ABC

AS Anggap Konten Kebencian di Internet Adalah Bagian Kebebasan Berekspresi

Amerika Serikat tidak mendukung upaya sejumlah negara yang ingin menghentikan penyebaran kebencian dan ekstrimisme lewat internet, dengan alasan untuk menghormati kebebasan berekspresi.

Pemerintahan Presiden Donald Trump menolak pertemuan para pemimpin dunia dan perusahaan teknologi yang digagas oleh Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern di Paris.

Di Prancis, Presiden Emmanuel Macron menjamu PM Ardern; PM Inggris, Theresa May; PM Kanada, Justin Trudeau, serta para pemimpin lainnya, Rabu (15/5).

Mereka menyatakan dukungannya untuk inisiatif yang diberi nama “Christchurch Call”, sesuai dengan nama kota di Selandia Baru, tempat teroris asal Australia menembaki puluhan jamaah di sebuah masjid pada 15 Maret lalu, yang juga menewaskan satu warga Indonesia.

Pelakunya saat itu sempat menyiarkan aksinya secara langsung di akun Facebook.

Negara-negara yang berkumpul juga mendorong kalangan media menerapkan standar etika dalam memberitakan peristiwa teroris online, agar tidak semakin memperkuat pesan-pesan teroris.

Namun, inisiatif ini tidak bersifat mengikat dan kembali ke masing-masing negara atau perusahaan bagaimana akan menerapkannya.

Australia, Jerman, Jepang, Belanda, Spanyol, India dan Swedia mengatakan mendukung inisiatif ini. Begitu pula raksasa teknologi di Amerika Serikat, seperti Microsoft, Alphabet’s Google dan platform videonya YouTube, serta Amazon.

Namun Gedung Putih mengatakan saat ini tidak dalam posisi untuk bergabung, meski menambahkan, “kami mendukung tujuan keseluruhan yang tercermin dalam seruan itu”.

Presiden Macron tetap menanggapi positif sikap Gedung Putih.

“Kami akan berupaya keras sehingga ada komitmen konkret dan formal, saya menilai positif pernyataan pemerintah AS bahwa mereka sepakat dengan tujuan bersama ini,” katanya.

Kebijakan baru Facebook

A graphic showing a man holding a smartphone with the words "This stream has been cancelled".
Pembantaian jamaah masjid di Christchurch memicu perdebatan mengenai siapa yang harus bertanggungjawab mengatasi perilaku ekstrimisme online.

ABC News: Graphic/Jarrod Fankhauser

Sementara itu, Facebook mengumumkan langkah sementara memblokir akun-akun yang melanggar aturan menyiarkan video secara langsung.

Facebook mengatakan pihaknya menerapkan kebijakan “sekali pukul” untuk penggunaan Facebook Live. Mereka yang melanggar aturan akan dibatasi aksesnya untuk membuat siaran langsung untuk sementara.

Perusahaan ini tidak menyebutkan pelanggaran seperti apa yang akan kena larangan atau berapa lama penangguhan berlangsung.

Seorang jurubicara Facebook memberikan contoh, pelaku teror di Christchurch tidak mungkin lagi menggunakan Facebook Live menurut aturan baru ini.

Facebook mendapat kritikan beberapa tahun terakhir terkait konten-konten ujaran kebencian, pelanggaran privasi, dan dominasinya di media sosial.

PM Ardern menyebut perubahan aturan Facebook itu sebagai langkah yang baik dan menunjukkan “Christchurch Call” kini mulai diterapkan.

Facebook berjanji membiayai penelitian di tiga universitas mengenai teknik mendeteksi media yang dimanipulasi. Sistem Facebook kesulitan menemukannya saat terjadi serangan di Christchurch.

PM Ardern menyatakan Facebook yang lambat menghapus video serangan itu, membuat munculnya video yang telah diedit dan dimanipulasi. Akibatnya, banyak pengguna medsos termasuk dirinya, yang sempat melihat video pembantaian itu.

ABC/wires