ABC

Australia Tetap Pertimbangkan Salurkan Pencari Suaka ke Kamboja

Australia akan terus menawarkan Kamboja sebagai tempat penyaluran bagi pengungsi di Nauru, terlepas dari kekhawatiran Canberra mengenai kecenderungan negara kerajaan ini yang mengarah ke otoritarianisme.

Pemimpin militer Kamboja sebelumnya menegaskan untuk “menghancurkan” siapapun yang tidak mendukung Perdana Menteri Hun Sen, yang menyebut wajar saja mengorbankan 200 nyawa demi tetap berkuasa setelah 32 tahun.

Hun Sen secara efektif akan terpilih tanpa hambatan dalam Pemilu tahun depan setelah pengadilan membubarkan partai oposisi utama dan pimpinan parpol itu kini ditahan.

“Penempatan di Kamboja tetap menjadi pilihan bagi para pengungsi yang berada di Nauru,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT).

“Pilihan ini sukarela dan terserah masing-masing pengungsi untuk mempertimbangkannya,” tambahnya.

Pemerintah Australia mencapai kesepakatan menjadi Kamboja sebagai penempatan pengungsi untuk tinggal di sana, terlepas dari pernyataan Australia sendiri yang prihatinan mengenai pemberangusan hak-hak politik dan kebebasan lainnya.

“Kami sangat prihatin dengan serangkaian tindakan Pemerintah Kamboja yang bermasalah, termasuk pembatasan akses terhadap kebebasan media, tindakan yang kian keras terhadap masyarakat sipil serta pembubaran partai oposisi utama Kamboja,” kata juru bicara DFAT pada 28 November 2017.

“Perkembangan ini berimplikasi serius bagi demokrasi di Kamboja,” tambahnya.

Scott Morrison
Kesepakatan Australia- Kamboja tentang penempatan pencari suaka disetujui tahun 2014 saat Scott Morrison menjabat Menteri Imigrasi.

Reuters: Samrang Pring

LSM Human Rights Watch (HRW) mengatakan bahwa pernyataan Australia mengenai HAM di Kamboja tampakknya merongrong kebijakan terkait pengungsi.

“Pemerintah Australia menyatakan keprihatinannya terhadap hal ini. Namun kita tahu bahwa pengungsi yang melarikan diri dari penganiayaan, yang mereka butuhkan adalah keamanan, mereka tidak perlu dikirim ke negara yang menghadapi krisis HAM,” kata direktur HRW Australia Elaine Pearson.

Rakyat Australia berhak mengetahui

Pemerintah Australia menolak untuk menjawab berapa banyak pengungsi yang masih menjadi bagian dari program penempatan di Kamboja yang menelan dana $ 55 juta tersebut.

Pada bulan Mei lalu tercatat ada tiga pengungsi yang ambil bagian, seorang pria asal Rohingya dan dua pria asal Suriah.

“Kami tidak akan mengumumkan rincian data pribadi atau lainnya berkaitan dengan mereka yang menerima penempatan di Kamboja secara sukarela,” kata juru bicara Departemen Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan Australia (DIBP).

Pertanyaan lanjutan yang diajukan ABC tidak terjawab oleh pihak DIBP.

“Sepertinya saat ini segala hal terkait pengungsi dan pencari suaka di luar negeri diperlakukan seperti masalah keamanan nasional. Jelas hal itu kurang bagus,” kata Pearson dari HRW.

"Rakyat Australia berhak mengetahui ketika puluhan juta dolar uang rakyat Australia dipergunakan dalam mendukung Pemerintah yang dilanda krisis HAM untuk sejauh ini kurang dari belasan orang," ujarnya.

ABC mendapatkan informasi dari sumber di Kamboja bahwa ketiga pengungsi tersebut kini masih berada di Kamboja.

Pria asal Rohingya, Mohammed Roshid, digambarkan “tidak begitu bahagia” dan tampak sangat tertekan saat diwawancarai oleh ABC tahun lalu.

Sumber itu menambahkan, dua pria asal Suriah masih menunggu janji Pemerintah Australia untuk menyatukan mereka dengan keluarganya.

Sedikitnya empat pengungsi lainnya juga menerima penempatan di Kamboja namun kemudian memutuskan kembali ke negara asalnya.

DFAT menjelaskan kepada ABC bahwa bantuan sebesar $ 40 juta yang ditawarkan untuk kesepakatan penempatan di Kamboja dibelanjakan dalm empat tahun untuk program yang ada, termasuk produksi beras dan pembersihan ranjau darat.

Sedangkan pertanyaan tentang $ 15,5 juta yang diberikan kepada Organisasi Migrasi Internasional untuk penanganan pengungsi, pihak DFAT merujuknya ke DIBP, yang tidak menjawabnya.

Pemberitaan Hun Sen

Setiap pengungsi yang menerima tawaran Australia untuk menjalani kehidupan di Kamboja akan menemukan negara tersebut sedang menindaki hak-hak azasi manusia.

Dengan dukungan dana dan politik dari China, PM Hun Sen mengabaikan demokrasi dan HAM, mengungkap sosoknya yang bertekad mempertahankan kekuasaan dengan biaya apapun.

Pada Sabtu pekan lalu, mantan komandan Khmer Merah menggelar peribadatan di Kuil Angkor Wat sebagai bentuk rasa syukur atas “perdamaian dan stabilitas” di negara itu. Upacara itu lengkap dengan penari tradisional, ribuan biksu dan kroni-kroni pemerintah.

Wearing Purple, Hun sen lights a symbolic candle in the gold decorated interior of the Angkor Wat temple
PM Hun Sen dalam suatu upacara di Kuil Angkor Wat.

Reuters: Samrang Pring

Ritual tersebut biasanya diperuntukkan bagi raja, namun kali ini Hun Sen yang berada di tengah panggung, bukan Raja Sihamoni.

Serangan Hun Sen terhadap oposisi, media dan masyarakat sipil dilakukan setelah pemilihan lokal pada bulan Juni menunjukkan hasil yang mengancam partai berkuasa.

Selain membubarkan partai oposisi, Hun Sen juga menjadi lawannya, Kem Sokha, ditangkap dengan tuduhan pengkhianatan, berdasarkan pidato yang disampaikan di Melbourne.

Kecenderungan yang terjadi di Kamboja saat ini memicu kekhawatiran internasional.

Pada Senin (4/12/2017), 158 anggota parlemen dari seluruh dunia mengeluarkan surat yang meminta pembebasan Kem Sokha dan pengesahan kembali partai oposisi.

Salah satu penandatangan surat itu adalah Julian Hill, anggota Parlemen Australia dari Dapil Bruce di Victoria.

The final issue of The Cambodia Daily newspaper declared the country had descended "into outright dictatorship"
Liputan media setempat yang menyebutkan Kamboja mengarah "ke kediktatoran".

Reuters: Pring Samrang

Pesan serupa dikirim oleh International Forum of NGO Platforms, sebuah koalisi 22.000 LSM di seluruh dunia.

Sebelumnya, Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia menyerukan kekhawatiran tentang Kamboja yang “mengarah ke dalam kediktatoran”.

Amerika Serikat menarik bantuan dana Pemilu sementara Swedia mempertimbangkan kembali bantuannya di masa depan.

Australia justru bergerak ke arah lain, malah meningkatkan hubungan pada bulan Oktober lalu dengan menjadwalkan pembicaraan regular antara pejabat senior.

Foto-foto Dubes Australia Angela Corcoran yang mengangkat gelas sampanye bersama Menlu Kamboja untuk merayakan kesepakatan tersebut, digambarkan sebagai “kebetulan yang tak menguntungkan” oleh juru bicara DFAT, namun dikecam keras oleh Senator Penny Wong dari partai oposisi.

Canberra juga memutuskan untuk melanjutkan hubungan militer dengan Angkatan Bersenjata Kamboja, meskipun pada bulan Maret lalu Pemerintah mendadak membatalkan latihan kontra-terorisme.

Australia memainkan peran kunci dalam misi penjaga perdamaian PBB yang menelan biaya $ 2 miliar selama tahun 1990an. Namun, 25 tahun kemudian, “percobaan demokrasi” di Kamboja tampaknya telah berantakan.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.