Australia Tak Sepakati Hasil Perundingan Damai Israel-Palestina
Australia menarik diri dari pernyataan penutup konferensi Perdamaian Timur Tengah di Paris, di mana lebih dari 70 negara bertemu untuk mencoba menghidupkan kembali proses perdamaian yang tersendat antara Israel dan Palestina.
Komunike penutup pertemuan Paris, yang berlangsung (15/1) malam, menegaskan bahwa hanya solusi dua negara antara Israel dan Palestina yang bisa menyelesaikan konflik.
Pernyataan itu juga “menerima” adopsi resolusi Dewan Keamanan PBB yang, bulan lalu, mengutuk aktivitas permukiman Israel di Tepi Barat.
Seorang juru bicara untuk kantor Menteri Luar Negeri Julie Bishop mengatakan, “walau Pemerintah Australia memiliki perwakilan dalam konferensi Paris, ini tak berarti kami setuju dengan setiap elemen dari pernyataan akhir”.
"Prioritas yang paling penting haruslah dimulainya kembali perundingan langsung antara Israel dan Palestina untuk solusi dua-negara sesegera mungkin."
Pada Minggu (15/1), Inggris juga mengatakan, pihaknya keberatan akan hasil dari konferensi di Paris, menyebut hal itu mempertaruhkan “posisi yang sudah sulit”.
Inggris memiliki status pengamat di konferensi tersebut dan tidak mendukung komunike akhir.
Australia adalah satu-satunya negara yang berbicara secara terbuka terhadap resolusi dewan keamanan -yang didukung AS -tentang permukiman bulan lalu. Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull, menyebut resolusi itu “berpihak” dan “sangat mengganggu perdamaian”.
Pemerintah AS memuluskan jalan resolusi, yang menuntut diakhirinya pembangunan permukiman Israel, tersebut dan membuat para pejabat Israel mengarahkan serangan keras terhadap Presiden AS Barack Obama dan Menteri Luar Negeri John Kerry.
Pada waktu itu Menlu Bishop mencatat, Australia bukanlah anggota Dewan Keamanan dan tak memenuhi syarat untuk memberikan suara pada resolusi tersebut, tetapi mengindikasikan bahwa Pemerintah Federal tak mendukung langkah yang diperdebatkan itu.
Konferensi paris sebuah peluang penting
Komentator Palestina, Salem Barahmeh, yang berbasis di Tepi Barat, mengatakan, Palestina kecewa Perancis tidak menggunakan konferensi tersebut sebagai kesempatan untuk mengakui secara resmi negara Palestina, namun mengatakan, secara keseluruhan mereka berbesar hati dengan inisiatif tersebut.
“Ada pergeseran untuk menginternasionalisasi konflik ini,” kata Salem.
“Secara historis, saya pikir sudah sangat jelas bahwa negosiasi bilateral yang dimediasi oleh AS tak berjalan,” sambungnya.
Salem mengatakan, pertemuan Paris sangat signifikan, digelar setelah munculnya resolusi Dewan Keamanan PBB bulan lalu.
"Saya pikir itu adalah kesempatan yang sangat penting. Mengungkap kebutuhan untuk mengatasi solusi dua negara sebelum hal itu tidak mungkin lagi," ujar Salem.
“Saya pikir masyarakat internasional menegaskan kembali solusi dua negara karena itu akan lebih terancam di bawah pemerintahan Amerika yang akan datang. Jadi ini hanyalah sebuah pengakuan bahwa masyarakat internasional tak akan menerima hal lain selain hal-hal yang didasarkan pada perbatasan tahun 1967,” jelasnya.
Informasi kunci
• Pernyataan penutup dalam pembicaraan resolusi Israel-Palestina menegaskan kembali kecaman terhadap permukiman Israel di Tepi Barat
• Australia memiliki perwakilan di konferensi Paris tapi menolak untuk menandatangani seluruh pernyataan akhir
• Bulan lalu, Australia menarik diri dari gerakan AS untuk mengakhiri pembangunan permukiman Israel
Israel menentang inisiatif Paris
Menurut analis Israel, Ofer Salzburg, yang bekerja dengan International Crisis Group di Yerusalem, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah menentang inisiatif Paris sejak awal.
"Ia merasa bahwa Abbas telah mampu melakukan ini kepadanya -untuk mengakalinya dan membuat komunitas internasional mendukung pandangan Palestina," utara Ofer.
Ia mengatakan, skenario optimal Perdana Menteri Israel adalah untuk mencoba untuk menunda status akhir dari pembicaraan damai tersebut.
“Netanyahu berpikir bahwa sebuah negara Palestina adalah masalah keamanan besar, ancaman strategis bagi Israel. Ia juga berpikir bahwa mencaplok Tepi Barat dan memberikan kewarganegaraan Israel kepada semua warga Palestina di Tepi Barat adalah skenario mimpi buruk bagi Israel,” sebutnya.
Ofer mengatakan, Perdana Menteri Netanyahu berusaha untuk menghindari kedua skenario itu untuk saat ini, tetapi Pemerintahan Trump mungkin memojokkan PM Israel.
“Ada beberapa orang di kanan dan kirinya yang ingin melihat momen pengambilan keputusan. Kami perlu melihat apakah Netanyahu mampu menangkis tekanan ini. Pilihan yang tampaknya didapat Netanyahu, didapat Israel dari Presiden Trump adalah semakin lebih sulit untuk menolak tekanan dari sayap kanan,” terangnya.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
Diterjemahkan: 16:50 WIB 16/01/2017 oleh Nurina Savitri.