ABC

Australia Akan Mempercepat Penerimaan Pengungsi Dari Suriah

Delegasi asal Australia mengunjungi Yordania, untuk melihat keadaan langsung dari para pengungsi asal Suriah. Rencananya, pemerintah Australia akan mempercepat proses bagi para pengungsi agar bisa bermukim di Australia.

Kantor pusat badan PBB yang membawahi urusan pengungsi, UNHCR di Amman terlihat ramai.

Koridor dan ruang tunggu telah dipenuhi oleh keluarga asal Suriah yang mengantri. Setiap harinya, lebih dari 1.500 pengungsi asal Suriah diproses di kantor ini.

Wakil Sekretaris dari Departemen Imigrasi Australia, Peter Vardos, nampak terlihat diantara kerumunan.

Ia baru saja diangkat menjadi kepala satuan khusus Pemukiman Pengungsi Suriah Pemerintah Federal Australia. Keberadaannya di Yordania tak lain untuk melihat secara langsung bagaimana para pengungsi Suriah diproses.

"Saya sangat terkesan dengan apa yang saya lihat," ujarnya kepada ABC.

Peter Vardos (tengah) saat berbicara dengan Rachel Noble dan Andrew Harper. Foto: Sophie McNeill

Pemandu untuk delegasi Australia yang berkunjung adalah Andrew Harper, seorang warga Australia yang memimpin PBB untuk menjaga dan mengurus pengungsi Suriah di Yordania.

"Anda tidak bisa berharap pengungsi menunggu hingga mingguan atau bulanan untuk terdaftar," kata Harper kepada para delegasi. 

"Jadi kami harus memastikan bahwa kami melakukan proses yang efisien, akuntabel dan bermartabat. Dan saya pikir apa yang Anda lihat sekarang adalah hasil dari itu."

Salah satu tugas Harper adalah untuk merawat lebih dari 600.000 pengungsi dan ia senang setelah mendengar pemerintah Australia sepakat untuk memukimkan 12.000 orang diantaranya.

"Menurut saya ini adalah perkembangan yang diterima dengan baik, membuka kesempatan bagi para pengungsi yang tidak memiliki harapan," katanya.

Menurutnya juga semua pihak menyambut gembira dengan kedatangan delegasi asal Australia untuk memproses para pengungsi dengan cepat.

Tujuan selanjutnya pada delegasi Australia adalah Zaatari, sekitar satu jam dari kota Amman dan hanya 12 kilometer dari perbatasan Suriah. Kawasan ini adalah kamp terbesar bagi pengungsi Suriah di dunia dengan lebih dari  80.000 orang pengungsi.

Kamp ini berada di tengah gurun dan terpencil. Keluarga pengungsi tinggal di  gubuk-gubuk dann tenda. Kondisi mereka membeku di musim dingin, dan udara sangat panas di musim panas.

Banyak diantara mereka sudah tinggal bertahun-tahun di kamp pengungsi ini.

Abu Mazen, pengungsi asal Suriah. Foto: ABC News, Sophie McNeill.
Abu Mazen, pengungsi asal Suriah. Foto: ABC News, Sophie McNeill.
Salah satunya adalah Abu Mazen, berusia 41 tahun yang memiliki lima orang anak. Ia telah tinggal disini selama empat tahun.

Ia menyambut para delegasi Australia dengan kopi Arab di gubuk keluarganya.

Peter Vardos dan rekan-rekan delegasi lainnya sangat berterima kasih dengan keramahan yang ditawarkan keluarganya dalam menyambut mereka. Sebagai balasannya, para delegasi membagikan boneka koala kecil untuk anak-anaknya.

Kepada para delegasi, Abu Mazen menjelaskan kehidupannya di dalam kamp pengungsi.

"Pesan yang saya sampaikan adalah bagaimana kondisi kehidupan di sini yang sangat sulit," ujarnya kepada ABC usai bertemu para delegasi. "Mimpi saya adalah untuk mengobati masalah medis anak-anak saya dan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari."

Departemen Imigrasi Australia mengatakan prioritas utama akan diberikan kepada keluarga-keluarga yang paling menderita. Tapi dengan jumlah yang mencapai lebih dari 4 juta pengungsi Suriah, maka memilih siapa yang paling menderita tentunya bukan hal yang mudah. 

"Di tengah cobaan dan kesengsaraan, mereka masih memiliki harapan dan aspirasi," ucap Peter Vardos.

"Saya tentu berharap Australia dapat berkontribusi, setidaknya untuk beberapa dari mereka, agar dapat memenuhi harapan dan aspirasi mereka."

Dari pantauan ABC, keluarga Suriah dan Irak yang akan tiba di Australia akan mencapai bulanan.

Delegasi Australia memberikan boneka kecil koala bagi anak-anak pengungsi. Foto: ABC News, Sophie McNeill.

Zaatari adalah kamp pengungsi Suriah terbesar di dunia. Foto: ABC News, Sophie McNeill