Alasan Polisi di Australia Bisa Bahasa Indonesia
Peter Davidson, pria Australia kelahiran tahun 1983, telah bergabung dengan Kepolisian Queensland hampir delapan tahun.
Ia kini menjabat sebagai Senior Constable di Yamanto Police Station, sekitar satu jam menyetir dari kota Brisbane.
Peter mengaku bisa berbahasa Indonesia, yang telah ia pelajarinya hampir dua tahun terakhir.
Dengan kemampuan berbahasa Indonesia, kini ia sedang membuat sebuah brosur informasi dalam bahasa Indonesia soal pelayanan Policelink.
Policelink adalah layanan yang bisa diakses oleh warga Queensland untuk melaporkan insiden yang tidak terlalu genting, seperti pencurian, kehilangan barang, atau aktivitas yang mencurigakan.
Layanan yang diluncurkan pada tahun 2010 oleh Kepolisian Queensland ini bertujuan agar warga tidak lagi menghubungi layanan gawat darurat 000, sehingga polisi bisa lebih menangani insiden darurat.
Hingga saat ini layanan baru tersedia dalam bahasa Cina, Jepang, dan beberapa bahasa dari kawasan Eropa.
“Saya berharap brosur berbahasa Indonesia bisa selesai dalam beberapa pekan ke depan kemudian dibagikan ke kelompok mahasiswa dan organisasi masyarakat Indonesia bagaimana cara mengontak polisi di Queensland, bagaimana cara melaporkan kecelakaan lalu lintas,” kata Peter kepada Erwin Renaldi dari ABC di Melbourne.
Brosur dan informasi yang diterjemahkan oleh Peter nantinya akan disebarkan ke seluruh negara bagian Queensland.
Kota kecil Yamanto, sekitar 48 km dari Brisbane, berdekatan dengan kampus Southern Queensland University, Griffith University, serta ada kampus dari University of Queensland, yang menurut Peter banyak ditemukan mahasiswa Indonesia.
“Brosur ini khususnya bagi para mahasiswa, sehingga mereka bisa melaporkan, seperti kehilangan, kecurian, hal-hal yang tidak terlalu darurat.”
Tak hanya brosur, Peter berharap dengan kemampuan berbahasa Indonesianya juga dapat lebih mendekatkan kepolisian dengan komunitas Indonesia.
“Kapan pun di Queensland, Anda bisa bertemu anggota polisi dan berbicara dengan mereka, berjabat tangan, dan mengobrol.”
“Tidak harus selalu berbicara kita jika sedang ada masalah atau berhadapan dengan hukum, kita sangat mudah didekati.”
Berawal dari satu percakapan
Peter mengaku ketertarikannya terhadap bahasa dan budaya Indonesia berawal saat ia berlibur ke Bali.
“Semua ini berawal dari satu percakapan,” ujar Peter, ayah dari empat anak perempuan ini.
“Saya merasa sangat disambut oleh warga setempat. Mereka membantu saya untuk merasa aman, dibawa ke tempat-tempat indah, diajak makan.”
Sejak saat itulah ia merasakan adanya ketertarikan untuk mengenal lebih jauh budaya dan politik di Indonesia.
Peter mengaku pada awalnya ia seperti kebanyakan warga Australia, yakni memilih Bali sebagai tempat berlibur. Tapi hingga saat ini ia sudah pernah mengunjungi Jakarta, Lombok, Yogyakarta, dan bahkan berencana untuk berkunjung ke lebih banyak tempat di Indonesia setiap tahun bersama istri dan anak-anaknya.
Ia mulai belajar bahasa Indonesia sebagai sebuah hobi. Namun kini, ia mengaku telah memanfaatkan kemampuan berbahasa Indoensia dalam profesinya sebagai seorang polisi.
“Suatu hari teman saya asal Indonesia di University of Queensland kehilangan telepon genggamnya. Ia menelepon saya dan ingin melapor pada polisi. Ia bertanya ‘apa yang harus saya lakukan? Bagaimana melaporkannya’… inilah bagaimana mulanya bagi saya untuk mempraktikkan bahasa Indonesia dalam pekerjaan.”
Peter mengaku masih deg-degan saat berbicara bahasa Indonesia. Tapi lewat banyak berhubungan dengan komunitas Indonesia dan mahasiswa Indonesia di Queensland, membuat rasa percaya dirinya terus meningkat.
“Belajar bahasa Indonesia bagi saya tidak sulit, karena saya menyukainya. Tapi kesulitan terbesar bagi saya adalah penempatan kata dalam kalimat. Kadang saya kesulitan menemukan padanan kata bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia. Sulit untuk tidak selalu menggunakan kata ‘the’ terlalu sering.”
Warga Indonesia rentan jadi korban KDRT
Menurut Peter, kebanyakan laporan yang ia tangani dari warga Indonesia di Queensland adalah jenis kejahatan ringan. Tetapi jika dilihat, menjadi korban pencurian paling sering terjadi.
Terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa, yang menurut Peter karena mereka memiliki laptop, telepon genggam, dan jenis gadget lainnya untuk keperluan sekolah.
“Saya rasa warga Indonesia mudah percaya dan terlalu santai, sehingga orang lain memanfaatkannya.”
Setelah pencurian dan kehilangan, Peter menyebutkan ada pula warga Indonesia yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Terutama perempuan Indonesia yang datang kesini dan menikah dengan pria Australia. Mereka bisa menjadi korban kekerasan, karena tidak tahu apa itu KDRT.”
“Kadang mereka terlalu takut, tidak hanya bagi warga Indonesia, tapi pada para korban lainnya, takut melapor karena jika polisi terlibat mereka bisa dalam posisi yang lebih parah.”
Peter bercerita jika ia pernah menangani satu kasus perempuan yang menjadi korban KDRT. Lewat kemampuan berbahasa Indonesianya, Peter membantu perempuan tersebut untuk kemudian merujuk pada sebuah organisasi dan mendapat konseling. Perempuan tersebut dibantu untuk memutuskan hubungannya dan pulang ke Indonesia.
“Yang akan menjadi proyek kedua saya adalah menggelar sesi informasi dan pelatihan, serta mendidik perempuan Indonesia di Queensland soal apa itu KDRT dan cara menghindarinya. Jika tidak dapat menghindar, kami akan berikan cara untuk melapor pada polisi.”
Sepengetahuan Peter, di Kepolisian Queensland ada sekitar dua atau tiga anggota polisi yang juga sedang belajar bahasa Indonesia.