ABC

Ada Penjahit Tunarungu Indonesia di Balik Busana Berkelas Internasional

Sekilas para perempuan dari komunitas Gerkatin ini terlihat seperti penjahit kebanyakan. Mereka dengan mahirnya mengoperasikan mesin jahit dengan jari-jari cekatan memainkan benang.

Untuk berkomunikasi, mereka hanya menggunakan isyarat. Tapi meski memiliki keterbatasan dalam pendengaran dan wicara, mereka telah membuktikan diri mampu menciptakan karya busana berskala internasional.

Raut wajah yang awet muda membuat Sri Indriani atau Ninik tak terlihat seperti seorang penjahit yang telah berkarya selama 20 tahun.

Kecintaan keduanya dalam membuat pakaian dan gaun telah membuat mereka bertahan menekuni profesi sebagai penjahit.

Baru-baru ini, Ninik dan ketujuh temannya dalam komunitas Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) wilayah Jabodetabek mendapat kesempatan untuk memamerkan karya mereka di panggung catwalk Jakarta Modest Fashion Week (JMFW) 2018.

Di bawah label Markamarie, pakaian dan gaun-gaun hasil karya mereka pun telah masuk ke pusat perbelanjaan ternama.

Perempuan berkacamata ini mengutarakan ia pernah bekerja di perusahaan garmen. Namun, sejak mengundurkan diri dari perusahaan itu, dirinya praktis hanya menjahit dan membuat baju untuk pangsa pasar rumah tangga.

Terlibat dalam JMFW dengan melihat karyanya diperagakan oleh model sesama penyandang disabilitas dari berbagai negara, menurutnya, menjadi kesempatan langka.

Kegembiraan senada diungkapkan oleh Puput, penjahit tunarungu yang telah membuat pakaian selama 9 tahun.

Tonton videonya melalui saluran YouTube berikut ini.

“Saya senang dapat pengalaman di kegiatan ini.”

“Selama ini selalu ada pesanan, memang banyak dari teman. (Kesempatan) ini saya senang sekali, berbeda,” sebutnya.

Puput dan Ninik bersama dengan rancangan mereka yang naik panggung JMFW 2018.
Puput dan Ninik bersama dengan rancangan mereka yang naik panggung JMFW 2018.

Supplied

Baik Puput dan Niniek mengaku keduanya menemui tantangan selama menekuni profesi sebagai penjahit, mengingat keterbatasan pendengaran dan wicara yang mereka miliki.

“Ada tantangan, yakni kesulitan komunikasi. Kalau ada order belum bisa telepon, menghubungi, belum bisa,” ujar Ninik, yang lulusan sekolah tata busana.

“Sulit membicarakan baju yang dijahit. Semuanya lewat gambar,” kata Puput.

Kesempatan yang didapatkan para perempuan komunitas Gerkatin ini berawal dari sosok Franka Soeria, yang merupakan pendiri label Markamarie dan Jakarta Modest Fashion Week.

“Awalnya kami mau buat CSR [tanggung jawab sosial dari sebuah perusahaan], lalu terpikir kenapa enggak sekalian melibatkan teman-teman difabel?,” ujarnya yang kini menetap di Turki.

Lewat seorang rekannya, Franka kemudian menemukan perempuan penjahit dari komunitas Gerkatin dan niatan itupun lalu berkembang.

Franka Soeria, pendiri JMFW, fasilitasi penjahit bisu tuli untuk berkarya.
Franka Soeria, pendiri JMFW, fasilitasi penjahit bisu tuli untuk berkarya.

ABC; Nurina Savitri

“Kenapa enggak ajak mereka untuk produksi buat label kami? toh hasil karya mereka juga bagus setelah kami amati,” ujarnya.

Franka tak memungkiri, dengan produksi skala rumah tangga yang biasa dilakukan, Ninik dan rekan-rekannya membutuhkan penyesuaian.

Tapi proyek tersebut, menurutnya, dilakukan sejalan dengan kemampuan mereka.

“Sebenarnya lewat proyek ini kita ingin memberdayakan. Tapi kita juga enggak mau terlalu nge-push mereka sampai mereka-nya capek.”

“Jadi memang kita tanya dulu. Misalnya, ‘Ibu-ibu apa mampunya kira-kira satu hari berapa pieces?’ Nah dari situ baru kita akomodir. Karena kami mau mereka mengerjakan pekerjaan ini dengan senang hati,’ ungkap mantan jurnalis tersebut.