ABC

Obat Anti-depresi Populer Ternyata dapat Memicu Kasus Bunuh Diri

Sebuah penelitian internasional yang dipimpin pakar dari Universitas Adelaide, Australia menemukan obat anti depresi populer yang banyak digunakan di Australia dan negara lain di dunia ternyata dapat memicu anak-anak muda untuk bunuh diri dan tidak lebih efektif dari obat anti depresan lainnya, placebo.

Dalam kajian ulang terhadap penggunaan obat tersebut, tim riset juga mendapati bukti kalau perusahaan pembuat obat  menyembunyikan dampak membahayakan dari obat itu dan sebaliknya dan menggembar-gemborkan khasiatnya.
 
Studi yang dirilis di Journal Kedokteran Inggris ini meneliti data yang digunakan oleh perusahaan obat untuk membantu memasarkan obat yang kemudian dijual di Australia dengan nama Aropax dan Paxil atau dikenal juga dengan obat paroxetine.
 
Dokter klinik telah meresepkan miliaran obat berbentuk pil itu sejak tahun 1980-an dan '90-an, ketika itu obat tersebut  dikenal sebagai obat yang sangat manjur untuk mengobati depresi tanpa banyak efek samping sebagaimana obat sebelumnya.
 
Namun beberapa dekade kemudian setelah dikaji ternyata data yang digunakan untuk mendukung paroxetine diyakini telah diselewengkan dan dilebih-lebihkan.
 
 "Kami menilai telah terjadi pengambilan keputusan untuk meresepkan obat tersebut  hanya didasarkan pada laporan penelitian dari obat itu sendiri saja,” kata Profesor Jon Jureidini, yang memimpin tim peneliti internasional dari Kelompok Riset Kritik dan Etika Kesehatan Universitas Adelaide.
 
"Studi ini menyimpulkan paroxetine adalah sebuah anti-depresan, yang diklaim efektif dan aman bagi orang-orang muda dan pada kenyataannya ternyata sebaliknya."
 
Tim membuktikan kalau obat itu mengandung efek samping yang levelnya dua kali lipat lebih parah dibandingkan seluruh obat sejenis dan memiliki kejadian efek samping kejiwaan empat kali lipat.
 
"Sebanyak sebelas orang dari total kurang dari 100 pasien yang mengkonsumsi paroxatine diketahui melakukan bunuh diri atau menyakiti diri sendiri dibandingkan dengan kelompok pasien yang menggunakan obat placebo,” katanya.
 
Dengan temuannya ini Professor Jureidini menekankan agar kajiannya ini tidak menyebabkan pasien yang saat ini diresepkan dan mengkonsumsi paroxetine untuk berhenti meminum obat mereka kecuali memang diarahkandemikian oleh dokter.
 
Namun menurutnya dokter dalam memilih obat yang akan diresepkan ke pasien harus lebih skeptis.
 
Sementara itu Direktur komunikasi dari perusahaan yang memproduksi Paroxetine, GlaxoSmithKline. Bernadette Murdoch, membantah pihaknya mempersulit pemeberian data kepada tim riset dan mengakui ini memang bukan proses yang mudah.
 
"Studi ini dilakukan tahun 90-an, ketika sistem komputer pada waktu itu masih sangat berbeda. Banyak catatan masih ditulis tangan tapi kami telah  memberikan semua data yang diminta oleh tim sehingga mereka bisa melaksanakan analisis ulang tersebut. "
 
Murdoch juga mengatakan "ketika obat itu mendapat persetujuan untuk digunakan, keputusan itu bukan hanya dilakukan oleh perusahaan farmasi saja, tapi ada banyak penyelidikan oleh regulator dengan menggunakan semua data yang tersedia pada obat itu sebelum akhirnya merekomendasikan penggunaannya pada
pasien,”
 
"Terkait dengan temuan dari tim analisis,kami memang sejak awal sepakat kalau obat-obatan ini, anti-depresan seperti paraxetine, tidak cocok untuk anak-anak.
 
"Obat ini telah dikenal secara luas dikenal dan dilabelnya telah ditempelkan peringatan yang jelas dan sudah berlaku lebih dari satu dekade."