ABC

26 Aktivis Perempuan Indonesia Ikuti Kursus di Sydney

Sebanyak 26 aktivis perempuan dari Indonesia mengunjungi Australia untuk belajar pelbagai hal terkait upaya memperjuangkan hak-hak perempuan.

Para pimpinan LSM tersebut diundang oleh Sydney Southeast Asia Centre pada Universitas Sydney untuk mengikuti kursus dua pekan. Tujuannya untuk membekali mereka dengan keahlian manajemen, komunikasi dan organisasi, dan membantu mengkampanyekan isu-isu yang dihadapi kaum perempuan Indonesia.

Direktur LBH Apik Veni Siregar merupakan salah satu peserta yang saat ini bekerja mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.

Pada tahun 2016 organisasinya melaporkan 304 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 854 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 34 kasus kekerasan seksual.

“Kami membantu korban mendapatkan pengobatan medis dan advokasi. Dan juga memberikan nasehat hukum. Semua itu gratis. Program ini untuk perempuan yang hidup dalam kemiskinan,” kata Veni.

Pusat Sydney Asia Tenggara di University of Sydney tengah membantu 26 orang pemimpin LSM Indonesia.
Pusat Sydney Asia Tenggara di University of Sydney tengah membantu 26 orang pemimpin LSM Indonesia memiliki kemampuan yang mereka perlukan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di seluruh Asia.

Photo courtesy of The University of Sydney.

Setelah dibekali keahlian dari Australia, dia akan kembali ke Indonesia dan bisa semakin meningkatkan kegiatan LSM-nya dalam membantu mereka yang membutuhkan.

“Kami tidak emiliki banyak dana sehingga saya banyak belajar bagaimana pengelolaan organisasi,” kata Veni lagi.

“Saya juga belajar bagaimana mengembangkan generasi kedua kepemimpinan sehingga terjadi kesinambungan pengetahuan dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain,” tambahnya.

Veni menyatakan akan berbagi pengetahuannya kepada rekannya di LBH Apik dan juga seluruh jaringannya.

“Tidak kalah pentingnya hal-hal seperti belajar bagaimana berbicara kepada media dan pemangku kepentingan,” katanya.

Veni mengatakan warga Indonesia sama bersemangatnya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan sama seperti warga Australia, tapi sistem hukumnya masih ketinggalan.

“Masalah advokasi sama saja, tapi dalam hal perlindungan hukum lebih baik di Australia. Di Indonesia ketika perempuan disidangkan justru mereka masih sering dipersalahkan,” ujarnya.

Veni berharap program pelatihan yang diikutinya dan kini memasuki tahun kedua itu dapat berlanjut tahun depan sehingga aktivis perempuan lainnya dari Indonesia juga memiliki kesempatan untuk mempelajari berbagai keterampilan baru.

Kursus yang diselenggarakan oleh Sydney Southeast Asia Centre ini didanai oleh Department Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT).