400 Petugas Direkrut Awasi Siswa Aborigin yang Bolos
Pemerintah Australia akan merekrut sekitar 400 petugas khusus untuk mengawasi para siswa di kalangan warga Aborigin yang sering bolos sekolah. Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki angka kehadiran di sekolah khususnya bagi siswa di wilayah terpencil.
Menteri urusan Bumiputra Nigel Scullion menyatakan dana sebesar 28 juta dollar (Rp 299 miliar) akan dihabiskan untuk 40 komunitas terpencil di Wilayah Utara, Australia Barat, Queensland, New South Wales dan Australia Selatan.
Program ini akan meliputi lebih dari 40 sekolah, dan akan ada satu petugas mengawasi 20 siswa.
Selama lima tahun terakhir, sekolah-sekolah tersebut memiliki tingkat kehadiran siswa di bawah 70 persen.
Diharapkan, skema ini akan menarik pekerja bumiputra juga, yang akan bekerja langsung dengan keluarga-keluarga yang terkait agar anak-anak menghadiri sekolah.
Para petugas akan mendatangi rumah-rumah setiap hari untuk membujuk anak-anak ke sekolah dan mencari tahu alasan mereka absen.
Menurut Scullion, pengalaman pribadinya menunjukkan bahwa ada standar yang berbeda bagi anak bumiputra dan non-bumiputra.
“Di metropolitan seperti Darwin, saat anak saya bolos dan bermain dengan anak-anak Aborigin, saya langsung ditelepon dan ada respon cepat,” ceritanya, “Namun, anak saya memberitahu bahwa teman bermain mereka tidak mendapat respon serupa.”
Petugas pengawas bolos adalah model lama yang berhasil, jelas Scullion. “Kalau waktu saya sekolah dulu tak ada petugas pengawas kehadiran, saya tak akan menghadiri sekolah dan tidak mendapat pendidikan dan kesempatan yang saya dapatkan,” ceritanya.
Menurut Scullion, ada pilihan yang bersifat menghukum sebagai cara mengatasi persoalan membolos, namun ia tak yakin cara macam itu berhasil.
Chris Sarra, ketua Stronger Smarter Institute, yang berusaha memperbaiki harapan seputar pendidikan bumiputra, mengatakan bahwa siswa cenderung membolos bila tak tertarik dengan sekolah.
Para petugas pengawas kehadiran akan bisa membuat perubahan berarti bila sekolah merangkul siswa-siswanya.
“Bila dilakukan dengan cara yang berdasarkan kekuatan, tidak berasumsi bahwa masalah hanya berasal dari keluarga atau komunitas,” jelas Sarra, “Sekolah harus membuat beberapa perubahan mengenai apa yang mereka lakukan untuk memastikan bahwa mereka pantas dihadiri oleh siswa.”