Australia Membuat Aplikasi Untuk Amatii Capung
Sebuah aplikasi telepon pintar baru untuk mengidentifikasi capung di daerah tropis Australia, memberikan harapan untuk berbagi dan memperluas penelitian soal capung.
Dalam sebuah dongeng rakyat di Kawasan Australia Utara, sekawanan capung bisa dilihat sebagai sebuah tanda bahwa musim kemarau akan dimulai.
Ahli capung dari Charles Darwin University, Profesor Jenny Davis telah menciptakan aplikasi menjawab misteri seputar capung, setelah sebelumnya ia mempelajarinya di Kakadu National Park.
“Ada sekitar 300 spesies dan 100 diantaranya berada di Kawasan Australia Utara, jadi kita memiliki sepertiga dari fauna Australia.”
Spesies yang dilihat di Kawasan Australia Utara di akhir musim hujan, hidup di penampunan air sementara, yang kini menjadi kering, kata Profesor Davis.
“Sekawanan besar ini terbang berkeliling untuk mencari pasangan,” katanya.
“Setelah mereka kawin, kemudian mencari tempat untuk bertelur dan telur akan berada di tempat tersebut sampai musim hujan berikutnya.”
Lebih dari 50 spesies capung telah masuk daftar dalam aplikasi Identifly. Menurut Profesor Davis aplikasi ini akan berguna untuk mengamati capung-capung di sekitar Kawasan Australia Utara.
Menurut Profesor Davis, capung yang terdapat dalam aplikasi ini, bisa dilihat mulai dari daerah Cape York ke Kimberley , bahkan di negara-negara tetangga seperti di Indonesia dan Timor-Leste.
Peter Dostine, seorang ahli ekologi yang bekerja di Departemen Lingkungan Hidup Australia Utara, mengatakan sebagian besar penelitian capung di kawasan tersebut telah dilakukan pada 1980-an.
Karenanya, informasi lebih lanjut soal distribusi capung akan berguna.
“Mereka memilii peranan penting, sebagai predator baik saat masih jadi larva dan ketika sudah tumbuh dewasa,” katanya.
“Di saat dewasa, mereka makan banyak serangga kecil yang bisa terbang, termasuk nyamuk.”
Penelitian untuk proyek ini dimulai 20 tahun lalu di Taman Nasional Kakadu. Menurut Profesor Davis, penelitian awalnya dilakukan setelah pemimpin suku tradisional di daerah tersebut ingin berbagi informasi lebih lanjut soal capung kepada para turis.
“Saya berbicara dengan salah satu tetua adat tradisional, yang sayangnya telah meninggal. Saya bertanya apakah ada hubungannya dengan lahan basah dan khususnya kumbang, serangga dari air tawar dari lahan basah, yang ia ingin tahu,” kata Profesor Davis.
Baru saat Profesor Davis mendapat kunjungan dari anak perempuannya, yang kini menjadi pengembang aplikasi. Panduan capung miliknya memberikan kehidupan baru.
“Dia dan pasangannya berkunjung dan seekor capung terbang. Lalu saya berkata ‘saya bisa kasih tahu apa namanya karena saya punya panduannya, masih ingat waktu kita suka keluar dan melihat capung?”
“Dia mengatakan ‘Ibu, saya bisa mengubah panduan itu menjadi sebuah aplikasi’.”
Mencari tahu soal distribusi capung akan menjadi proyek selanjutnya bagi Profesor Davis.
Ia mengatakan aplikasi akan diperbarui, sehingga orang bisa masuk ke lokasi dimana mereka melihat suatu spesies tertentu.
“Kami benar-benar merasa ini akan membuka pengetahuan soal lingkungan, dengan cara yang tidak mungkin sebelumnya.”
Diterbitkan oleh Erwin Renaldi pada 7/02/2017 pukul 14:00 AEST dari artikel aslinya dalam bahasa Inggris, yang bisa dibaca di sini.