Bahasa Ibu Bisa Berubah Sesuai Perjalanan Hidup
Hari Rabu (21/2/2018) diperingati oleh PBB sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Dari pengalaman hidup Sastra Wijaya, wartawan ABC Australia yang juga pernah tinggal di Inggris, bahasa Ibu yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari bisa berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan, terutama untuk anak-anaknya.
Saya dilahirkan di Jambi (Indonesia) dari keluarga keturunan Tionghoa, dengan orang tua saya menggunakan bahasa Hokkian, salah satu dialek dalam percakapan mereka sehari-hari.
Sebagai salah satu anak tertua dari keluarga enam anak, saya termasuk yang kemudian secara aktif menggunakan bahasa tersebut di masa kecil.
Seiring dengan perjalanan waktu, adik-adik saya semakin sedikit menggunakan bahasa Hokkian dalam percakapan sehari-hari, namun mereka menggunakan bahasa Melayu Jambi.
Saya juga mengalami hal yang sama ketika bersekolah mulai menggunakan bahasa Indonesia (Melayu) secara aktif di sekolah.
Jadi di dalam rumah, percakapan sehari-hari dilakukan menggunakan bahasa Hokkian, sementara di luar bahasa yang aktif digunakan adalah bahasa Indonesia, dengan dialek lokal.
Ketika pindah dari Jambi ke Yogyakarta setelah tamat SMA untuk melanjutkan kuliah, saya mengenal satu bahasa baru yaitu bahasa Jawa.
Pada awalnya tiba di Yogyakarta, saya tidak mengenal satu katapun bahasa Jawa.
Saya masih ingat sekali kata pertama yang saya pelajari adalah seket (lima puluh), ketika hendak berbelanja kue yang dibawa oleh ibu-ibu yang mendatangi rumah-rumah kos-kosan yang banyak terbesar di Yogyakarta, karena memang dikenal sebagai kota pelajar.
Ketika saya bertanya berapa harga sebuah kue, ibu tersebut menjawab ‘seket’, yang kemudian diterjemahkan oleh seorang teman sebagai lima puluh rupiah.
Tujuh tahun kemudian ketika meninggalkan Yogyakarta setelah tamat dari Universitas Gadjah Mada penguasaan bahasa Jawa saya cukup memadai untuk bisa berkomunikasi dengan baik sehingga beberapa orang malah mengira bahwa saya berasal dari Jawa.
Bahasa keempat yang saya kuasai kemudian adalah bahasa Inggris, bahasa yang sudah saya pelajari sejak SD lewat kursus yang kami lakukan bersama dengan anggota keluarga lain dengan mendatangkan guru ke rumah karena ketika itu bahasa Inggris tidak menjadi bagian dari kurikulum di sekolah-sekolah.
Saya juga kemudian belajar bahasa Inggris dengan intensif semasa kuliah dengan mengikuti kelas khusus di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Di sela-sela kuliah saya di UGM ketika itu, saya di sore hari menghabiskan 3-4 jam belajar bahasa Inggris di Program Extension di Sanata Dharma yang waktu itu masih bernama IKIP.
Ketika pindah ke Inggris di tahun 1994 untuk bekerja di BBC, bahasa Inggris kemudian menjadi salah satu bagian penting dari kehidupan saya untuk berkomunikasi dengan rekan sekerja maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Kadang saya bertanya lalu bahasa apa yang sebenarnya menjadi bahasa ibu saya?
Secara tradisional dalam arti yang banyak dianut oleh kesepakatan tentu saja bahasa Hokkian adalah bahasa Ibu saya, karena itulah bahasa yang digunakan dalam oleh ibu saya pertama kalinya dalam berkomunikasi.
Namun dalam kenyataannya, sekarang dua bahasa yang paling banyak saya gunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, selama paling kurang 20-30 tahun terakhir, sehingga saya kadang merasa bahwa kedua bahasa tersebut adalah bahasa saya.
Itulah juga yang menyebabkan bahwa ketika saya memiliki anak, kami tidak memiliki cara tertentu untuk menentukan bahasa apa yang harus digunakan oleh anak-anak kami, Orlando dan Tiara yang sekarang sudah berusia 20 dan 17 tahun.
Bahasa ibu istri saya adalah Teo Chew, bahasa yang mirip dengan Hokkian, namun dengan intonasi yang berbeda dan kami sendiri dalam kehidupan sehari-hari berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Karena mereka lahir di London, pada awalnya, kami berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan kedua anak kami, namun perlahan meningkat dewasa, mereka lebih banyak menggunakan bahasa Inggris, dengan penguasaan bahasa Indonesia yang pasif.
Mereka bisa mengerti bahasa Indonesia namun susah menggunakannya dalam percakapan sehari-hari dengan lancar.
Salah satu alasan mengapa kami tidak ‘memaksa’ mereka belajar bahasa Indonesia adalah ketika anak tertua kami Orlando kembali ke sekolah setelah berlibur selama beberapa bulan di Indonesia di saat berusia sekitar 5-6 tahun.
Ketika tahun ajaran baru dimulai, dia di satu hari pulang ke rumah dan menangis karena sudah lupa dengan bahasa Inggris yang dikuasainya karena ketika berada di Indonesia dia hanya menggunakan dan mendengarkan bahasa Indonesia saja.
Kami kemudian di rumah untuk membantu mulai menggunakan bahasa Inggris untuk membantunya, dan setelah dia kemudian memiliki adik, Tiara, dan tumbuh, dalam percakapan sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa Inggris.
Baru-baru ini saya terlibat dalam percakapan dengan mereka, ketika membicarakan bahwa mereka perlu lebih serius belajar bahasa Indonesia setelah dewasa.
Pada umumnya mereka sepakat untuk lebih serius, namun dalam waktu bersamaan juga mengatakan bahwa dengan bahasa Inggris yang mereka kuasai, dan sebagai bahasa Indonesia, mereka akan mampu berkomunikasi dengan siapa saja di dunia ini.
Pendapat yang tidak sepenuhnya keliru.
Namun juga sebenarnya tidak diragukan bahwa memiliki kemampuan untuk menggunakan lebih dari satu bahasa akan lebih baik dari hanya satu saja.
Misalnya dalam pengalaman pribadi, saya ketika mengunjungi Malaysia dan Singapura merasa lebih akrab dengan lingkungan di sana, karena selain bahasa Melayu dan Inggris, di kedua negara tersebut juga banyak warga yang bisa berbahasa Hokkian.
Di tahun 1992 ketika mengunjungi China untuk pertama kalinya, saya mengunjungi kota Hangzhou, tidak jauh dari Shanghai.
Ketika kami mengunjungi pusat kota, saya samar-samar mendengar percakapan yang terasa akrab di telinga saya, dan setelah saya dengarkan dengan serius beberapa orang ternyata sedang ngobrol dalam bahasa Hokkian.
Ini mungkin seperti mendengar orang berbahasa Jawa di kota Papua, atau mungkin di Las Vegas.
Bahasa Hokkian sebagai bahasa ibu saya walau tidak saya gunakan lagi secara intensif ternyata masih berguna dan ketika saya mendengarnya kembali memberikan kehangatan hati.
Bahasa ibu memang lebih mudah dilestarikan karena kemungkinan adalah bahasa pertama yang kita pelajari.
Namun dalam waktu bersamaan, kitapun bisa belajar bahasa lain sesuai dengan perkembangan kehidupan kita, seperti bahasa Jawa dan Bahasa Inggris yang saya pelajari kemudian.
Dan berbagai bahasa tersebut bisa menjadi bahasa ibu kita masing-masing sepanjang kita bisa menggunakannya dengan baik dalam berkomunikasi.