ABC

Bagaimana Menghadapi Keterlibatan Perempuan dalam Bom Bunuh Diri

Sulit untuk memahami bahwa ada orangtua yang menggunakan anak-anak mereka untuk melakukan aksi pemboman bunuh diri, seperti yang terjadi di Indonesia awal bulan ini.

Itu sekaligus menjadi taktik teror yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara ini.

Dipercaya bahwa keluarga yang beraksi di Surabaya merupakan bagian dari kelompok Jemaah Ansharut Daulah yang diilhami ISIS.

Setidaknya dua hal mungkin menjelaskan hal itu, yakni propaganda ISIS dan peningkatan jumlah perempuan yang terlibat ekstremisme di Indonesia.

Apa pun penyebabnya, menurut Nava Nuraniyah dari Institute for Policy Analysis of Conflict, Indonesia kini memerlukan metode deradikalisasi baru.

Pendekatan ISIS

Serangan yang dilakukan satu keluarga menjadikan ISIS berbeda dari organisasi teroris lainnya seperti Al-Qaeda yang menarik kaum pria untuk berperang.

“Ini tidak kami pahami. Bahkan bagi generasi Jamaah Islamiyah (JI),” kata Nava kepada ABC.

“Mantan anggota JI bahkan tidak bisa percaya bahwa ISIS menggunakan anak-anak,” katanya.

“Sejak ISIS muncul, impian mereka adalah bermigrasi sebagai seluruh keluarga ke wilayah khilafah (negara Islam),” tambahnya.

Namun tidak semua orang yang mau bisa melakukannya.

“Bagi mereka yang tertinggal di Indonesia, mimpi mereka masih sama. Dan mungkin bom bunuh diri satu keluarga menjadi cara mereka mencapai tempat yang lebih baik sebagai satu keluarga,” kata Nava.

Ekstrimisme perempuan

Menurut Nava, serangan di Surabaya tidak mungkin terjadi “tanpa kesediaan para wanita itu sendiri”, yang menjadi satu poin lainnya sebagai pembeda ISIS.

“JI secara aktif mencegah wanita yang bersemangat berpartisipasi dalam aksi-aksi pertempuran,” katanya.

“Mereka ini organisasi hierarkis tradisional dan hanya laki-laki yang dapat berbaiat, karena menurut mereka peran utama perempuan yaitu menjadi ibu dari para jihadis masa depan,” jelasnya.

“Bagi mereka, tidaklah strategis melibatkan perempuan dalam perang, dalam pertempuran, karena hal itu akan mengurangi kesempatan memiliki lebih banyak anak,” tambah Nava.

“Sedangkan bagi ISIS, perbedaan yang mencolok yaitu lebih banyak wanita dari Eropa, Amerika, bahkan Australia, yang sangat aktif sebagai propagandis di media sosial,” ujarnya.

Para propagandis asing ini menjadi contoh bagi para perempuan pendukung ISIS asal Indonesia.

“Mereka bilang, jika para wanita ini bisa melakukannya maka kita juga bisa. Dan mereka melakukannya di 2016,” katanya.

Tahun itu untuk pertama kalinya seorang perempuan, Dian Yulia Novi, berencana meledakkan dirinya di Istana Presiden di Jakarta namun digagalkan oleh polisi.

Menjanjikan pengampunan

Ide tentang pengampunan dosa merupakan faktor lain di balik radikalisasi kaum perempuan, dan menurut Nava, merupakan motivasi bagi Dian.

“Dia percaya ayahnya telah melakukan dosa. Jadi itu caranya membantu ayahnya,” kata Nava.

“Dia diberitahu jika melakukan pemboman bunuh diri atas nama Tuhan maka dia dapat menyelamatkan 70 anggota keluarganya,” jelasnya.

Seorang pembom bunuh diri lainnya, Ika Puspitasari, sedang mencari mengampunan untuk kebiasaannya minum alkohol, dan juga alasan lainnya.

“Dia biasa memberikan uang ke ISIS sebagai bagian dari ‘jihadnya’, seperti yang mereka katakan,” katanya. “Tapi karena dia kehilangan pekerjaan, dia lalu menawarkan dirinya, karena tidak bisa lagi memberi uang untuk jihad.”

Keyakinan tibanya hari kiamat

ISIS mempromosikan ide tentang hari kiamat, bertepatan dengan kedatangan Imam Mahdi, yang menurut mereka terjadi di Suriah.

Karenanya, orang Indonesia yang ke Suriah “bermaksud mati di sana dan tidak kembali”, kata Nava Nuraniyah.

“Mereka ingin menjadi bagian dari hari kiamat, dan mereka ingin anak-anak mereka juga berada di sana,” katanya.

ISIS menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan hari kiamat ini, serta mempromosikan manfaat bermigrasi ke Suriah.

Ummu Sabrina, yang menulis blog tentang pengalamannya bermigrasi dari Indonesia ke Suriah dengan suami dan anak-anaknya, menggambarkan betapa di Suriah dia mendapat apartemen baru dan belanjaan gratis, perawatan kesehatan dan pendidikan untuk anak-anaknya.

Menurut Nava manfaat seperti ini merupakan daya tarik utama bagi kaum perempuan.

“Citra sebuah negara yang akan memberi kesejahteraan kepada Anda – bukan hanya menarik para pria,” katanya.

Deradikalisasi keluarga

Nava Nuraniyah mengatakan radikalisasi tidak memiliki satu penyebab saja, sehingga menyulitkan efektivitas program deradikalisasi.

“Program deradikalisasi kami biasanya mengacu pada program di penjara untuk narapidana teroris, bukan yang preventif,” katanya.

Dia mengatakan program seperti itu berhasil dan tingkat residivisinya rendah.

“Tapi jelas itu bukan satu-satunya ukuran,” tambahnya.

Indonesia belum memiliki program untuk menangani deradikalisasi bagi seluruh anggota keluarga.

“Sebelumnya ketika polisi berusaha meradikalisasi laki-laki, mereka terkadang menggunakan perempuan. Memberikan bantuan keuangan untuk bertahan hidup, sehingga mereka bisa menekan suami untuk bekerja sama,” katanya.

“Tapi kita tidak bisa melakukan hal itu jika seluruh anggota keluarganya mengalami radikalisasi. Kita tidak punya pengalaman dalam hal itu,” tambahnya.

Dia mengatakan mentoring, strategi yang berguna dengan menangani narapidana teroris, terbukti bermanfaat.

Mentornya lebih baik jika mantan jihadis, meskipun itu bukan keharusan. Yang penting seseorang yang berpengalaman menangani orang-orang radikal.

“Kita membutuhkan pekerja sosial berdedikasi yang dilatih dalam program mentoring ini,” katanya.

“Kita tidak bisa langsung memperdebatkan dogma agama. Ini terutama untuk membangun kepercayaan, membantu mereka kembali ke masyarakat, mendapatkan pekerjaan baru,” jelas Nava.

Petunjuk dari mereka yang dipulangkan

Antara tahun 2013 dan 2017, diperkirakan sekitar 500 orang Indonesia dideportasi dari Turki setelah menyeberangi perbatasan ke Suriah.

Dari kelompok ini, sebagian besar (60 persen) merupakan perempuan dan anak-anak.

Ketika tiba kembali di Indonesia, perhatian utama mereka adalah membangun kembali kehidupannya.

Sebelum bermigrasi ke Suriah, mereka biasanya menjual seluruh harta bendanya dan kini kembali tidak memiliki apa-apa lagi.

“Pertama-tama mereka membutuhkan KTP dan kemudian perlu mendapatkan pekerjaan. Mereka perlu sekolah yang akan menerima anak-anak mereka tanpa stigmatisasi. Jadi semua kebutuhan dasar itu terlebih dahulu,” jelasnya.

Nava mengatakan harus dipastikan bahwa mereka yang dipulangkan ini dipantau terutama kaum perempuannya.

Kelompok itu dapat diperiksa, katanya, untuk mencari tahu mengapa mereka pergi sebagai keluarga dan apa yang mereka ingin lakukan di Suriah.

“Tidak ada jawaban yang mudah. Saat ini kita hanya berupaya semaksimalnya,” katanya.

“Bagi kami ini masih dalam tahap percobaan,” tambahnya.

Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.