ABC

AS Tak Mau Adili Hambali, Pemerintah RI Diminta Bertindak

Masih ingat dengan Hambali, terduga teroris yang ditangkap AS dan dijebloskan ke Guantanamo Bay? Dia sudah mendekam di penjara paling rahasia itu selama 13 tahun dan menurut pengacaranya, banyak mengalami penganiayaan fisik dan mental.

Kasus Hambali Menggantung:

  • Hambali dituduh terlibat dalam Bom Bali dan Bom Hotel Marriot di Jakarta
  • Pengacaranya menyebut Hambali dianiaya secara fisik dan mental sejak ditangkap tahun 2003 dan dijebloskan ke penjara Guantanamo Bay
  • Pemerintah RI tidak menunjukkan itikad untuk memulangkan warganya ini dan mengadilinya di Indonesia

Keluarga Hambali selama ini menghendaki pria berusia 54 tahun itu dideportasi dari AS untuk diadili di Indonesia.

Namun Mayor James Valentine, pengacara militer yang bertindak mewakili Hambali, menuduh Pemerintah AS tidak menginginkan Hambali untuk diadili.

Hal itu, katanya, demi mencegah pria yang dituduh dalang Jamaah Islamiyah ini mengungkap semua penyiksaan yang dialaminya.

Mayor Valentine baru menangangi kasus Hambali lebih dari setahun yang lalu, ketika AS mengajukan tuntutan secara resmi.

Menurut Mayor Valentine, akan sulit bahkan tidak mungkin menggelar pengadilan yang sesuai dengan Konstitusi AS atau standar hukum yang berlaku.

“Ada risiko seluruh dunia akan mengetahui apa yang dilakukan AS, bagaimana pelanggaran standar HAM internasional yang mereka perbuat,” katanya kepada ABC.

Karena itu, Mayor Valentine mendesak Pemerintah RI untuk memastikan yurisdiksi kasus ini, karena Hambali itu WNI dan dituntut atas pelanggaran yang terjadi di wilayah hukum Indonesia.

Tim pengacara Hambali berkunjung ke Jakarta untuk membahas kasus ini bersama tim pengacara lokal yang membela tiga pelaku Bom Bali, Ali Gufron (Muklas), Amrozi dan Imam Samudra.

“Yurisdiksi peradilan di Indonesia akan lebih sesuai dibandingkan di AS,” katanya.

“Indonesia juga tak akan memaksa AS membuka rahasia kotor tentang penyiksaan yang mereka lakukan. Saya pikir ini menjadi pilihan terbaik bagi AS juga,” tambah Mayor Valentine.

Major James Valentine is sitting at a long table, with lawyers and family members sitting either side and opposite
Pengacara Hambali, Mayor James Valentine, meminta Pemerintah RI mengadili warganya di Indonesia.

Supplied

Berkas dakwaan Hambali menyebutkan sejumlah pelanggaran terkait rencana teror di Asia Tenggara, termasuk Bom Bali yang menewaskan 202 orang termasuk 88 warga Australia. Selain itu, pemboman Hotel Marriott Jakarta pada 2003 yang menewaskan 12 orang.

Dia dituduh sebagai “dalang operasional” dari kelompok teroris Jamaah Islamiah, yang melakukan kedua serangan itu.

Nama asli Hambali adalah Encep Nurjaman. Dia ditangkap di Thailand tahun 2003 dan menjalani ‘rendisi dan interogasi’ CIA yang dikenal sebagai program penyiksaan selama 3 tahun.

Isolasi, belenggu, kurang tidur

Program rendisi dan interogasi dari badan intelijen AS itu selama bertahun-tahun merupakan rahasia militer. Namun laporan Senat AS pada tahun 2014 mengungkap teknik penganiayaan yang digunakan CIA pada tersangka teroris.

Menurut Mayor Valentine, Hambali ditahan di sel isolasi untuk waktu yang lama. Dia ditelanjangi dan dibelenggu selama berlangsungnya interogasi. Kliennya itu juga sering kelaparan atau dibuat kurang tidur.

Berkali-kali, katanya, Hambali ditempatkan dalam posisi kedua tangan terentang dan kaki terikat selama berhari-hari.

Dia juga mengalami teknik psikologis yang dikenal sebagai “walling”, di mana pengikat diletakkan di lehernya selama interogasi, dan kepalanya dibenturkan ke dinding berkali-kali, tergantung jawaban yang dia berikan.

Namun menurut Mayor Valentine, bentuk penyiksaan lengkap yang dialami kliennya belum sepenuhnya terungkap.

Hal inilah, katanya, yang jadi dilema bagi pihak berwenang AS yang berharap untuk membawa Hambali ke pengadilan.

“Ketika AS menangkapnya pada 2003 mereka membuat keputusan, apakah akan menginterogasinya dengan metode penyiksaan untuk tujuan intelijen. Atau menginterogasinya sesuai aturan hukum untuk pembuktian di persidangan,” katanya.

“Ketika AS memutuskan untuk menyiksa individu ini untuk tujuan intelijen, bisa dibilang mereka telah kehilangan hak dan otoritas untuk melakukan persidangan di kemudian hari. Mereka tidak akan pernah bisa mengatasi hal itu,” tambah Mayor Valentine.

Agar persidangan bisa berjalan, menurut dia, intelijen AS harus menyetujui tuduhan tersebut sebelum dapat melanjutkan ke dakwaan. Tapi ini akan melibatkan pelaku penyiksaan, untuk mengungkap rincian penyiksaan selama selama tiga tahun tersebut.

“Mereka tak akan pernah membiarkan seluruh dunia tahu apa yang mereka lakukan pada Hambali,” katanya.

Mayor Valentine juga telah mengunjungi rumah keluarga Hambali, dan ditemui oleh ibundanya bersama saudara-saudaranya.

Harapan Keluarga pada Pemerintah

A young Indonesian man and an elderly woman sit together looking pensive while behind them is a garden and washing on a rack.
Ibunda Hambali serta saudaranya Kankan Abdul Qadir.

ABC News: Phil Hemingway

Saudara Hambali, Kankan Abdul Qadir, mengatakan pihak keluarga masih berharap AS untuk mendeportasi Hambali untuk diadili di Indonesia.

“Jika usia mengizinkan, kami ingin dia kembali ke Indonesia, dan diproses secara hukum di Indonesia. Apa pun konsekuensinya, keluarga kami ingin melihatnya,” katanya.

“Kami tidak tahu mengapa Amerika menangkap Hambali. Atau mengapa mereka menahannya di sana bukan di Indonesia, padahal dia adalah seorang warga Indonesia.

Kankan menjelaskan anggota keluarga berbicara dengan Hambali melalui fasilitas telepon internet setiap tiga bulan sekali.

Hambali, katanya, tampak dalam kondisi baik dan tidak pernah membicarakan penyiksaan yang dialaminya di Guantanamo Bay.

Mayor Valentine juga mengatakan kondisi kesehatan Hambali baik, namun menampakkan “efek melemahkan” dari penyiksaan dan pemenjaraan yang berkepanjangan di fasilitas rahasia.

Dia berharap segera ada keputusan tentang langkah hukum kasus Hambali. Namun tampaknya hal itu bisa bertahun-tahun.

Indonesia sejauh ini tidak menunjukkan itikad untuk mengadili Hambali. Mayor Valentine mengaku tidak ada pejabat atau diplomat Indonesia yang menemuinya.

Pemerintah Indonesia menolak mengomentari kasus ini.

Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.