ABC

Ahok Dibebaskan, Akankah Dijadikan Alat Politik Jelang Pilpres 2019?

Mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Ahok akan dibebaskan dari hukuman penjara hari Kamis (24/01) atas kasus penistaan terhadap Al Quran.

Pengamat hukum dan politik di Australia berpendapat pembebasan Ahok terjadi di saat kondisi politik di Indonesia sedang sensitif, tiga bulan menjelang pemilihan umum di Indonesia.

“Apa pun yang terkait dengan politik agama dan Jokowi saat ini akan memiliki dampak,” kata Tim Lindsey, Direktur Centre for Indonesian Law, Islam and Society di University of Melbourne kepada ABC.

“Tidak diragukan lagi lawan Jokowi akan berusaha menggunakannya untuk melawan Jokowi dan tak diragukan juga akan ada kemungkinan upaya mempermasalahkannya.”

Meredam suara garis keras

Seorang pria lanjut usia didampingi pengacara
Abu Bakar Ba'asyir sempat dikabarkan akan dibebaskan lebih awal setelah menjalani setidaknya 2/3 dari total hukuman penjara 15 tahun.

ABC News: David Lipson

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan akan membebaskan Abu Baka Ba’asyir lebih awal, yang tadinya akan bersamaan dengan pembebasan Basuki.

Namun meski telah diberi kesempatan untuk bebas dari penjara, terpidana kasus terorisme tersebut dinilai tak bisa keluar jika tidak memenuhi syarat perundang-undangan.

Dr Lindsey bependapat keputusan pembebasan itu menjadi tanda adanya “kecemasan dalam kubu Jokowi akan adanya dampak dari pembebasan Ahok.”

“Ahok memiliki kaitan erat dengan Jokowi, jika ia melepaskan Ba’asyir, yang dianggap sebagai garis keras, maka setiap kali ada upaya mengangkat masalah Ahok soal penistaan agama atau hujatan kepada Jokowi, maka akan dilawan dengan pembebasan Ba’asyir.” katanya.

“Membebaskan Ba’asyir setelah ia menjalani dua pertiga dari hukuman penjaranya akan menangkal kemungkinan dampaknya dari pembebasan Ahok.”

Masa depan politik yang tak pasti

Awal bulan ini, Basuki mengunggah surat yang ditulis tangannya sendiri di akun Instagram miliknya.

Ia juga meminta agar pendukungnya untuk tak lagi menyebutnya sebagai Ahok, nama panggilan yang diberikan ayahnya, tetapi memanggilnya BTP.

“Saya disini belajar menguasai diri,” tulis Ahok yang merasa bersyukur tidak terpilih di pemilihan kepala daerah DKI tahun 2017 lalu.

“Jika terpilih lagi, saya akan semakin arogan dan kasar dan semakin menyakiti hati banyak orang,” tulisnya disertai ucapan permohonan maaf kepada semua yang merasa pernah disakiti.

Sosok Basuki telah dianggap pendukungnya sebagai simbol pluralisme dan toleransi, tetapi Dr Lindsey mengatakan Jokowi mengabaikan apa yang dilihatnya sebagai kekurangan dan menunjukkan betapa lemahnya Jokowi dalam membela keberagaman.

“Apakah ia masih akan memposisikan dirinya sebagai simbol pluralisme masih harus dilihat. Jika ia melakukannya, mungkin akan jadi satu-satunya yang tersisa di ruang publik Indonesia,” kata Dr Lindsey.

“Jika secara terbuka mendukung pluralisme dan toleransi beragama dan etnis di Indonesia pada saat ini, akan menjadi sesuatu hal yang membahayakan.”

Dr Lindsey juga berpendapat jika Basuki kembali ke dunia politik, maka akan beresiko bagi dirinya sendiri, karena bisa mendapat hujatan dari kelompok Muslim konservatif di Indonesia.

“Akan sulit untuk mengatakan apakah Ahok adalah aset menguntungkan atau merugikan bagi Jokowi,” katanya.

Ratusan ribu orang berkumpul dekat sebuah air mancur
Ratusan ribu orang menggelar aksi 212 di Jakarta pada akhir tahun 2016 dengan salah satu tuntutannya adalah membawa Ahok ke jalur hukum.

Reuters: Beawiharta Beawiharta

Kekhawatiran Ahok dijadikan alat politik

Sementara itu, seorang pengamat politik di Indonesia mendesak para politisi, khususnya kedua calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subianto untuk tidak mengambil pembebasan Basuki sebagai kesempatakan politik.

Philip Vermonte, Direktur Eksekutif dari lembaga Centre For Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan kepada ABC bahwa akan lebih jika pihak-pihak menahan diri untuk memberikan komentar-komentar di saat suhu perpolitikan yang sedang sensitif.

“Jika baik Jokowi atau Ahok melakukan sesuatu yang akan dianggap sebagai tindakan provokatif oleh lawan politiknya, maka akan mudah untuk membuat gejolak-gejolak dalam politik,” ujarnya kepada ABC.

“Kita sudah melihat Jokowi selama ini bersikap netral soal Ahok dan kita berharap ia tidak akan menggunakan Ahok sebagai proksi politik untuk menggalang dukungan.”

“Tidak saja hal ini akan lebih baik untuk Jokowi dan Ahok, tapi juga untuk negara secara keseluruhan.”

Ikuti berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.