ABC

Australia dan Indonesia Berkolaborasi Temukan Solusi Penyediaan Listrik

Sekelompok ilmuwan dari Australia dan Indonesia sedang mencoba memahami peluang dan tantangan penyediaan listrik di daerah-daerah terpencil di kedua negara. Tak hanya itu, mereka pun ingin melihat dampak keberadaan listrik secara sosial, ekonomi, dan budaya.

Beberapa kawasan-kawasan di pinggiran Australia mulai mencoba menggunakan tenaga listrik bertenaga solar, gas, dengan dukungan baterai, untuk menciptakan jaringan skala kecil yang terpisah dari jaringan nasional.

Bagi masyarakat yang hidup tanpa infrastruktur yang cukup, kini muncul peluang untuk beralih dari sistem listrik yang tersentralisasi kemudian menyesuaikan dengan ciri-ciri geografi kawasan tersebut. 

Tapi teknologi-teknologi baru ini pun dapat membuat sebagian besar masyarakat berada di jaman listrik, yang tentunya akan berdampak pada kehidupan mereka sehari-hari, baik secara sosial, ekonomi, dan budaya.

Seperti yang dikutip dari media rilis keluaran Australia Indonesia Centre (AIC), saat ini kelompok ilmuwan dari Australia dan Indonesia mempelajari dua lokasi di Indonesia yang sudah diperkenalkan listrik sebelumnya. Proyek penelitian ini sendiri didanai oleh AIC.

"Proyek ini menyatukan kelompok kolaborasi peneliti yang unik dan beragam dari kedua negara dengan melibatkan berbagai ahli dari bidang antropologi budaya sampai ekonomi energi…" ujar Dr Pujo Semedi, MA, Dekan Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta 

Menurutnya penelitian ini nantinya akan memiliki nilai yang luar biasa signifikan terhadapp pembangunan Indonesia di masa depan.

Dr Pujo, beserta peneliti pasar energi, Dr Ariel Liebman, dipercaya untuk memimpin dan mengkoordinasi proyek penelitian tersebut.

Keduanya berserta antropolog Dr Max Richter sedang berada sebuah kawasan terpencil di propinsi Kalimantan Barat.

Dr Ariel Liebman dan Dr Max Richter, keduanya berasal dari Monash University, dan Dr Ariel pernah melakukan penelitian bertahun-tahun bersama mahasiswanya di kawasan terpencil di Kalimantan Barat.

Lokasi lainnya adalah kawasan pedesaan di Pulau Kei Besar. Pulau ini terletak diantara Darwin, Kawasan Australia Utara dan Propinsi Papua Barat.

Untuk bisa mencapai pulau ini, dibutuhkan penerbangan dari Ambon yang dilanjutkan dengan perjalanan laut selama tiga sampai empat jam.

"Masalah di sana lebih rumit, bukan karena tidak ada listrik sama sekali," ujar Dr Max, yang juga Wakil Direktur Monash Asia Institute. "Jaringan, tiang, kabel, bahkan sel surya fotovoltaik telah ada. Tapi entah kenapa, sudah berkali-kali mengalami kegagalan. Akibatnya pasokan listrik tidak terjamin."

Dr Max juga mencoba mengamati aspek sosial, budaya, dan ekonomi, setelah adanya listrik di kawasan-kawasan terpencil.

"Jika sebuah desa menerima mesin penggiling jagung, apakah mesin ini akan mengubah sifat interaksi sosial? Siapa yang menjadi pemilik mesin? Siapa yang membayar listrik? Siapa yang bertanggung jawab jika mesin tidak beroperasi?" ujarnya.

Sejauh ini proyek kolaborasi peneliti kedua negara sudah mengumpulkan informasi latar belakang. Dengan bantuan AIC, dua mahasiswa S2 dari Dr Pujo dan Max di Monash University pun telah menghabiskan empat bulan tinggal di lokasi terpencil di Indonesia untuk mempelajari masalah-masalah yang akan diteliti.

Tahap selanjutnya adalah menguji coba solusi yang berbeda untuk masalah listrik di kawasan terpencil.