ABC

Angkat Kisah Korban, Diskusi Peristiwa 1965 di Bali Bantah Bahas Komunisme

Menanggapi pembatalan diskusi dan peluncuran buku tentang peristiwa 1965 dalam Festival Penulis dan Pembaca Ubud (UWRF) 2015, pihak penyelenggara membantah adanya upaya penyebaran komunisme. Mereka justru mengaku ingin suarakan derita para korban.

Pada tanggal 23 Oktober 2015, Yayasan Herb Feith- yang mensponsori diskusi seputar peristiwa 1965 -mendapat kabar tentang pembatalan kegiatan yang mereka dukung.

Sebelum pembatalan dilakukan Kepolisian Indonesia, yayasan asal Australia di bawah Monash University -yang bergerak di bidang pendidikan dan hak asasi manusia -ini berencana untuk menggelar serangkaian kegiatan dalam UWRF atau Ubud Writers and Readers Festival 2015.

Salah satu buku tentang Peristiwa 1965 yang akan diluncurkan dalam Festival Penulis dan Pembaca Ubud 2015. (Foto: Yayasan Herb Feith)
Salah satu buku tentang Peristiwa 1965 yang akan diluncurkan dalam Festival Penulis dan Pembaca Ubud 2015. (Foto: Yayasan Herb Feith)

Kegiatan itu termasuk diskusi panel yang membahasa karya-karya sastra seputar peristiwa 1965; pameran foto yang dikurasi lembaga Asia Juctice dan Rights (AJAR) dan juga peluncuran 3 buku yang berkisah tentang tragedi 1965 itu. Ketiga buku itu antara lain: Forbidden Memories: Women’s experiences of 1965 in Eastern Indonesia (Kenangan Tak Terlupa: Pengalaman Para Perempuan Indonesia Timur di Tahun 1965); Breaking the Silence: Survivors Speak about 1965-66 Violence in Indonesia (Memecah Kesunyian: Suara Korban tentang Kekerasan 1965-66 di Indonesia); dan Truth Will Out: Indonesian Accounts of the 1965 Mass Violence (Kebenaran Akan Terungkap: Peran Indonesia dalam Pembantaian Massal 1965).

Jemma Purdey dari Yayasan Herb Feith mengatakan, “Kami memang tak berbicara langsung dengan Kepolisian Indonesia seputar pembatalan itu. Kami mendengarnya dari panitia festival dan beberapa laporan media yang menyatakan bahwa keputusan polisi mungkin didasarkan pada aturan yang melarang diskusi komunisme.”

Ketika ditanya apakah konten kegiatan mengarah ke kampanye komunisme, Jemma membantah. Misalnya saja seperti pameran foto, yang disebut Jemma materinya bisa dilihat online di situs AJAR dan mengisahkan tentang para korban perempuan yang selamat dari pembantaian 1965.

“Foto-foto yang tadinya mau dipamerkan adalah bagian dari penelitian partisipatori yang menghubungkan para perempuan itu dengan memori mereka akan peristiwa 1965, ada keterangan dalam foto itu yang menunjukkan bagaimana kekerasan saat itu berdampak pada mereka,” tulisnya kepada ABC melalui email.

Salah satu korban peristiwa 1965 yang dimaksud Jemma adalah Lasinem, seorang janda yang suaminya ditahan pada tahun 1969 dan dibuang ke Pulau Buru. Sejak saat itu, Lasinem berjuang membesarkan anak-anaknya. Pada tahun 1972, Lasinem beserta  anak-anaknya menyusul ke Pulau Buru sebelum akhirnya sang suami dibebaskan pada tahun 1979.

Hingga saat ini, keluarga Lasinem masih bertahan di pulau itu, menyambung hidup dengan menjual kecambah serta ayam.

"Suami saya dijemput tentara, dibawa teman-temannya sendiri dan dikirim ke kelurahan. Ia dipukul, diikat ke kursi dan dianiaya. Punggungnya diinjak-injak sampai ia luka sekujur tubuh. Awalnya saya bingung dan takut hingga tersadar saya telah kehilangan seorang pelindung dan sumber nafkah saya. Bagaimana anak-anak kami? mereka butuh makan!. Saya masih terluka karena saya masih ingat apa yang terjadi di masa lalu. Masih ada luka di hati saya," tuturnya dalam situs resmi AJAR.

Jemma mengungkapkan, jika memang benar pembatalan itu disebabkan dugaan penyebaran komunisme, maka polisi telah salah memahami tema diskusi dan tujuan kegiatan.

 “Jika memang polisi merujuk pada TAP MPRS No. 25 tahun ’66, maka itu tak tepat karena tak ada diskusi tentang ideologi komunisme dalam acara itu. Kegiatan yang dibatalkan benar-benar diskusi akademis dan sastra seputar dampak peristiwa 1965,” terangnya.

Lasinem dari Pulau Buru, salah satu korban kekerasan 1965. (Foto: asia-ajar.org)
Lasinem dari Pulau Buru, salah satu korban kekerasan 1965. (Foto: asia-ajar.org)

Ia  mengutarakan, pihaknya ingin menampilkan bagaimana sejarah masa lalu yang traumatis dikenang dalam perjalanan Indonesia hari ini, dengan berbagai referensi dari cerita warga, musik, karya sastra dan fotografi.

Lebih lanjut Jemma mengemukakan, yayasannya berusaha untuk memberi ruang bagi para korban untuk bersuara ke publik internasional tentang periode yang dianggap kelam tersebut, dan dampaknya terhadap kehidupan mereka serta Indonesia, pada umumnya.

“Kami dan juga penyelenggara festival merasa bahwa setelah 50 tahun peritiwa itu dan juga berkembangnya demokrasi Indonesia, diskusi seperti ini mungkin dilaksanakan,” pendapatnya.

Ketika tulisan ini diterbitkan, ABC masih berusaha menghubungi pihak Kepolisian yang membatalkan agenda diskusi tersebut.

Salah satu agenda acara dalam Festival Penulis dan Pembaca Ubud 2015 di Bali. (Foto: instagram @ubudwritersfest)
Salah satu agenda acara dalam Festival Penulis dan Pembaca Ubud 2015 di Bali. (Foto: instagram @ubudwritersfest)