ABC

Australia Rintis Peternakan Belatung Skala Besar

Sebuah perusahaan pertanian Australia sedang merintis peternakan terbesar di dunia yang  mampu  menampung lebih dari 8,5 miliar lalat. Lalat itu dibudidayakan untuk dijadikan bahan pakan ternak yang penting bagi industri peternakan lainnya.

Perusahaan Australia Twynam Group adalah satu dari empat investor utama dalam proyek ambisius yang digadang oleh perusahaan Eropa AgriProtein, yang saat ini tengah membangun peternakan lalat pertama di dunia dengan lokasi peternakan berada di Cape Town, Afrika Selatan.
 
AgriProtein memimpin industri baru yang disebut 'gizi daur ulang' yakni dengan cara menggunakan larva lalat yang diberi makan dari berbagai sumber nutrisi limbah yang berlimpah, perusahaan ini telah  berhasil mengembangkan dan mengujicoba sumber protein berkelanjutan dalam skala besar.

Dengan bermodalkan suntikan dana lebih dari US$11 juta, AgriProtein saat ini sedang membangun dua pertanian lalat. Pengembangan industri ‘gizi daur ulang’ ini turut mendapat dukungan dari Yayasan Bill dan Melinda Gates.

Zat gizi daur ulang yang dihasilkan dari proses konversi biologi dari limbah makanan ini menghasilkan sejumlah komponen pakan bernilai tinggi, diantaranya protein makanan berbasis serangga 'MagMeal'; dan tanah lembut yang kaya nutrisi 'MagSoil'.

Pabrik ‘F1’ pertama

Perusahaan  ini mendirikan pabrik pertamanya yang diberi nama ‘F1’ Mei lalu. Fasilitas pabrik senilai $3.7 juta itu terletak di Stellenbosch, Propinsi Western Cape diproyeksikan dapat memanfaatkan kembali sekitar 110 ton limbah.

Lokasi pabrik kedua ini masih dievaluasi, namun diperkirakan akan lebih luas dan menggunakan sampah dalam jumlah yang lebih banyak hingga mencapai 165 ton per hari.

Ketika pabrik raksasa pertamanya beroperasi selama 12 bulan, pabrik itu dapat menampung lebih milyaran lalat tentara hitam dalam kandang yang besar.

Mereka akan digemukkan dengan diberi makan dari sekitar 110 ton limbah per hari, yang diambil dari limbah makanan dari restoran dan supermarket, produk sampingan dari produksi makanan, pupuk kandang dari peternakan ayam dan susu serta limbah rumah potong hewan.
 
Dari 110 ton sampah itu, lalat tentara hitam dapat memproduksi sekitar 20 ton larva per hari.

Larva lalat tentara hitam (BSFL) inilah yang kemudian akan dipanen, dikeringkan dan dihancurkan untuk membuat makanan serangga berprotein tinggi yang dikenal sebagai belatung makanan atau 'MagMeal'.

Begitu pabrik lalat pertama beroperasi, diperkirkaan akan dapat menghasilkan sekitar tujuh ton MagMeal, tiga ton MagOil, dan sekitar 50 ton kompos, dan tanah cacing (Mag Soil) per hari.

Potensi pasar tinggi

Direktur Twynham Grup, Johnny Kahlbetzer, mengatakan industri pertanian dari ayam, babi dan ikan saat ini sangat bergantung pada protein dari dua sumber yakni perkebunan kedelai berbasis lahan, yang membutuhkan sejumlah besar tanah dan air; serta tepung ikan laut, yang bahannya memiliki konsekuensi pada ekosistem laut.

Namun meningkatnya permintaan pangan global, isu lingkungan serta penangkapan ikan yang berlebihan telah mengurangi persediaan tepung ikan, dan menyebabkan harga dari kedua sumber protein itu melonjak sejak beberapa tahun terakhir. Harga tepung ikan dalam 30 tahun terakhir naik lebih dari dua kali lipat dengan harga mencapai $2000 per ton.
 
Oleh karena itu Kahlbetzer yakin dirinya percaya akan ada permintaan yang besar untuk menggantikan suplemen makanan dengan MagMeal, karena tingginya kandungan gizi dari pakan berbasis serangga, dan biaya produksi  yang murah maka memproduksi belatung merupakan alternative yang sangat tepat.

"Larva serangga adalah makanan alami dari ayam di alam liar dan ikan di sungai, dan komposisi gizi mereka hampir sama baiknya dengan yang dari tepung ikan, dan lebih baik dari kedelai.''

Kahlbetzer mengatakan Agriprotein berencana menambah 40 peternakan lalat lain di seluruh dunia selama dekade berikutnya. Diharapkan ketika teknologi ini sudah siap untuk dilisensikan akan ada 1500-2500 peternakan belatung yang bermunculan.