ABC

Teror Bom Oleh Keluarga Berpotensi Menjadi Tren Mengkhawatirkan

Jika ada satu hal yang menonjol tentang serangan di Indonesia pada hari Minggu (13/5/2018) dan Senin (14/5/2018) itu adalah bahwa serangan itu dilakukan oleh dua keluarga – dua pasang orang tua, yang bersama dengan anak-anak mereka sendiri melakukan serangan bunuh diri pada empat sasaran.

Poin inti:

  • Orang tua mengkooptasi anak-anak mereka dalam serangan-serangan ini “bukan serta merta”, kata ahli
  • Serangan Indonesia adalah pertama kalinya analis melihat anak-anak dilibatkan
  • Serangan ini cenderung menunjukkan “tingkat kefanatikan” untuk penyebab tertentu, kata ahli

Kepala Pusat Internasional untuk Kekerasan Politik dan Riset Terorisme di Singapura, Rohan Gunaratna, mengatakan orang tua telah mengkooptasi anak-anak mereka sendiri untuk melakukan serangan adalah tren baru yang mengkhawatirkan.

“Ini bukan serta merta. Kami cenderung akan melihat lebih banyak serangan semacam ini,” katanya.

Hanya beberapa jam setelah kabar bahwa orang-orang yang telah membom tiga gereja di Surabaya Jawa Timur semuanya berasal dari keluarga yang sama, Kota Surabaya kembali mengalami serangan kedua, juga dilakukan oleh pasangan dan anak-anak mereka.

Keluarga yang bertanggung jawab atas pemboman bunuh diri di Surabaya
Puji Kuswati, berfoto bersama anak-anaknya. Keluarga ini bertanggung jawab atas pemboman gereja.

Supplied

Dalam serangan terkoordinasi pertama ini, 28 orang tewas dan 57 luka-luka.

Ayah dari keluarga itu meledakkan sebuah bom mobil di sebuah gereja Pantekosta, dua putranya – yang berusia 17 dan 15 tahun – mengendarai sepeda motor yang dipenuhi dengan bahan peledak ke sebuah gereja Katolik, dan ibu mereka dan dua saudara perempuannya yang berusia delapan dan 12 tahun – meledakkan diri mereka sendiri di Geraka Katolik Indonesia (GKI).

Pada hari berikutnya, sebuah keluarga beranggotakan lima orang  dengan mengendarai dua sepeda motor mendatangi pos pemeriksaan di dekat kantor polisi dan meledakkan bahan peledak, melukai empat petugas polisi dan enam warga sipil.

Seorang gadis delapan tahun selamat dari ledakan itu.

“Ini pertama kalinya kami melihat keluarga dan pertama kalinya kami melihat anak-anak kecil terlibat,” kata Sidney Jones, pakar terorisme di Institut Analisis Kebijakan Konflik di Jakarta.

Pihak berwenang Indonesia mengatakan mereka mencurigai bahwa kelompok yang diilhami Negara Islam Jemaah Ansharut Daulah (JAD) terlibat dalam serangan itu.

Menurut Sydney Jones, pejabat keamanan mengatakan ayah dari keluarga yang melakukan serangan pertama adalah anggota aktif JAD.

Tidak jelas apakah kedua serangan yang dilakukan oleh kelompok yang sama.

“Ada banyak informasi yang kami butuhkan sebelum kami sampai pada kesimpulan itu,” katanya.

Profesor Gunaratna setuju bahwa serangan oleh keluarga merupakan fenomena baru di kawasan Asia Pasifik, tetapi mengatakan bahwa keluarga dan pasangan lain juga sudah pernah mencoba menggunakan anak-anak dalam pemboman di bagian lain dunia sebelumnya.

Apa yang dia pikir penting tentang perkembangan ini adalah bahwa fenomena ini menunjukkan bahwa teroris mampu meradikalisasi seluruh keluarga.

“Ini membutuhkan respon keluarga dan masyarakat yang berorientasi untuk melawan ancaman,” katanya.

Mengapa penyerang melibatkan anak-anak mereka?

Salah satu alasan mengapa penyerang memilih melibatkan anak-anak adalah bahwa orang dewasa dengan anak-anak umumnya tidak terlalu mencurigakan.

Kelompok radikal awalnya hanya merekrut laki-laki untuk misi bunuh diri, tetapi kemudian melibatkan perempuan karena perempuan cenderung tidak akan diberhentikan.

Sekarang anak-anak digunakan, karena orang tua dengan anak-anak lebih jarang diperiksa oleh petugas keamanan.

Itu menjelaskan mengapa kelompok-kelompok ekstremis tertarik untuk menarik anak-anak dalam serangan mematikan tetapi tidak menjelaskan mengapa dua orang tua bersedia melibatkan anak-anak mereka sendiri.

Keluarga enam
Polisi Indonesia mengatakan orang tua dan empat anak mereka berada di belakang serangan gereja di Surabaya (13/5/2018)..

Supplied

Damian Kingsbury, Profesor Politik Internasional di Deakin University, mengatakan adalah umum bagi para militan Islam untuk mengorbankan diri mereka, tetapi mereka biasanya tidak mengorbankan anggota keluarga mereka sendiri.

Apa yang dia pikir mungkin telah terjadi dalam kasus ini adalah bahwa keluarga, atau setidaknya orang tuanya, memiliki keyakinan yang sangat kuat bahwa mereka akan pergi ke surga dan ingin membawa anak-anak mereka bersama mereka.

“Ini mungkin menunjukkan tingkat kefanatikan pada penyebab tertentu,” katanya.

Profesor Gunaratna juga berpikir itu adalah ideologi yang memotivasi orang tua untuk memasukkan anak-anak mereka.

Dia yakin sang ayah telah menjadi radikal terlebih dahulu, dan ketika kepala keluarga meradikalisasi istri dan anak-anaknya dengan propaganda ekstrem.

“Kemudian semua orang berpartisipasi dalam serangan itu dengan harapan mereka semua akan masuk surga,” katanya.

“Ini adalah tren yang sangat berbahaya.”

Profesor Kingsbury juga prihatin bahwa ini bukanlah serangan terakhir dari jenis serangan seperti ini yang akan kita lihat.

Dia pikir tidak mungkin keluarga bertindak sendirian dan hampir pasti terkait dengan kelompok yang lebih besar.

“Jadi sangat mungkin bahwa akan ada serangan lebih lanjut,” katanya.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.