ABC

Amnesty International Tuduh Petugas Australia Bayar Penyelundup Manusia

Amnesty International menyatakan ada petugas Australia yang membayar penyelundup manusia untuk memulangkan pencari suaka ke Indonesia (dan tidak memasuki wilayah Australia). Petugas itu dianggap telah melakukan kejahatan transnasional dan membahayakan nyawa manusia.

Dalam laporan yang dirilis LSM internasional tersebut, disebutkan bahwa petugas Satuan Perbatasan (Border Force) dan Angkatan Laut Australia mencegat perahu penyelundup manusia dan membayar nakhoda kapal untuk berbalik (kembali ke Indonesia). 

Amnesty mendesak dibentuknya komisi khusus untuk penyelidikan kasus ini, serta kasus serupa lainnya.

Sejumlah pejabat Australia telah membantah adanya keterlibatan petugas yang melakukan pembayaran terhadap penyelundup manusia. Namun bantahan itu tidak pernah diberlakukan untuk petugas-petugas intelijen.

Juru bicara Menteri Imigrasi Peter Dutton menyebut laporan Amnesty sebagai  "penghinaan terhadap anggota Australian Border Force (ABF) dan Australian Defence Force (ADF)".

Laporan Amnesty mengungkapkan kasus pertama terjadi pada Mei 2015, saat sebuah perahu yang mengangkut 60 orang dan 6 awak kapal diperkirakan menuju ke Selandia Baru berhasil dicegat.

Amnesty mengukuhkan laporannya dengan melakukan wawancara terhadap semua orang yang ada di perahu itu.

Perahu itu sendiri kabarnya dua kali dicegat sebelum akhirnya digelandang ke Pulau Greenhill Island di dekat Darwin.

Para penumpang perahu tersebut, kata laporan Amnesty, disarankan mandi di atas kapal ABF.

"Pada saat itulah, di perahu tersebut petugas Australia memberi uang kepada nakhoda dan awak perahu," kata laporan itu.

"Nakhoda dan awak perahu memberi tahu Amnesty International bahwa dua orang di antara mereka menerima 6 ribu dollar/perorang (dalam bentuk mata uang dollar AS), serta empat lainnya masing-masing menerima 5 ribu dollar. Total uang yang diberikan 32 ribu dollar," tambah laporan Amnesty.

"Di perahu saat itu ada 15 pencari suaka, dan satu di antara mereka mengaku melihat nakhoda perahu bertemu dengan petugas Australia di bagian dapur perahu dan melihat sang nakhoda memasukkan amplop tebal ke kantongnya," kata Amnesty.

Kasus kedua terjadi pada akhir Juli, dan Amnesty mengaku telah mewawancarai 15 orang asal Bangladesh, Pakistan dan Myanmar, yang perahunya dikembalikan ke Pulau Rote di Indonesia.

Amnesty International yakin bahwa bukti-bukti ini menunjukkan terjadinya pelanggaran hukum internasional, sebab "Petugas Australia terlihat mengorganisir atau memerintahkan awak perahu untuk melakukan penyelundupan manusia".

Juru bicara Menteri Dutton membantah laporan ini.

"Pemerintah telah menanggapi tuduhan ini sebelumnya, termasuk menyerahkan laporan kepada Komite Legal and Constitutional Affairs References pada 30 Juli 2015," kata jubir tersebut.

Dikatakan, pemerintah akan selalu bertindak berdasarkan kepentingan terbaik warga Australia.

"Operasi Kedaulatan Perbatasan dijalankan sesuai dengan aturan hukum Australia dan tanggung jawab negara ini di bawah aturan hukum inetrnasional," katanya.