ABC

Anak di Bawah Umur Kini Ikut Jadi Pejuang Papua Merdeka

Konflik bersenjata berkepanjangan antara militer Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) kini melibatkan remaja yang masih di bawah umur sebagai generasi pejuang kelompok separatis ini.

Teaser OPM

Anak di Bawah Umur Ikut OPM:

  • Organisasi Papua Merdeka (OPM) kini diperkuat pasukan bersenjata dari kalangan anak di bawah umur
  • OPM mengklaim hal ini sudah jadi bagian dari perjuangan mereka untuk merdeka dari Indonesia
  • Keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata menunjukkan konflik Papua “jauh lebih serius”

Seperti dilaporkan kantor berita The Associated Press (AP) sayap militer OPM West Papua Liberation Army (WPLA) yang telah mengangkat senjata sejak 1960-an, mengakui hal tersebut.

Demikian pula kelompok advokasi damai pendukung kemerdekaan Papua juga mengakui adanya remaja dalam pasukan bersenjata OPM.

Mereka menggambarkan anak di bawah umur ini siap berperang melawan Indonesia yang menjalankan operasi militer di tanah mereka, Papua.

Hukum internasional mendefinisikan usia di bawah 18 tahun sebagai anak-anak. Dan perekrutan anak-anak di bawah 15 tahun untuk keperluan militer dikategorikan serbagai kejahatan perang berdasarkan Statuta Roma tahun 2002 tentang Pengadilan Pidana Internasional.

Sekitar 170 negara, termasuk Indonesia, telah meratifikasi perjanjian PBB yang mewajibkan pemerintah menghentikan perekrutan militer bagi usia di bawah 18 tahun serta upaya mengakhiri eksploitasi anak-anak oleh kelompok bersenjata negara dan non-negara.

Sebby Sambom, juru bicara WPLA yang tinggal di Papua Nugini, mengakui pasukan mereka mencakup remaja di bawah 18 tahun. Dia menggambarkan hal ini sebagai bagian dari sejarah Papua dan perjuangan kemerdekaan mereka.

Pejuang OPM tidak pernah dipersenjatai dengan baik namun telah bertahan sejak Indonesia mengambilalih wilayah kaya mineral ini dari Belanda pada tahun 1962.

Orang Papua, yang menyatakan kemerdekaan setahun sebelumnya, melihat orang Indonesia sebagai penjajah yang memperkuat kontrol mereka melalui referendum kontroversial pada akhir 1960-an.

Bagi Pemerintah Indonesia, Papua merupakan wilayah kaya sumberdaya mineral yang tidak akan pernah dilepaskan.

Para pejabat mengatakan wilayah itu adalah hak Indonesia berdasarkan hukum internasional karena merupakan bagian dari Hindia Belanda yang merupakan dasar bagi wilayah Indonesia.

Butuh intervensi internasional

Menurut aktivis HAM yang berbasis di Indonesia, Veronica Koman, keberadaan tentara di bawah umur merupakan pertanda bahwa konflik Papua “jauh lebih serius daripada yang diakui dunia”.

“Papua butuh intervensi internasional, karena tentara anak-anak sendiri adalah korban. Pendekatan keamanan Pemerintah Indonesia telah menciptakan konflik yang tidak dapat diatasi dengan membinasakan generasi demi generasi orang Papua,” ujarnya.

Sebuah foto yang diambil pada Mei lalu oleh anggota WPLA di daerah Nduga di dataran tinggi Papua menunjukkan empat pria usia anak hingga remaja, bersama empat pria lebih tua, memegang senajata.

Sebuah video di daerah yang sama awal tahun ini menunjukkan anak-anak yang sama, satu memegang senapan, serta remaja lainnya di antara sekitar 40 pria bersenjata yang mendengarkan pidato tentang kemenangan militer mereka sejak 2017.

Dalam video tersebut Ekianus Kogeya, berusia 19 tahun pada bulan Mei, digambarkan oleh WPLA sebagai Brigadir Jenderal dan komandan di Nduga. Dia mengambilalih posisi ini dari ayahnya Silas Elmin Kogeya, yang meninggal beberapa tahun lalu.

Tidak jelas berapa banyak remaja yang terlibat langsung dalam konflik bersenjata serta apa peran mereka. Namun diperkirakan setidaknya melibatkan puluhan orang.

Victor Mambor, editor media Tabloid Jubi, kepada AP mengaku pernah dihubungi oleh 20 pejuang WPLA pada Januari ketika melaporkan krisis kemanusiaan di Nduga.

Ribuan warga sipil saat itu terlantar akibat tindakan keras aparat keamanan RI sebagai tanggapan atas serangan pada Desember yang menewaskan 19 pekerja konstruksi di sana.

Kelompok itu adalah tiga perempat remaja putra, sekitar 15-16 tahun, katanya.

“Para remaja ini tak memiliki harapan di tanah mereka sendiri,” katanya.

“Tak ada pekerjaan bagi mereka setelah tamat sekolah. Banyak tentara di desanya. Mungkin satu-satunya harapan hidup mereka adalah mengangkat senjata,” kata Victor Mambor.

Sejumlah pihak menyebut anak di bawah umur biasanya direkrut secara paksa tapi juga ada yang bergabung kelompok bersenjata karena tekanan budaya, untuk perlindungan atau demi uang akibat kemiskinan yang menyedihkan.

Disebutkan, anak-anak dalam konflik, baik sebagai kombatan atau dalam peran lainnya, berisiko dilecehkan, dibunuh atau cacat. Mereka yang selamat pun bisa menderita masalah psikologis dan sosial yang mendalam.

Dataran rendah didominasi pendatang

Laporan tahuan Sekjen PBB tentang negara-negara dan kelompok bersenjata yang menggunakan tentara di bawah umur tidak menyebutkan OPM. Perhatian dunia internasional ke Papua saat ini berada di level yang sanghat rendah.

Pemerintahan Joko Widodo melakukan pembatasan terhadap jurnalis dan organisasi asing beroperasi di kawasan ini sehingga membuatnya semakin tersembunyi dari perhatian dunia.

Papua mencakup hampir seperempat dari luas daratan Indonesia dan kaya dengan hutan tropis dan sumber daya mineral, termasuk salah satu tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, Freeport.

Sebagian besar wilayah Papua tetap berada di luar kendali Pemerintah Indonesia karena faktor keterpencilan, medan yang bergunung-gunung, serta hutan lebat.

Masuknya pendatang dari bagian lain Indonesia membuat penduduk asli Papua menjadi terpinggirkan secara ekonomi dan politik di beberapa daerah dataran rendah.

Tapi daerah dataran tinggi yang luasnya seukuran Inggris masih dihuni terutama oleh orang Papua asli.

Upaya Pemerintahan Jokowi menerabas “benteng hutan” itu melalui pembangunan jalan raya trans-Papua telah menjadi titik api baru bagi konflik bersenjata.

Jalan raya tersebut berpotensi sebagai ancaman eksistensial bagi penduduk asli Papua yang telah menderita tingginya kematian bayi, kelaparan, penyebaran HIV/AIDS dan jumlah kematian yang tidak diketahui dari operasi militer Indonesia sejak 1960-an.

Aktivis Papua khawatir jalan raya yang kerap dibanggakan Pemerintah Indonesia ini bukannya akan menghasilkan pembangunan ekonomi melainkan menjadi perampasan total tanah mereka.

Sebby Sambom, yang menyebut tentara di bawah umur sebagai “anak-anak” dan “pemuda,” mengatakan mereka itu tumbuh di hutan, memiliki “pengalaman pahit karena operasi militer brutal” dan otomatis menjadi pejuang.

“Situasi ini berlaku di semua dataran tinggi tengah Papua, yang merupakan daerah konflik perang,” katanya melalui email.

Dalam wawancara telepon, ia tidak berapa jumlah remaja atau kombatan anak-anak serta apa peran mereka dalam pasukan.

Dia hanya mengatakan anak-anak itu tidak bersekolah, sebagian karena mereka takut diculik atau dibunuh oleh militer Indonesia.

Juru bicara militer Indonesia di Papua, Muhammad Aidi, mengatakan pejuang Papua yang terbunuh oleh pasukan Indonesia sebagian besar berusia 20-40 tahun.

Dia mengaku belum melihat bukti langsung adanya kombatan anak-anak tetapi di beberapa daerah terpencil anak-anak memang ingin bergabung dengan WPLA.

“Jika kita bertanya kepada anak-anak di Mapenduma tentang cita-cita mereka, jawaban mereka adalah menjadi pejuang OPM (Organisasi Papua Merdeka),” katanya. “Karena mereka tidak tahu dunia luar.”

Muhammad Aidi mengatakan siapa pun di bawah 18 yang menyerang pasukan keamanan Indonesia dengan senjata tidak akan dikecualikan.

“Ancamannya sama dengan orang dewasa yang bisa membunuh kita dengan senjata mereka,” katanya.

AP/ABC