ABC

AFP Diminta Perbesar Peran Bantu Polisi Papua Nugini

Seorang politisi senior Papua Nugini mendesak Kepolisian Federal Australia (AFP) untuk sekali lagi diizinkan untuk melakukan penyelidikan dan membantu petugas setempat menangani apa yang dia katakan sebagai “kegagalan hukum dan ketertiban” di negara tersebut.

Perwira AFP sebelumnya memiliki kewenangan semacam itu saat ditugaskan di Papua Nugini (PNG), namun kewenangan ini dihapuskan oleh negara tersebut lebih dari satu dekade yang lalu setelah Mahkamah Agung PNG menganggapnya tidak konstitusional untuk memberi kewenangan polisi kepada orang-orang yang bukan bagian dari kepolisian mereka.
Provinsi Enga, di dataran tinggi PNG, sering dianggap sebagai hotspot kejahatan – lebih dari 20 orang tewas dalam pertempuran suku yang terjadi pada pemilihan tahun lalu.
Provinsi ini juga menunjukan adanya peningkatan kekerasan terkait tuduhan penyihir.
Korban terakhir adalah Hakim Agung Papua Nugini, Sir Salamo Injia, yang terluka dalam serangan oleh suku tetangga dekat kampung halamannya pada hari Senin (8/1/2018).

Gubernur Provinsi Enga, Sir Peter Ipatas, mengatakan bahwa saat ini kepolisian negara bagian PNG sebagian besar dipersalahkan atas masalah kejahatan tersebut, dimana petugas sering dilaporkan melakukan pelanggaran brutal tapi jarang menghadapi penindakan.

“Saya pikir polisi kita telah kehilangan arah dan kita memerlukan bantuan dari luar untuk memastikan bahwa ada pelatihan yang tepat, dan kita memerlukan bantuan eksternal untuk memastikan polisi kita mengetahui pekerjaan mereka.”

Sir Peter mengatakan bahwa bantuan eksternal bisa datang dari AFP, yang saat ini memberikan bantuan kepada PNG.

Namun seorang juru bicara AFP mengatakan bahwa perwira-perwira tersebut tidak berada dalam posisi untuk melakukan peran pengawasan operasional dikarenakan keputusan Mahkamah Agung PNG tahun 2005.

Tentara Papua Nugini dan personil polisi
Angkatan keamanan tambahan dikirim ke dataran tinggi di kawasan iniuntuk mengatasi kekerasan pasca pemilu tahun lalu.

ABC News

Petugas AFP harus dipersenjatai, kebal dari penuntutan

Sebanyak tujuh puluh tiga orang petugas AFP masih bertugas di Papua Nugini sampai akhir November setelah PNG menjadi tuan rumah APEC, dengan biaya $ 48 juta dolar yang dibebankan kepada Pemerintah Federal Australia.

Namun perwira polisi yang bertugas di PNG hanya diizinkan bertindak sebagai penasehat tak bersenjata tanpa kewenangan melakukan penangkapan.

Polisi Federal Australia di Papua Nugini
Ada desakan agar petugas AFP sekali lagi memiliki kekebalan hukum dari pengusutan di Papua Nugini.

ABC News, file photo

Pada tahun 2005 tersisa  lebih dari 160 petugas AFP yang bekerja di lapangan dengan polisi PNG menyusul diajukannya gugatan konstitusional terhadap kekebalan dari tuntutan atau impunitas yang diberikan kepada petugas polisi Australia.

Sir Peter ingin undang-undang tersebut diubah sehingga polisi Australia sekali lagi memiliki impunitas.

“Kami memiliki kewajiban kepada masyarakat Australia untuk memberi kekebalan kepada polisi Australia untuk datang ke negara ini dan membantu kami memulihkan ketertiban, dan yang lebih penting lagi adalah untuk melatih dan memastikan polisi kami melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan.”

Menurutnya, tingginya biaya pengiriman petugas AFP untuk bekerja di PNG layak dilakukan oleh kedua negara.

“Kami adalah negara terdekat bagi Australia, mungkin demi kepentingan terbaik kedua negara kita harus menjaga hukum dan ketertiban di PNG,” katanya.

Masalah kejahatan melonjak di Papua Nugini

Menteri Kepolisian baru PNG,  Jelta Wong mengatakan bahwa pemerintahnya sedang mempertimbangkan untuk mengubah peraturan seputar yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh perwira Australia di PNG.

“Kami hanya menyempurnakan berbagai hal agar tidak berakhir di pengadilan lagi, seperti yang terakhir,” katanya.

Dia mengatakan bahwa dirinya berkomitmen untuk membersihkan kepolisian PNG meski ada kendala keuangan.

Pria memegang senjata di Papua Nugini
Menteri Polisi Papua Nugini mengatakan negaranya memiliki masalah dengan kejahatan kekerasan sebagaimana juga negara lainnya.

Supplied: ICRC

“Kami mengalami pemotongan anggaran, tapi kami masih mempertahankan banyak hal di kepolisian. Dan AFP Australia sangat membantu kami, jadi saya hanya ingin melanjutkannya,” kata Jelta Wong.

Meskipun reputasi PNG sebagai salah satu negara paling berbahaya di dunia, Jelta Wong mengatakan bahwa tingkat dari masalah ini sering kali perlu dianggap serius.

“Hal yang sama terjadi di Australia, negara lain juga – seperti di Amerika beberapa bulan yang lalu seorang pria membunuh 56 orang. Kondisinya tidak seperti itu.

“Ya [memang] ada masalah hukum dan ketertiban dan angkatan kepolisian PNG tidak sebesar yang seharusnya untuk dikerahkan dan menyelesaikan semua masalah ini.

“Kami juga memiliki masalah internal, tidak cukup kendaraan atau infrastruktur untuk polisi, kami sedang memilah-milahnya.”

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.