ABC

Menyesuaikan Kembali Dengan Kehidupan di Indonesia Setelah Selesai PhD di Australia

Bagi banyak mahasiswa yang sudah menyelesaikan pendidikan lanjutan di luar negeri, kembali ke Indonesia tidak saja berarti penyesuaian bagi sang mahasiswa namun juga bagi keluarganya. Berikut pengalaman Novi Rahayu Restuningrum, yang baru saja menyelesaikan Phd di Universitas Monash di Melbourne.

Baru beberapa hari saya berada di Indonesia setelah kembali dari Melbourne, Australia setelah menyelesaikan studi saya. Kali ini bukan sekedar mudik. Kali ini pulang; kembali.

Sejak masih di Melbourne, saya tidak berani membayang-bayangkan bagaimana nantinya setelah di Indonesia.

Saya tidak mau memiliki ekspektasi agar tidak kecewa. Saya ingin semua saya nikmati saja. Bisa? Sebagian bisa, sebagian gagal. Normal saja.

Kedatangan

Anak-anak tidak terlalu rewel dengan apa yang mereka temui di Jakarta, tempat kami mendarat pertama kali setelah pulang, dan bermalam untuk setelahnya terbang ke Surabaya.

Meskipun terjadi sedikit insiden malam itu, saat pertama kali kami menginjakkan kaki ke rumah kami di Jakarta, perlahan-lahan banyak hal yang saat ini sudah bisa berjalan normal.

Saat itu, Africh, putra saya, tiba-tiba menangis dan meminta kembali ke Australia. "I wanto go back to Australia, I miss my friends in Australia," katanya sambil menangis saat itu.

Saya tengarai apa yang terjadi pada putra saya itu adalah keterkejutan setelah melihat apa yang dilihatnya di rumah kami, yang selama 4 tahun kami di Australia, jarang sekali kami tengok.

Semua dari kita perlu siap, ketika pulang dari studi kita yang bertahun-tahun, akan kemungkinan mendapati rumah yang sudah sangat jauh berbeda kondisinya dari ketika kita tinggalkan dulu.

Berbagai kondisi. Perkakas, bangunannya, dan hal-hal lainnya. Salah satunya adalah kondisi rumah setelah ditinggal bertahun-tahun.

Secara, rumah jarang sekali kami tengok selama 4 tahun pergi. Kami hampir tidak pernah pulang ke Jakarta.

Kami semua kaget, tapi harus sadar, beginilah sebuah rumah akan menjadi setelah ditinggal pemiliknya untuk waktu yang cukup lama.

Cukup lama bagi rayap untuk mendapatkan kayu yang banyak untuk dihabisinya, bagi lumut untuk mendapatkan lahan lembab yang luas untuk dirambatinya, bagi jamur untuk menemukan sela-sela AC untuk dihuninya, bagi karat di berbagai bagian rumah dengan besi.

Everything becomes old and rusty. But that's what will happen, we need to be ready.

Bagi kita, hal seperti ini mungkin bisa menjadi issue lumayan serius, terutama jika rumah 'tiba-tiba' minta perbaikan total. Kita perlu siap menghadapi hal-hal semacam ini.

Saya juga paham, hal ini juga disebabkan karena saya sendiri yang tidak 'mengurus' rumah kami.

Novi Rahayu Restuningrum (kiri) dengan keluarganya setelah diwisuda di Melbourne.
Novi Rahayu Restuningrum (kiri) dengan keluarganya setelah diwisuda di Melbourne.

Kepindahan Sekolah Anak-anak

Bagi sebagian teman-teman, sekolah anak-anak diurus setelah kedatangan mereka di Indonesia. Saya sendiri mulai browsing sekolah untuk anak-anak saya sekitar setahun sebelum kepulangan saya, meskipun belum memutuskan apapun ketika itu.

Untuk si kakak yang akan masuk SMA sepulangnya dari Melbourne, kami memutuskan untuk menyekolahkannya di salah satu sekolah swasta dengan fasilitas pondok.

Reza, anak pertama saya, saya minta untuk membaca mengenai sekolah tersebut (dan browse sekolah-sekolah lain) sebelum memutuskan untuk mau dikirim ke sana.

Kami sempat mudik ke Jakarta untuk tes masuk sekolah sekitar 8 bulan sebelum kepulangan kami di bulan Desember.

Reza kami kirimkan ke boarding school karena jaraknya yang jauh dari rumah, dan saya tidak mungkin dapat mengantar dan menjemputnya tiap hari.

Untuk si adik, Africh, awalnya sudah kami siapkan untuk mendaftar di salah satu sekolah swasta yang saya anggap bagus baik dalam program maupun prestasi.

Saat kami mengunjungi sekolah dimaksud, Africh yang merasa kurang sreg dengan sekolahan tersebut menjadi diam dan tidak bersemangat.

Kepala sekolah yang kami kunjungi dengan sangat bijak mengatakan bahwa mungkin Africh perlu diajak berkeliling dulu ke sekolah-sekolah lain sebelum memutuskan di mana akan bersekolah.

Rupanya beliau sudah bisa membaca, bahwa Africh kurang bersemangat berada di sekolah tersebut.

Benar saja. Selidik punya selidik, Africh mengharapkan dapat bersekolah di tempat yang memiliki ruang terbuka yang cukup luas, seperti yang dia temui ketika bersekolah di Melbourne.

Hal ini kami temukan ketika Africh kami ajak mengunjungi sekolah lain yang memiliki are luas di luar sekolahnya dan beberapa fasilitas lain yang mendukung sifatnya yang banyak melakukann kegiatan fisik, dia menjadi sangat bersemangat.

Saat ini, kami belum memiliki kepastian Africh akan bersekolah di mana, karena terdapat assessment process yang belum Africh lalui.

Oh iya, mungkin ada baiknya saya utarakan alasan saya memilih sekolah swasta bagi anak-anak saya.

Sebenarnya sejak sebelum berangkat ke Melbourne, Reza sudah bersekolah hingga kelas 6 SD di salah satu sekolah swasta. Alasan saya sejak awal sederhana saja: jumlah murid dalam satu kelas.

Sejak dulu saya ingin menyekolahkan putra-putri saya ke sekolah yang tidak memiliki jumlah murid yang terlalu banyak dalam satu kelasnya, dan kebetulan itu kami bisa dapatkan di beberapa sekolah swasta.

Saya tinggal memilih sekolah mana yang sesuai bagi kami sebagai orang tua untuk membiayai, dan bagi saya sebagai ibunya yang mengantar jempout setiap hari.

Makanan: Masakan Indonesia?

Makanan sebenarnya tidak menjadi issue besar dalam keluarga saya, karena anak-anak saya selalu terbiasa dengan masakan Indonesia bahwa keika kami masih tinggal di Melbourne.

Beberapa kawan bercerita mengenai putra-putri mereka yang terkena sakit perut setelah mengkonsumsi makanan yang dibeli, yang mungkin disebabkan oleh kebersihannya.

Untuk menghindari itu, saya memasak makanan saya sendiri dan tidak pergi jajan ke warung. Terkadang saya membeli makanan pinggir jalan karena kerinduan saya pada makanan-makanan seperti itu, namun saya berhati-hati untuk memberikannya kepada anak-anak.

Satu hal yang kami perhatikan adalah buah. Di Indonesia, saya ajak anak-anak untuk makan buah-buahan Indonesia. Kiwi dan plum saya katakan sebagai bukanlah buah khas Indonesia, sehingga harganya melangit dan tetap memiliki rasa yang sering asam.

Saya banyak ajak anak-anak untuk makan mangga dan rambutan, yang saat ini sedang musim, dan yang ketika di Melbourne kami beli dengan harganya yang melangit.

Bahasa: Penyesuaian dengan Bahasa Indonesia untuk Kebutuhan Akademis

Terus terang, saya belum mempersiapkan apapun mengenai Academic Indonesian putri saya. Reza akan bersekolah di sekolah dengan media instruksi bahasa Indonesia.

Dan sebagaimana hasil tesnya menunjukkan, Reza akan perlu mengikuti program tambahan bahasa Indonesia di sekolahnya. Ketika itu, saya diminta menandatangani form yang menyatakan bahwa saya mengijinkan jika Reza harus mengikuti program remedial atau tambahan bagi mata pelajaran yang akan dia ikuti di sekolahnya.

Bagi Africh, karena sekolah yang kami 'incar' adalah sekolah dengan media instruksi berbahasa Inggris, maka bahasa akademik seharusnya tidak akan menjadi issue dalam kehidupan akademisnya.

Yang akan dia butuhkan adalah penyesuaian dengan bahasa Indonesia untuk kebutuhan komunikasi di luar sekolah. Namun, dengan kelenturan anak-anak untuk menyesuaikan diri dalam menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, saya juga tidak ragu bahwa Africh akan segera mendapatkan bahasa Indonesianya kembali karena keluarga besar, tetangga, dan kerabat ayah ibunya adalah kalangan berbahasa Indonesia.

Exposure yang akan kami berikan untuk Africh seharusnya memadai untuk perkembangan komuniasi berbahasa Indonesianya. Bagaimanapun, sekolah anak-anak belum akan dimulai hingga Januari bagi Africh dan Juli bagi Reza. Saya akan melihat bagaimana perkembangan keduanya sambil jalan.

* Novi Rahayu Restuningrum baru saja menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas Monash di Melbourne, dan sekarang kembali bekerja di Universitas Yarsi Jakarta.