AHRC: Australia dan AS Bantu Indonesia Bantai Warga Papua
Sebuah komisi HAM yang bermarkas di Hongkong, Asian Human Rights Commision (AHRC) menyatakan, militer Indonesia menggunakan helikopter-helikopter dari Australia dan pesawat dari Amerika Serikat (AS) untuk membantai warga Papua di tahun 1970an.
Dalam laporan AHRC disebutkan, sejumlah petinggi militer Indonesia bertanggung jawab atas pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan lebih dari 4.000 penduduk Papua pada akhir 1970an.
Termasuk dalam daftar mereka yang bertanggung jawab dan harus diadili pengadilan HAM adalah mantan Presiden Soeharto.
Laporan ini berjudul "The Neglected Genocide – Human Rights abuses against Papuans in the Central Highlands, 1977 – 1978" (Pembantaian yang Terabaikan- Pelanggaran HAM terhadap warga Papua di Daerah Pedalaman Tengah, 1977-1978).
Laporan tersebut bertujuan mencatat kekerasan yang terjadi saat Indonesia meluncurkan beberapa operasi militer di sekitar daerah Wamena dalam rangka menyikapi usaha mencapai kemerdekaan Papua setelah pemilihan umum tahun 1977.
ARHC mengadakan kunjungan lapangan, mewawancara sejumlah saksi, dan memeriksa catatan sejarah. Badan ini telah mengumpulkan 4.416 nama yang dilaporkan dibunuh oleh militer Indonesia dan menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat penyiksaan, penyakit dan kelaparan berbuntut kekerasan tersebut bisa jadi lebih dari 10 ribu.
Laporan ini menyatakan warga Papua di daerah pedalaman tengah menjadi korban pemboman dan penembakan dari udara, yang terkadang dilakukan militer menggunakan pesawat yang disediakan oleh Australia dan Amerika Serikat.
Dalam salah satu gambaran kejadian, penduduk desa di daerah Bolakme diberitahu akan mendapat bantuan dari Australia yang dijatuhkan dari atas, namun justru kemudian dibom menggunakan pesawat dari Amerika.
Laporan ini juga mengandung gambaran-gambaran kejadian seperti pembakaran dan perebusan hidup-hidup para pendukung gerakan kemerdekaan. Dilaporkan bahwa mereka dipaksa melakukan tindakan seksual depan umum, bahwa para korban perempuan dipotong payudaranya dan para anak dipenggal.
Basil Fernando, Direktur Kebijakan dan Program AHCR, mengatakan pada ABC bahwa tindakan-tindakan macam itu bisa digolongkan genosida.
Sebanyak 10 komandan dan petugas senior militer Indonesia disebut sebagai mereka yang bertanggung jawab karena memerintahkan atau tidak mencegah kekerasan yang dilakukan berbagai batalyon.
Menurut Fernando, ada di antara nama-nama yang disebutkan dalam laporan tersebut yang masih memegang jabatan dalam militer Indonesia.
Laporan ini menyerukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, komisi kebenaran, dan agar masyarakat internasional meminta Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Papua.