ABC

Ade Djajamiharja Asal Indonesia Bantu Warga Difabel di Industri Layar Australia

Sebagai orang Australia dari keluarga asal Indonesia, Ade Djajamihardja mengaku tidak asing dengan diskriminasi.

Ade memiliki karier yang sukses di bidang media, pernah menjadi 'assistant director' bersama ABC TV, serta kehidupan yang bahagia bersama istrinya, Kate, dan keluarganya.

Sampai suatu hari, ia terbangun dari 'stroke' yang dialaminya, mengalami gangguan mobilitas dan penglihatan, menyebabkan ia hidup dengan kebutuhan khusus.

Takut jadi beban

"Ketika saya berada di rumah sakit rehabilitasi, saya diajari cara menggunakan kursi roda untuk pertama kalinya, dan sempat ada rasa kewalahan takut saya menjadi beban berat bagi Kate," katanya.

"Tapi itu membuat sadar kalau saya tidak boleh menjadi beban baginya."

Ade sempat merasa ingin bunuh diri sampai seorang perawat membantunya untuk mengubah cara pandangnya.

Kini, ia memiliki perusahaan rumah produksinya sendiri, A2K Media, yang memberikan bantuan dan dukungan bagi para penyandang disabilitas yang bekerja di industri media dan hiburan di seluruh Australia dan Asia.

Perusahaannya baru-baru ini bekerja sama dengan para peneliti dari University of Melbourne dalam membuat sebuah laporan yang mengamati perlakuan terhadap penyandang disabilitas di industri media, membahas berbagai tantangan unik yang dihadapi, mulai dari akses yang buruk hingga diskriminasi, serta upah yang tidak setara.

Terpaksa memberi arahan lewat monitor

Seorang sutradara film dan televisi asal Melbourne yang menggunakan kursi roda mengatakan masalah terbesar yang ia temui di industri layar adalah mengakses set, atau lokasi syuting, secara fisik.

"Saya diharuskan mengarahkan melalui radio melihat monitor, karena tidak bisa benar-benar naik ke lantai dua atau lantai tiga… dan sepertinya karena tidak ada yang tahu cara memperbaikinya," katanya.

Sutradara, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan kurangnya bangunan yang dapat diakses kursi roda yang digunakan oleh rumah produksi Melbourne sering menghalanginya untuk memenangkan kontrak.

"Bukannya sulit mendapatkan pekerjaan sebagai sutradara, tapi lebih sulit mendapatkan pekerjaan di bagian produksi," ujarnya.

“Hampir tidak ada fasilitas pascaproduksi yang dapat diakses, hampir tidak ada fasilitas produksi yang dapat diakses… untuk acara TV, kita mungkin memerlukan kantor produksi berlantai dua atau tiga, berada di lantai atas tapi kemudian kita terjebak di lantai bawah."

Stigma di balik kesenjangan gaji

Radha O'Meara, dosen penulisan kreatif di University of Melbourne, sekaligus penulis utama laporan tersebut mengatakan stigma terhadap warga dengan disabilitas menyebabkan adanya kesenjangan gaji.

"Industri layar memiliki lebih banyak orang yang dipekerjakan dengan kontrak yang tidak pasti dibandingkan industri lain [dan] banyak orang membahas … bahkan tidak tahu harus ke mana, untuk bertanya soal gaji mereka," katanya.

"Sebagian besar perusahaan di industri layar tidak memiliki departemen HR [human resource]."

Laporan tersebut meninjau lebih dari 500 orang penyandang disabilitas yang sudah bekerja di industri layar.

Hasilnya menemukan mereka seringkali menerima gaji rendah dengan pekerjaan yang berbahaya, ini semua akibat budaya "diskriminasi yang sistemik" dan prasangka.

"Pengalaman ini menunjukkan masalah struktural di seluruh industri layar dan budayanya," demikian temuan laporan tersebut.

"Mereka mencerminkan kurangnya pemahaman tentang disabilitas dan ketergantungan pada stereotip negatif pekerja disabilitas."

'Keraguan' mempekerjakan penyandang disabilitas

Sam Riesel adalah seorang asisten produksi penyandang disabilitas intelektual yang pernah bekerja, baik di set pada umumnya atau set yang bagi penyandang disabilitas.

Sam mengatakan pengalamannya dalam produksi pada umumnya baik, tetapi ada keengganan dalam industri film untuk mempekerjakan penyandang disabilitas.

"Saya pikir ada sedikit keraguan untuk mempekerjakan seseorang dengan disabilitas pada industri ini, tetapi saya juga berpikir jika industri ini sudah lebih terbuka dalam beberapa tahun terakhir," katanya.

Terkadang ada kekhawatiran di dalam industri kalau karyawan difabel akan membutuhkan pengawasan lebih di lokasi syuting.

"Mungkin sedikit perlu perhatian lebih di awal-awal, tapi akhirnya, begitu mereka sudah cukup lama di industri ini, mereka tahu bagaimana cara kerjanya, atau setidaknya mereka harus sudah paham," kata Sam.

'Prasangka halus dengan ekspektasi rendah'

Ade mengatakan para penyandang disabilitas seringkali tidak diajak berkonsultasi tentang apa yang mereka butuhkan agar dapat bekerja dengan baik.

Ia mengatakan industri layar memiliki masalah dengan "prasangka halus dengan ekspektasi rendah" bagi penyandang disabilitas, sehingga memengaruhi inklusivitas karyawannya.

"

"Saya menghadapinya ketika mencoba untuk bekerja kembali di industri yang saya cintai, dan satu-satunya industri yang saya kenal sepanjang hidupa saya," katanya.

"

Dr O'Meara mengatakan orang sering menyamakan disabilitas dengan kelemahan, sehingga menciptakan budaya kerja yang mendiskriminasi.

Dengan tidak ada yang mengangkat isu soal bagaimana mereka bisa melakukan penyesuaian, tidak ada pula yang merasa bertanggung jawab atas masalah ini, menurut Dr O'Meara.

"Secara hukum, harus ada yang bertanggung jawab," katanya.

"Tapi sebenarnya, dalam praktiknya, ketika Anda bertanya di sekitar tempat Anda bekerja, dengan siapa saya berbicara, maka semua orang menjawab 'ah, bukan masalah saya'."

Diharapkan akan membawa perubahan

Ade berharap laporan dari studi ini akan membawa perubahan dalam industri layar, sebagaimana ia harus mengubah perspektifnya tentang disabilitas setelah terkena 'stroke'.

"Yang paling membekas dalam hidup saya sejak menjadi difabel dengan segala hambatannya adalah meski ini adalah kesulitan hidup yang paling tidak diinginkan dan tidak terduga, tapi juga terbukti menjadi peluang untuk pengembangan diri yang paling tak bisa dibantahkan dan dihentikan," katanya.

Dr O'Meara mengatakan warga non-disabilitas menghubungi dirinya setelah membaca laporan tersebut. Mereka menyatakan terkejut jika mereka pernah bekerja dengan orang-orang difabel tanpa menyadarinya.

"Laporan tersebut membuka mata mereka terhadap berbagai jenis pengalaman penyandang disabilitas," kata Dr O'Meara.


Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris