ABC

Australia Tak Akan Menuntut Nelayan Indonesia yang Selamat dari Hantaman Topan

Otoritas Pengelolaan Perikanan Australia (AFMA) mengatakan tidak akan menuntut sekelompok nelayan Indonesia yang ditemukan terdampar di lepas pantai Australia Barat akibat hantaman Topan Tropis Ilsa bulan lalu.

Sebelas orang ditemukan terdampar di sebuah pulau terpencil di Rowley Shoals, sekitar 80 kilometer dari garis pantai Kimberley, oleh pesawat resmi Australia yang sedang mengamati daerah tersebut.

Mereka bertahan selama enam hari tanpa makanan atau air, namun setidaknya delapan nelayan lainnya tewas dalam topan tersebut.

Pemerintah Indonesia merilis rekaman rombongan nelayan yang kembali ke Jakarta, saat mereka disambut dengan keluarga dan orang-orang yang dicintai akhir pekan lalu.

Para nelayan tersebut juga sempat menghabiskan waktu di pusat penahanan imigrasi di Darwin, Australia dan kini sudah kembali ke rumah-rumah mereka di Pulau Rote.

Seorang juru bicara otoritas pengelolaan perikanan di Australia mengatakan para nelayan tersebut tidak akan dihukum karena memasuki kawasan perairan Australia.

"

"Mengenai nelayan yang terlibat dalam insiden tersebut, AFMA tidak akan melakukan penuntutan atas pelanggaran terkait perikanan," katanya.

"

Lebih banyak kematian tak terhindarkan

Seorang nelayan komersial asal Darwin, Grant Barker, mengatakan masalah kedatangan nelayan dari Indonesia seharusnya sudah diselesaikan sejak lama.

"Ini sudah berlangsung lama, saya sudah bekerja selama 20 tahun di sini, sebenarnya bisa diperbaiki," ujarnya.

Grant mengatakan para nelayan mengambil banyak risiko dengan menuju ke perairan tropis selama musim hujan, serta sejumlah kematian yang terjadi tahun lalu seharusnya jadi pertanda untuk mengambil tindakan.

"Kita semua harus bersatu, petugas perbatasan Australia, angkatan laut, dan industri perikanan komersial," ujar Grant.

"Kita semua perlu bertemu dan mencari cara untuk menghentikan orang-orang ini."

Grant mengatakan tragedi tak akan bisa dihindari kecuali jika pemerintah Australia turun tangan.

"

"Beberapa perahu tradisional dapat menampung hingga sembilan atau 10 orang, dan beberapa anak berusia 13, 14 dan 15 tahun … beberapa dari mereka tidak pulang," katanya.

"

"Butuh waktu bertahun-tahun untuk mendidik anak laki-laki berusia tujuh tahun untuk tidak melaut secara ilegal, kita akan terus kehilangan lebih banyak orang Indonesia yang sangat saya hormati.

"Mereka pelaut yang baik, tapi mereka melanggar hukum."


Artikel ini diproduksi oleh Erwin Renaldi dari laporan ABC News