab," kata Yumna.

Dia menyatakan kalau di depan umum seringkali dia merasa harus tersenyum kepada orang lain demi menghindari kesan buruk terhadap Islam.

 

'Hak-hak saya dijamin dalam Islam'

Ida Azhari (33), asal Malaysia, yang dia sebut "kepompong yang aman". (Foto: ABC/Zoe Ferguson)
Ida Azhari (33), asal Malaysia, yang dia sebut "kepompong yang aman". (Foto: ABC/Zoe Ferguson)

Ida Azhari datang dri Malaysia ke kota Churchill dua tahun lalu – dan langsung mengubahnya jika dia berada di depan umum.

"Di Malaysia hampir semua orang muslim dan Islam juga jadi agama resmi. Kita seperti dalam kepompong. Jadi saat pertama tiba di sini, rasanya langsung beda,' kata Ida.

"Tentu saja kita jadi menonjol karena berjilbab. Sementara di Malaysia banyak orang seperti saya," katanya.

Kehidupannya di kota kecil Churchill lebih banyak pengalaman positifnya, kecuali di saat-saat terjadi serangan teroris di Australia atau di negara lain.

"Jika ada berita tentang ekstrisme, saat-saat seperti itu membuat saya tidak nyaman sebab khawatir bagaimana orang lain bereaksi. Jadi saya berusaha agar jangan sampai mempengaruhi saya dan membuat saya paranoid karena toh warga di sini sangat mendukung," kata Ida.

Namun jika dia benar-benar merasa tidak aman, dia tidak akan keluar rumah daripada harus melepas jilbabnya di luar sana.

"Jilbab ini sudah menjadi bagian dari kehidupan saya. Saya tidak mungkin keluar rumah tanpa mengenakan jilbab," ujarnya.

"Orang melihat jilbab sebagai tekanan terhadap perempuan mungkin karena melihat bahwa hanya wanita yang harus menutupi kepala dan lelaki tidak. Makanya mungkin hal ini dianggap sebagai tidak adil," ujar Ida.

"Kami percaya pada perintah Tuhan yaitu untuk menutup kepala. Kami senang menjalankannya," tuturnya.

Ida mengatakan perlunya membedakan antara agama dan budaya. "Tidak ada agama yang mendorong pembunuhan dan kekerasan," katanya.

 

'Saya merasa sebagai orang Australia, kebetulan saja muslim'

Tareq Ahmed Mamen berasal dari Bangladesh. (Foto: ABC/Zoe Ferguson)
Tareq Ahmed Mamen berasal dari Bangladesh. (Foto: ABC/Zoe Ferguson)

Lahir dan besar di Bangladesh, Tareq Ahmed Mamen telah menganggap kota kecil Traralgon sebagai kampung halamannya dalam satu setengah tahun terakhir.

Tareg mengaku menikmati kehidupan sebagai muslim karena adanya prinsip kesetaraan.

"Setiap individu setara dalam Islam. Tidak dibedakan kaya atau miskin, budaya, bahasa atau etnisnya. Semua sama menurut konsep Islam," katanya.

"Di Bangladesh banyak masjid jadi kita bisa kemana saja dan tidak perlu kuatir untuk shalat. Namun di Australia tidak banyak masjid dan lebih-lebih lagi di daerah Gippsland kami tidak memiliki tempat beribadah yang memadai.

"Namun kami berbagi ruangan dengan agama lainnya di kampus Federation University di Churchill," kata Tareq.

"Saya merasa sebagai warga Australia dan menjadi bagian dari masyarakat setempat. Kebetulan saja saya beragama Islam," ujarnya.

 

'Agama ini bermula dari ajaran damai'

Dr Zafar Iqbal Zafar telah bermukim di kota Traralgon selama 8 tahun. (Foto: ABC/Zoe Ferguson)
Dr Zafar Iqbal Zafar telah bermukim di kota Traralgon selama 8 tahun. (Foto: ABC/Zoe Ferguson)

Dr Zafar Iqbal Zafar, kelahiran Pakistan dan telah bermukim di kota Traralgon selama delapan tahun.

"Australia sangat terbuka. Mayoritas penduduknya jujur dan ramah. Tentu saja ada orang yang sikapnya sama seperti Donald Trump di dalam masyarakat Australia," katanya.

"Melihat segala peristiwa di negara lain terutama di Timur Tengah, saya sendiri tidak menerima jika mereka menyebut dirinya sebagai orang Islam," kata Dr Zafar.

Sebab, menurut dia, orang Islam sejati selalu berpihak pada jalan damai.

"Agama ini bermula dari jalan damai. Ajaran Islam dan pegalaman kehidupan Nabi Muhammad penuh dengan pengampunan, kedamaian dan harapan," katanya.

"Kami menghargai kebenaran, percaya pada kejujuran, dan dilarang membunuh, dilarang mencuri. Inilah hal-hal mendasar dalam ajaran agama termasuk agama Islam," kata Dr Zafar.