ABC

“Aktif Sebelum Reformasi”: Belajar Dari Islam di Jawa Barat

Aspirasi konservatif di kalangan penganut Islam di Indonesia sudah lama ada namun selama 10 tahun terakhir sikap konservatif tersebut semakin kuat.

  • Kegiatan publik Islam dinilai baru muncul sekarang di ruang publik formal
  • Sebelum reformasi publik Islam aktif di sosial dan ekonomi
  • Konservatisme tidak dapat dilawan dengan sekularisme

Hal tersebut dikatakan oleh Amin Mudzakkir peneliti Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam sebuah seminar di Monash University di Melbourne hari Senin (25/11/2019).

Mudzakkir menyampaikan topik seminar Penguatan Ruang Publik Islam di Indonesia: Catatan dari Jawa Barat, berdasarkan penelitian yang dilakukannya di Jawa Barat tahun 2018.

Mengawali perbicangannya Amin mengatakan bahwa pada awalnya ada rasa optimisme bahwa Islam di Indonesia akan menjadi semakin sipil atau moderat, sebagaimana disampaikan oleh Robert Hefner dalam bukunya berjudul ‘Civil Islam’.

“Sebuah optimisme yang ia [Hefner] angkat dari pengalaman Indonesia terutama sejak tahun ’80-an dan ’90-an di mana muncul para tokoh-tokoh moderat Muslim,” kata Amin Mudzakkir.

Ia namun mengatakan bahwa sepuluh tahun kemudian, optimisme tersebut tampaknya mulai sirna.

“Setelah reformasi terjadi tahun 1998, ketika Soeharto jatuh justru banyak peristiwa atau kejadian yang membuat optimisme ala Hefner ini menjadi diragukan,” kata Amin lagi.

“Ada banyak persekusi terhadap kelompok minoritas, banyak aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok yang dimarjinalkan berbasiskan pada agama, pada Islam terutama.”

Aksi besar-besaran di lapangan Monas pada tahun 2016 yang menuntut penangkapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menurut Amin juga turut memudarkan optimisme yang dimiliki oleh Hefner.

“Maka tahun 2014 Pak Martin van Bruinessen dari Belanda bersama beberapa rekannya menerbitkan sebuah buku mengenai ‘Conservative Turn’ dalam arus Indonesia, Islam Indonesia,” kata Amin.

“Ribuan orang datang [ke aksi di lapangan Monas tahun 2016] dan yang paling teatrikal adalah ada ribuan orang dari Tasikmalaya, Ciamis dan Garut jalan kaki ke Jakarta.

Namun, berdasarkan penelitian kualitatif dan survei yang dilakukan Amin bersama tim LIPI pada tahun 2018 di Jawa Barat, aspirasi konservatif ini memang sudah ada sejak dulu.

“Kalau kita melihat sejarah dengan lebih lama tanpa membaginya secara ketat kita akan melihat bahwa aspirasi konservatif ini sebenarnya merupakan hal yang ‘inherent’ (melekat) bahkan dalam sejarah Indonesia modern.”

Amin Mudzakkir
Amin Mudzakkir mengatakan bahwa Islam sudah aktif sejak dulu, yakni dalam ruang publik informal.

Foto: supplied

Aktif tapi tidak di politik

Menurut pernyataan Amin, publik Islam di Jawa Barat sudah aktif sejak lama namun tidak dalam politik.

Hal ini ia katakan saat membahas tentang Masyumi yaitu wadah politik umat Islam Indonesia yang dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960.

“Ketika Masyumi dibubarkan pada tahun 1960, tokoh-tokohnya tetap beraktivitas seperti biasa. Hanya mengalihkan aktivitasnya ke dakwah,” katanya.

“Salah satunya adalah Rusyad Nurdin. Dia membangun sebuah masjid pada waktu itu [yang menjadi] model pembentukan masjid di Indonesia [sebagai] tempat penumpukan para aktivis Muslim yang tidak bisa mengartikulasikan dalam politik namun dalam dakwah.”

Contoh lain yang diberikan Amin adalah dari model kelompok hijrah dengan tokohnya ustad Hanan Attaki, da’i muda yang berencana mendirikan ‘masjid gaul’ dan terkenal di kalangan remaja.

“Saya kebetulan kemarin penelitian mengenai ini, pemuda hijrah, itu sebuah kelompok hijrah yang saya bilang paling aktif di Bandung, yang berbasis di Masjid Al-Lathiif,” katanya.

“Ada salah satu tokoh ustad Hanan Attaki, dia salah satu tokoh Instagram terbesar di Indonesia sekarang. 7,8 juta pengikutnya. Dan saya setiap ke sana aktif sekali. Dari pagi sampai malam ada kegiatan di sana.”

Melalui beberapa contoh yang ia paparkan, Amin mengatakan bahwa Islam memang sudah aktif di ruang publik informal sebelum reformasi hingga saat ini.

“Nah, ini kan ruang publik, sesuatu yang tidak kita perhatikan tapi aktif sekali,” katanya.

“Jadi kalau dikatakan Islam baru muncul di ruang publik setelah reformasi, saya kira itu hanya terbatas pada ruang publik formal.”

Argumen sekuler tidak efektif

Amin mengatakan bahwa proses Islamisasi di Indonesia memang tidak bisa dihentikan dan harus diterima dari sisi sosiologis maupun normatif, tapi harus dilihat secara kritis.

“Di sini otoritas publik, negara harus memilih, tidak bisa hanya membiarkan perdebatan terjadi di ruang formal pada masyarakat,” kata dia.

“Harus memilih satu atau mempromosikan sebuah hal tertentu yang bisa menjadi, dalam bahasa saya, semacam ‘public counter’ (lawan) dari proses Islamisasi yang cenderung konservatif itu.”

Argumen sekuler menurutnya tidak jadi solusi bagi kritik Islamisasi di Indonesia.

“Saya berpikir kalau kritik pada Islamisasi didasarkan pada argumen sekuler, bisa jadi ‘backlash’ atau bumerang. Tentu harus dicari satu alternatif yang terpaksa mengakui pada agama pula, pada etika juga.”

Menurutnya, adalah hal yang penting bagi orang-orang untuk melihat bahwa publik Islam bersifat sangat jamak.

“Penting untuk kembali melihat publik Islam ini sangat jamak dan lawannya bukan dunia sekuler, tapi di antara orang-orang beragama.”

“Antara Islam dan orang sekuler, padahal tidak, ini terjadi di dalam Islam sendiri. Jadi ini konflik di antara orang-orang yang punya etik berbeda.”

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia