ABC

Ariel Ries, Komikus Darah Indonesia yang Kenalkan Keberagaman di Australia

Ariel Slamet Ries mendalami identitasnya sebagai orang Indonesia melalui komik remaja berjudul ‘Witchy’ buatannya ketika sedang kuliah di Denmark.

  • Desain komik ‘Witchy’ mengandung elemen Asia Tenggara dan Islami
  • Latar belakang Ariel munculkan tema keberagaman dalam komiknya
  • Perjuangan keluarga Indonesia Ariel berasimilasi di Australia

Komik yang sering masuk ke daftar komik web terbaik di kategori inklusif LGBTQI+ sejak tahun 2014 itu menceritakan hubungan antar perempuan dan alam sekitarnya.

Berkat nominasi dari ajang penghargaan komik dan kartun di Amerika Serikat ‘Ignatz Award’ untuk kategori ‘Outstanding Online Comic’ di tahun 2015, nama ‘Witchy’ kini dikenal secara internasional.

“Sebenarnya saya masih terhubung dengan identitas saya sebagai orang Indonesia,” kata Ariel yang saat ini berumur 25 tahun dan sejak kecil tinggal di Melbourne, Australia.

“Beberapa bagian [dari identitas tersebut] saya dalami ketika membuat komik ‘Witchy’, yang beberapa bagiannya terinspirasi cerita dari Asia Tenggara dan [menggunakan] desain Islami.”

Kalau bukan karena masakan Indonesia buatan ibunya dan komik itu, Ariel mengatakan mungkin sudah putus hubungan dengan identitasnya sebagai orang Indonesia.

“[Komik] ini menjadi salah satu cara terbaik untuk saya berhubungan dengan kebudayaan saya yang kemungkinan besar sudah hilang [kalau komik itu tidak pernah dibuat],” katanya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

“Cara lain [saya berhubungan dengan budaya Indonesia] adalah melalui makanan, soto ayam, gado-gado dan rendang adalah kesukaan saya.”

Perempuan yang suka memasak bubur ayam ketika tidak enak badan ini mengatakan budaya memasak masakan Indonesia diturunkan dalam keluarganya.

“Nenek saya pandai memasak. Dan kecintaan [terhadap makanan Indonesia] ini diturunkan dari generasi ke generasi.”

Terinspirasi kisah pribadi

A young girl wearing purple cloak walks through Asian influence market laneway, a black crow hovers above her.
Desain kerajaan penyihir Hyalin dalam komik 'Witchy' terinspirasi dari warisan Asia Tenggara dan Islami yang dimiliki Ariel.

Supplied: Ariel Ries

Ide tentang keberagaman dalam masyarakat juga menjadi fokus Ariel dalam komik ‘Witchy’ yang awalnya hanya ingin dibuat setebal 50 halaman itu.

Hal tersebut muncul dari pengalamannya sebagai seorang perempuan berdarah Australia-Indonesia yang semasa bertumbuh jarang melihat representasi diri sendiri di media.

“Tumbuh besar tanpa melihat orang Indonesia atau orang Asia atau orang campuran di televisi atau dalam buku sangatlah mengisolasi buat saya,” kata dia.

“Dunia kita ini sangat berwarna dan beragam. Penting sekali menurut saya untuk menampilkan berbagai jenis cerita hidup manusia.”

Topik keadilan sosial, hak-hak sipil dan kelompok tertindas juga menjadi ide lain yang muncul dalam ‘Witchy’.

Perjalanan hidup karakter protagonis bernama Nyneve menggambarkan pengalaman Ariel ketika mempelajari dunia sekitarnya sebagai seorang remaja.

“[Dalam kehidupan saya contohnya], saya frustasi melihat sifat pemerintah yang menolak pengungsi dan perubahan iklim,” kata perempuan yang hobi menjahit dan nonton film itu.

“Inilah yang membuat saya menjadi lebih aktif terlibat dalam protes berkenaan dengan isu tersebut tahun ini.”

September lalu, empat bab pertama dari komik web ‘Witchy’ sudah dikemas dalam bentuk cetak oleh penerbit Lion Forge Comics yang ada di Amerika Serikat.

Penerbit tersebut memiliki fokus untuk menerbitkan karya dari komikus dengan latar belakang kebudayaan yang beragam.

Perjuangan mempertahankan identitas

A girl with dark hair and glasses stands outdoors in front of the base of a large tree in the shade.
Ariel Ries adalah perempuan keturunan Australia-Indonesia yang besar di Melbourne, Australia.

ABC Arts: Leah Jing McIntosh

Ariel lahir dari seorang ayah berkebangsaan Australia yang besar di Queensland dan ibu yang berasal dari Jawa namun pindah ke Melbourne di usia belia.

Tidak seperti kebanyakan orang, ia mengatakan perjuangan mempertahankan identitas Indonesia bagi keluarga dari pihak ibunya tidaklah mudah.

“Keluarga Indonesia saya pindah di masa kebijakan kulit putih Australia di tahun 1960-an, di mana asimilasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan,” kata dia.

“Ibu saya berusaha merangkul kebudayaan Australia sekuat tenaga, sampai ikut kelas seni deklamasi supaya mengerti bagaimana cara berperilaku layaknya perempuan Australia yang baik.”

Sayangnya, menurut Ariel, perasaan sebagai seorang ‘outsider’ tetap saja ada dalam diri ibunya karena prasangka yang selalu muncul terhadap identitasnya sebagai orang Indonesia dan seorang perempuan.

Hal tersebut membuat sang ibu yang bernama Diny melakukan upaya yang menurutnya dapat mempermudah proses adaptasinya dan kakak perempuannya, Rihana, di Australia.

“Inilah mengapa ia memberi kami nama “berbau Kristen” dan tidak mengajarkan Bahasa Indonesia agar kami dapat menyesuaikan diri semudah mungkin.”

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia