ABC

Indonesia Belajar Aksesibilitas Penyandang Disabilitas di Australia

Guna menyambut Hari Penyandang Disabilitas International hari Kamis (3/12), berikut tulisan Muhammad Adam, mahasiswa pasca sarjana Universitas Flinders yang mendampingi tim Kemensos Indonesia yang baru menyelesaikan program tentang Disabilitas di Universitas Flinders, dan pengalaman mereka melihat berbagai hal mengenai disabilitas di Australia.

Sebanyak dua puluh lima peserta dari Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos) baru saja menyelesaikan program fellowship  tentang Disabilitas di Universitas Flinders Australia Selatan

Proses pembelajarannya yang berlangsung dari 17 Oktober sampai dengan 13 November tersebut dikemas antara pengajaran di dalam kelas dan juga kunjungan lapangan ke beberapa institusi terkait.

Saya ikut bergabung bersama tim tersebut selama program berlangsung sebagai penerjemah. Ada banyak pelajaran dan pengalaman menarik yang bisa dipelajari tentang dunia disabilitas di Australia, terutama di Adelaide. Salah satu yang menarik adalah aksesibilitas yang tersedia untuk penyandang disabilitas di Australia.

Membicarakan penyandang disabilitas, salah satu hak utama yang harus dipenuhi adalah jaminan aksesibilitas baik fisik atau non fisik, dalam berbagai aspek kehidupan.

Salah satu kebijakan yang diimplimentasikan oleh pemerintah Australia dengan serius adalah memastikan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas di tempat-tempat publik terpenuhi dengan baik.

Peserta Kemensos mendapat penjelasan mengenai kebutuhan seksual penyandang disabilitas.  Foto Istimewa
Peserta Kemensos mendapat penjelasan mengenai kebutuhan seksual penyandang disabilitas. Foto Istimewa

Transportasi publik seperti bis sudah mampu mengakomodir penyandang disabilitas untuk mandiri. Bis sudah dirancang dan dimodifikasi sedemikian rupa  untuk memberikan akses kepada penyandang disabilitas tanpa mendiskriminasi hak mereka sebagai penumpang.

Mereka yang menggunakan kursi roda, misalkan, tidak harus diangkat untuk masuk ke dalam bis atau turun dari kursi rodanya.

Bisnya bisa dimodifikasi dengan mengeluarkan bagian tertentu dari pintu mobil yang membentuk seperti jalan untuk menghubungkan antara bis dan trotoar tempat menunggu bis. 

Di dalam bis, pihak penyedia jasa transportasi merancang bus dengan mengakomodir hak-hak penumpang penyandang disabilitas seperti membuat area khusus untuk duduk dan mengalokasi beberapa baris kursi di bagian depan untuk penumpang yang perlu mendapat perlakuan khusus.

Hal serupa juga dengan mudah kita dapatkan di berbagai tempat umum lainnya seperti stasiun kereta api, bandara, bank, rumah sakit dan sejenisnya.

Masih berkenaan seputar aksesibilitas, layanan yang diberikan kepada penyandang disabilitas malah terkesan lebih premium seperti adanya area khusus  untuk parkir penyandang disabilitas dimana arealnya lebih luas dari area parkir standar (untuk mengakomodir pengguna kendaraan yang memakai kursi roda) dan biasanya jaraknya langsung atau berdekatan dengan tempat yang dituju seperti ruang kelas, pasar, atau tempat belanja.

Fasilitas serupa tidak hanya ditemukan di bis-bis umum, transportasi lain seperti taxi juga sudah bisa dimanfaatkan untuk pelanggan penyandang disabilitas.

Di jalan-jalan umum di Australia, sangat mudah kita temui penyandang disabilitas yang melakukan aktifitasnya sendiri dengan berbagai kemudahan yang ada, misalnya dengan menggunakan alat bantu scooter matic yang memudahkan penyandang disabilitas melakukan mobilitas dan tentunya dengan didukung oleh kondisi jalan yang aksesibel bagi penyandang disabilitas.

Aksesabilitas penting lainnya adalah rancang bangunan yang mewajibkan pihak penyedia jasa layanan untuk memenuhi hak-hak warga yang memiliki disabilitas.  

Sebagai contoh di kampus, arsitektur bangunannya sudah mengakomodir hak-hak mahasiswa yang memiliki kebutuhan khusus dengan baik. Misalkan untuk menuju ke ruang kelas, pihak universitas membangun jalan khusus yang bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa penyandang disabilitas (pemakai kursi roda) tanpa harus mengkhawatirkan untuk naik tangga atau harus menggunakan tongkat.

Tidak hanya itu, fasilitas sanitasi seperti toilet juga dirancang sebaik mungkin untuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.

Salah satu institusi bidang aksesibilitas yang dikunjungi oleh peserta adalah Guide Dogs Discovery Centre, sebuah organisasi yang melakukan advokasi dan edukasi untuk memastikan pemenuhan hak aksesibilitas masyarakat dengan berbagai disabilitas, terutama untuk penyandang disabilitas netra dan penyandang autism.

Salah satu layanan utama organisasi yang berpusat di Adelaide tersebut adalah melatih anjing-anjing yang bisa dimanfaatkan oleh penyandang disabilitas netra untuk membantu mobilitas sehari-hari dengan aman dan nyaman.

Lembaga ini juga memiliki berbagai fasilitas alat bantu seperti tongkat dengan berbagai rancangan teknologi yang bisa dimanfaatkan oleh penyandang disabilitas netra.

Guide Dog yang sudah berdiri semenjak 1951 tesebut tidak hanya melayani penyandang disabilitas netra, masyarakat yang mengalami disabilitas lainnya seperti penyandang disabilitas rungu juga menjadi target layanan mereka.

Berbagai fasilitas teknologi canggih seperti telpon dengan berbagai rancangan, bel rumah, alarm untuk keadaan darurat bagi penyandang disabilitas rungu, senter, alat bantu dengar dengan berbagai bentuk dan model sampai dengan TV khusus yang bisa diperuntukkan untuk penyandang disabilitas rungu lengkap di lembaga ini.

Peserta dari Kemensos berkunjung ke salah satu fasilitas penyokong bagi penyandang disabilitas di Adelaide. (Foto: Istimewa)
Peserta dari Kemensos berkunjung ke salah satu fasilitas penyokong bagi penyandang disabilitas di Adelaide. (Foto: Istimewa)

Organisasi lain yang dikunjungi peserta terkait dengan pemenuhan hak penyandang disabilitas  bidang aksesibilitas adalah Independent Living Centre.

ILC adalah lembaga yang bekerjasama dengan berbagai perusahaan yang memproduksi alat-alat bantu atau teknologi yang diperuntukkan untuk penyandang disabilitas dengan berbagai kebutuhan, mulai dari yang kecil sampai besar.

Di kantor mereka,  terdapat  berbagai model alat bantu dan teknologi untuk penyandang disabilitas. Pada saat berkunjung ke ILC, para peserta dibuat kagum dengan ratusan bahkan mencapai ribuan alat bantu dengan beragam teknologi bantu yang dirancang dan diadaptasi khusus untuk penyandang disabilitas.

Alat-alat masak dan perlengkapan dapur seperti panci, piring dan gelas (bahkan ada gelas dengan lengkungan khusus didalamnya yang akan membuat seorang penyandang disabilitas yang mengalami hambatan di tenggorokan atau pernafasan tidak akan tersedak); alat-alat di kamar mandi seperti kloset dan bak mandi; tempat tidur dengan berbagai rancangan; sampai dengan baju dan sepatu modifikasi yang diperuntukkan khusus untuk penyandang disabilitas.

Menariknya, ILC tidak hanya melayani penyandang disabilitas yang datang ke kantor pusat mereka, tetapi mereka juga memperkenalkan dan mengedukasi alat-alat dengan dukungan teknologi canggih tersebut ke pedalaman-pedalaman Australia dengan mengunjungi daerah-daerah tersebut secara bergilir dan regular dengan membawa berbagai macam alat-alat yang mereka punya.

Terkait dengan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, kebutuhan batiniah seperti seks juga menjadi salah satu perhatian dalam memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas.

Berangkat atas prinsip person-centered approach, mereka percaya bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka. Shine South Australia adalah salah satu lembaga besar yang didekasikan khusus untuk melayani dan membantu hak-hak biologis penyandang disabilitas, terutama Penyandang Disabilitas Intelektual (PDI).

Tenaga-tenaga profesional di lembaga ini memberikan berbagai program edukasi dan asistensi kepada PDI dan masyarakat untuk mempermudah pemenuhan hak seksual  PDI.

Mereka percaya bahwa masyarakat, terlebih PDI harus mendapatkan edukasi tentang seksualitas dan reproduksi sedini mungkin. Karenanya Shine SA membuat berbagai program dan layanan seperti asesmen, konseling, pendidikan dan pelatihan dengan menggunakan alat ataupun metode baik formal maupun informal yang disesuaikan dengan kondisi dan usia, pengalaman seksualitas yang mereka miliki dan juga dengan mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya di Australia.  

*Muhammad Adam, mahasiswa pasca sarjana bidang pendidikan Flinders University di Australia Selatan.