ABC

Apa yang Harus Dilakukan Agar Mencegah Klaster Keluarga di Indonesia?

Salah satu penyebaran yang banyak terjadi dalam kasus COVID-19 di Indonesia adalah melalui anggota keluarga sendiri.

Awal Januari lalu Satuan Tugas COVID-19 mengatakan klaster keluarga menjadi salah satu klaster yang menyumbangkan angka tertinggi, karena sulitnya juga menerapkan jaga jarak di rumah.

Tak hanya itu protokol kesehatan cenderung tidak diterapkan karena anggota keluarga merasa dalam kondisi sehat ketika bertemu.

Hal itulah yang terjadi pada Heryanto C Pranowo, yang sekarang berusia 70 tahun, seorang warga di Komples Bintaro Jaya di Tangerang Selatan.

Ia tertular virus corona setelah mengunjungi rumah anaknya untuk bertemu dengan cucu-cucunya.

“Saya sebenarnya sangat patuh terhadap protokol COVID -19, karena usia sudah lanjut dan punya komorbid, karena irama jantung saya tidak beraturan, dan konon gender [pria] juga berpengaruh,” kata Haryanto kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

Pensiun insinyur teknik jalan raya ini yang sekarang menjadi konsultan perseorangan mengatakan masih aktif bekerja ke kantor seminggu sekali dan selalu menataati protokol kesehatan ketika bertemu rekan sekerja atau orang yang tidak dikenalnya.

“Ketika ada pertemuan keluarga di satu hari Minggu, saya baru lengah,” katanya lagi.

“Ini pertemuan keluarga, anak, mantu, cucu yang tidak merasa punya gejala COVID. Makan bareng, buka masker.”

“Saya dan istri gendong cucu.”

Harus menganggap orang lain terjangkit tapi tak bergejala

Dua hari kemudian Haryanto mendapat kabar jika cucunya menderita demam dan dibawa ke dokter yang diduga hanya flu biasa.

Namun anak dan menantu keluarga Haryanto kemudian melakukan tes dan hasilnya semua anggota keluarganya positif.

Dari kejadian tersebut, menurut Haryanto sebaiknya setiap warga di Indonesia terutama di kota-kota besar beranggapan siapapun harus dianggap terjangkit COVID-19 tanpa memiliki gejala.

“Jadi semua orang berpotensi menularkan COVID-19.”

“Mungkin kita bisa konsisten bila berurusan dengan orang lain. Tetapi apakah di rumah kita, saya, anak, isteri, cucu, pembantu, mau terus-terusan pakai masker dan jaga jarak, padahal kita tidak melihat tanda-tanda mereka OTG?” katanya.

“Usahakan untuk tidak tertular COVID-19 dengan menjalankan protokol kesehatan dengan baik benar.”

“Kalau ada tanda-tanda seperti batuk dan demam segera swab,” tambahnya.

“Tanda-tanda penyakit lain mirip COVID, misalnya thypus, demam berdarah dan yang lainya sering menyesatkan.”

“Kakak ipar saya didiagnosa dokter typhus. Setelah di-swab ternyata positif,” ujarnya menceritakan kakak iparnya yang kemudian tidak tertolong karena terlambat penanagan.

Jangan berpergian, kecuali untuk hal mendesak

Sapta Mugiarsih adalah produser berita jaringan televisi MNC di Jakarta.
Sapta Mugiarsih adalah produser berita jaringan televisi MNC di Jakarta.

Sapta Mugiarsih, seorang produser berita televisi kelompok MNC di Jakarta pada awalnya tidak perduli dengan COVID-19 karena belum pernah melihat langsung penderita secara langsung.

Namun ia menyadari betapa seriusnya COVOd-19 ketika ia tertular dari rekan sekerjanya dan takut keluarganya menjadi ikut tertular.

“Saya tertular di kantor. Awalnya ada editor yang kena, sehingga semua yang kontak dengan editor diperintahkan kerja dari rumah,” kata Sapta kepada ABC Indonesia.

“Dua minggu kemudian salah seorang Executive Producer saya mulai flu dan saya juga sering bersama dia di ruang editing.”

Sapta menceritakan orang tersebut kemudian dirawat di rumah sakit, namun empat hari kemudian meninggal dunia.

“Di situ saya baru shock kok bisa secepat itu meninggalnya, walau memang EP itu memiliki penyakit diabetes,”

Akibat positif tersebut, Sapta mengatakan banyak anggota keluarganya yang kesal dan takut dengan dirinya.

“Ada keponakan saya yang marah sekali dengan saya, sampai dia kirim pesan dan kemudian memblokir di WhatsApp ketika saya memutuskan isolasi mandiri di rumah,” ujarnya.

Ia memilih diisolasi di rumah sakit karena mengaku takut ke rumah sakit, selain banyak rumah sakit yang sudah penuh.

“Untung kemudian beberapa anggota keluarga saya menjalani tes dan mereka negatif,” ujarnya.

Sapta juga merasa jika ia menularkannya ke rekan kerja yang lain.

“Waktu saya sudah tidak enak badan itu, saya sering bawa makanan dari rumah dan saya beri ke teman, dan dia positif juga.”

Kini dalam proses pemulihannya, Sapta mengatakan meski setiap orang memiliki gejala yang berbeda-beda, tapi apa yang dirasakannya tidaklah mengenakkan.

“Kena COVID itu sumpah tidak enak rasanya dan resikonya mati.”

Ia kini mengajak agar warga di Indonesia tidak banyak bepergian kecuali untuk hal-hal yang sangat mendesak.

“Tetapi sepulang liburan salah satu anggota keluarganya pasti ada yang kena COVID.”

Kondisi di tempat kerja lebih baik?

Irvandi Ferizal adalah salah seorang direktur sebuah kelompok bank di Jakarta.
Irvandi Ferizal adalah salah seorang direktur sebuah kelompok bank di Jakarta.

Foto: Supplied

Irvandi Ferizal, seorang direktur salah satu bank swasta di Jakarta juga mengkhawatirkan penularan COVID-19 di kalangan keluarga.

Irvandi mengatakan bank tempatnya bekerja, dengan sekitar 7 ribu pekerja di seluruh Indonesia, sudah berusaha membatasi pergerakan karyawannnya.

“Kami berusaha menghentikan penyebaran COVID-19 di lingkungan kita masing-masing dulu,” katanya kepada ABC Indonesia.

“Sekarang ini kita hanya mengizinkan sekitar 25 persen karyawan yang kerja di kantor, padahal pemerintah membolehkan sekitar 50 persen.

Irvandi yang memiliki anak seorang dokter yang menangani pasien COVID-19 menambahkan kondisi di tempat kerja lebih baik dibandingkan keluarga di rumah dan kegiatan sosial.

“Menurut saya banyak titik lemah dan titik lengah yang menyebabkan kluster keluarga dan kluster kegiatan sosial menjadi salah satu sumber besar penyebaran COVID-19 di Indonesia,” katanya.

“Misal saja kita sebagai suami bisa mengikuti protokol kesehatan, namun istri yang mungkin bekerja di tempat lain bisa membawa virus ke rumah.”

“Juga saya lihat di tempat umum, orang berkumpul duduk satu meja makan bersama beberapa orang tanpa mengenakan masker dan tidak berjarak,” kata sarjana psikologi lulusan Universitas Padjadjaran Bandung tersebut.

Menurutnya saat ini masih ada sebagian orang di Indonesia yang tidak percaya dengan keberadaan virus COVID-19.

Namun sebagian besar lagi menurutnya adalah kelompok yang tidak waspada dengan protokol kesehatan sehingga angka penularan di Indonesia masih berada di gelombang pertama.