Aktivis Australia Terancam Dideportasi Akibat Aksi Protes Sawit di Manado
Aktivis Australia Katherine Woskett terancam dideportasi dari Indonesia karena keterlibatannya dalam aksi protes Greenpeace Indonesia menduduki kilang timbun minyak sawit anak perusahaan Wilmar International, pedagang minyak sawit terbesar di dunia.
Sebanyak 10 orang aktivis ditahan oleh pihak kepolisian dua orang aktivis WNA dimintai keterangan oleh imigrasi setelah aksi Greenpeace Indonesia menduduki kilang minyak sawit PT Multi Nabati Sulawesi (MNS) di Bitung, Manado, Sulawesi Utara, Selasa (25/9) lalu.
Jekson Wenas, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Manado yang mengadvokasi Katherine ketika dihubungi ABC mengatakan pihaknya masih menunggu keputusan Kantor Imigrasi Kelas II Bitung.
“Setelah kegiatan pada hari Selasa (25/9), Imigrasi menahan dokumen (paspor) Katherine dan kemarin sudah ditanya untuk dibuatkan BAP,” kata Jekson Wenas kepada Alfred Ginting dari ABC, Kamis (27/9) siang.
“Menurut Imigrasi kemarin, keputusannya hari ini, dan sejak pagi ini kami masih menunggu.”
Aktivis Greenpeace yang menduduki kilang berasal dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Inggris, Prancis dan Australia.
Selain Katherine, aktivis WNA yang diproses oleh imigrasi adalah Farhan Nasa asal Malaysia.
Jekson mengatakan kemungkinan terburuk adalah Katherine akan dideportasi dari Indonesia, dengan melewati proses di tahanan Imigrasi di Jakarta.
Aksi pada hari Selasa yang berlangsung sejak pagi melibatkan 23 aktivis yang datang dari laut dengan perahu karet menuju lokasi dan memanjat kilang timbun dan kapal PT MNS, membentangkan banner bertuliskan “Hentikan Minyak Sawit Kotor” dan mengecat lambung kapal dengan tulisan “Stop Deforestation”.
“Wilmar telah berjanji untuk membersihkan rantai pasokannya sejak 2013. Namun masih membeli minyak sawit dari perusak hutan,” kata Kiki Taufik, kepala kampanye hutan global Greenpeace Indonesia, dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa.
"Wilmar seharusnya hanya membeli minyak sawit dari produsen yang terbukti bersih. Itulah yang dikatakan CEO Wilmar Kuok Khoon Hong hampir lima tahun lalu."
Dalam laporan yang dirilis minggu lalu, Greenpeace mengklaim bahwa 25 produsen minyak sawit telah membabat 130.000 hektar hutan hujan sejak 2015, 18 di antaranya memasok minyak sawit ke Wilmar.
“Kilang minyak ini dipenuhi minyak sawit kotor Wilmar dan jika kami tidak ada di sini, minyak sawit kotor ini akan menuju pabrik dan supermarket di seluruh dunia,” kata Yeb Sano, direktur eksekutif Greenpeace Asia Tenggara.
"Pesan untuk merek-merek besar seperti Unilever, Nestlé dan Mondelez adalah sederhana: potong Wilmar hingga terbukti minyak sawitnya bersih.
Aksi ini terjadi tiga bulan setelah eksekutif senior Wilmar mengundurkan diri menyusul laporan Greenpeace yang menghubungkan perusahaan dengan deforestasi di Papua.
Wilmar minta Greenpeace kolaboratif
Sebagai tanggapan terhadap pendudukan, Wilmar mendesak Greenpeace untuk mengambil “tindakan kolaboratif” dengan perusahaan jika ingin meningkatkan kinerja lingkungan industri minyak sawit.
“Aksi Greenpeace di kilang minyak sawit Wilmar di Bitung bukan hanya tindakan kriminal masuk tanpa izin dan vandalisme tetapi risiko keselamatan bagi aktivis serta staf Wilmar,” sebut perusahaan yang berpusat di Singapura itu dalam pernyataan pada hari Selasa.
“Tidak ada organisasi yang berada di atas hukum, dan kami mendesak Greenpeace untuk mengadopsi pola pikir kolaboratif dan bekerja dengan industri minyak sawit untuk mengambil tindakan yang tulus dan positif.”
Wilmar juga menyanggah klaim Greenpeace tentang perusahaan yang bersumber dari kelapa sawit.
“Harus diklarifikasi bahwa, dari 25 perusahaan yang terdaftar, Wilmar membeli dari 13 kelompok pemasok, bukan 18 seperti yang diduga dalam laporan,” kata perusahaan itu, menambahkan bahwa 11 dari 13 perusahaan telah dimasukkan dalam daftar laporan Wilmar.
“Tuduhan Greenpeace bahwa Wilmar gagal dalam memantau rantai pasokan kami didasarkan pada kurangnya pemahaman yang disengaja tentang pekerjaan kami di lapangan.”
Aktivis pemanjat profesional
Katherine yang berusia 27 tahun adalah seorang arboris atau arboriculturalist, yaitu orang yang mempunyai keahlian dalam kesehatan pohon.
Katherine memanfaatkan kemampuannya dalam memanjat pohon dan tali-temali sebagai aktivis profesional yang biasa terlibat dalam aksi memanjat untuk menyampaikan pesan.
Pada Februari 2016, Kat dan seorang rekannya memanjat tiga perempat menara Arts Centre Melbourne yang setinggi 162 meter untuk memprotes rencana deportasi 267 pencari suaka dari Nauru.
Mereka membentangkan banner bertuliskan “#LetThemStay”, slogan untuk menuntut pencari suaka tetap di Australia, dan bertahan di ketinggian selama 12 jam sebelum akhirnya setuju untuk turun.
Sepekan sebelumnya Kat dan seorang rekannya mengikat diri dan bergelantungan di sebuah jembatan di Melbourne dengan tema protes yang sama.
Setelah kedua aksi tersebut, Kat dan rekannya tidak ditahan dan diadili.
Tahun lalu Katherine dan rekannya Woskett memanjat crane saat berlangsung pacuan kuda bergengsi Melbourne Cup, dan membentangkan banner bertuliskan “SOS: Evacuate Manus Now!”.