ABC

Apakah Vaksinasi Akan Membantu Pemulihan Pasien ‘Long COVID’?

Ketika Mary Bempeki tertular COVID-19 pada Maret tahun lalu, dia berpikir bila nanti sembuh dari penyakit itu, dia bisa melanjutkan hidupnya dengan normal seperti semula.

  • Setahun setelah terinfeksi, Mary Bempeki masih berada dalam cengkraman virus corona
  • Sampai saat ini, ilmu kedokteran belum mampu membantu banyak dalam pengobatan penderita COVID yang berkepanjangan
  • Mary mengaku setelah divaksin ia merasa kesehatannya menjadi lebih baik

Tetapi dua minggu setelah dia tertular, saat kondisi sebagian besar pasien COVID-19 mulai membaik, kesehatannya malah memburuk.

“Saya mulai mengalami gejala neurologis. Saya mengalami sakit perut, tremor internal, mata merah dan bengkak,” katanya.

Setahun berlalu Mary tampaknya masih berada di bawah cengkeraman virus corona.

Dia mengalami apa yang dikenal sebagai ‘Long COVID’ atau COVID yang berkepanjangan, sebuah fenomena yang menurut penelitian terbaru di Indonesia dialami oleh sekitar 60 persen orang yang terinfeksi virus corona.

Sebagian besar pasien COVID pulih setelah sekitar 14 hari, namun bagi mereka yang mengalami ‘Long COVID’, tampaknya tidak akan pernah berakhir.

Para penderita ‘Long COVID’ melaporkan gejala kelelahan, sesak napas, dan tidak dapat berkonsentrasi untuk waktu yang lama setelah tertular virus.

Para peneliti medis masih belum tahu banyak soal fenomena ‘Long COVID’ dan mengapa sejumlah orang bisa mengalaminya.

Long COVID2
Pasien long COVID melaporkan, apapun jenis vaksin yang mereka terima telah membuat mereka merasa lebih baik.

Supplied: AP/Jeff J Mitchell.

‘Saya merasa jauh lebih baik’

Tapi Mary yakin dia mungkin telah menemukan solusi.

Beberapa hari setelah disuntik vaksin COVID-19, terjadi sesuatu yang aneh padanya.

“Gejalanya hampir menghilang,” katanya.

Setelah satu tahun mengalami kelelahan yang melumpuhkan, ginjal yang bermasalah, gusi berdarah dan gejala aneh lainnya, suatu hari Mary bangun dan merasa kondisinya “99 persen membaik”.

Dia menerima suntikan vaksin AstraZeneca beberapa hari sebelumnya.

“Saya akan mencoba mulai bekerja beberapa jam setiap minggu untuk melihat bagaimana perkembangannya. Tapi saya benar-benar merasa jauh lebih baik,” tambahnya

Mary tidak sendirian. Banyak orang melaporkan hal seperti yang dialami Mary, begitu pula dengan penelitian baru terkait hal ini.

Kini timbul pertanyaan: Bisakah vaksin virus corona menyembuhkan ‘Long COVID’?

Di Amerika Serikat, banyak orang yang disebut ‘long hauler’, sebuah istilah yang ditujukan bagi penderita ‘Long COVID’ yang mengaku merasa lebih baik setelah menerima vaksin.

Tampaknya tidak jadi masalah jenis vaksin apa yang disuntikkan.

Laporan yang sama disampaikan para long hauler yang mendapatkan suntikan Pfizer, Moderna atau AstraZeneca.

Namun laporan individu tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa vaksin dapat menyembuhkan atau mengurangi gejala ‘Long COVID’.

Harapan bagi pengidap long COVID

Long COVID3
Pasien long COVID mengatakan, vaksin itu layak diberikan.

Supplied: Getty/Vincenzo Izzo/LightRocket.

Sebuah penelitian di Inggris, yang belum ditinjau atau diterbitkan dalam jurnal, telah menarik perhatian para ‘long hauler’ yang sangat membutuhkan kabar baik untuk mengurangi atau menghilangkan gejala yang mereka alami.

Penelitian yang diikuti sejumlah kecil responden, dilakukan untuk melacak kesehatan orang yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19.

“Kami memperhatikan banyak pasien ragu-ragu untuk menerima vaksin. Hal ini cukup mengejutkan karena kami pikir mereka sangat ingin mendapatkannya,” kata Dr Fergus Hamilton, salah satu peneliti dari University of Bristol.

“Kami mencatat mereka sangat khawatir. Mereka pernah tidak sehat sebelumnya, mengalami gejala yang cukup dramatis, dan menganggap kami hanya memberi mereka hal yang sama,” katanya.

Studi tersebut menyebutkan tidak ada bukti yang menunjukkan vaksin COVID yang tersedia saat ini telah memperburuk gejala ‘Long COVID’, kualitas hidup, atau kesehatan mental mereka.

Penelitian ini juga mengungkap kemungkinan yang menarik.

Vaksin mungkin telah membantu mengurangi atau menghilangkan gejala yang dialami oleh pasien ‘Long COVID’.

Tapi Dr Hamilton memperingatkan jika ukuran sampel penetlian ini kecil dan kurangnya tinjauan dari akademisi lain, atau peer review.

Mengurai efek plasebo dalam penelitian ini juga sangat sulit.

“Jika Anda seorang pesimis, Anda mengatakan ini hanya kebetulan secara statistik saja,” tambahnya.

Masih di fase awal

Meskipun demikian, penelitian di Inggris adalah studi pertama yang melihat hubungan antara vaksin virus corona dan kesembuhan gejala ‘Long COVID’ yang dilaporkan.

Dr Vanessa Bryant dari Walter and Eliza Hall Institute of Medical Research setuju masih terlalu dini untuk membuat kesimpulan apapun.

“Kita sudah mulai menggabungkan studi ini dengan bukti lain, dan disusul penelitian yang lebih besar,” katanya.

“Kita masih berada di fase awal dalam long COVID,” jelasnya.

Meskipun masih terlalu dini untuk mengatakan apakah vaksin dapat membantu mengatasi long COVID atau tidak, ada beberapa hipotesis yang mungkin terjadi.

Salah satunya adalah teori tentang tubuh sebagai tempat penampungan virus, di mana fragmen virus berkeliaran setelah tertular dan memicu sistem kekebalan untuk melawan terus-menerus.

“Sistem kekebalan mungkin sudah bekerja lama, untuk hal yang tidak perlu, meskipun pada dasarnya ancaman sudah berakhir,” jelas Dr Bryant.

Jika demikian, vaksin berpotensi membersihkan reservoir atau tempat penampungan tersebut.

Tapi mungkin juga vaksin sama sekali tidak membantu, dan itu hanya efek plasebo, orang pulih secara alamiah.

“Pertanyaan-pertanyaan ini akan bertahan untuk beberapa waktu,” kata Dr Hamilton.

Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari artikel ABC News dalam Bahasa Inggris.