Terpidana Ali Imron Temui Sejumlah Keluarga Korban Bom Bali
Terpidana Ali Imron, pelaku yang mengendarai mobil van berisi peledak dalam peristiwa Bom Bali, bertemu langsung dengan sahabat dan keluarga sejumlah korban. Tawaran jabat tangan dari Ali Imron ditolak.
Ali Imron, satu-satunya pelaku bom bali yang masih hidup, bertemu dengan Nyoman Rencini, yang kehilangan suaminya, dan Jan Laczynski, yang kehilangan lima sahabatnya, serta Ni Luh Erniati yang juga kehilangan suaminya.
Sebelum bertemu dengan Ali di sebuah penjara di Jakarta, Nyoman Rencini dalam acara yang ditayangkan di Stasiun TV SBS Australia itu mengatakan tidak yakin bagaimana jika ia bertemu Ali nantinya.
"Teman saya bertanya, jika Ali Imron meminta maaf kepada kamu, apakah kamu mau memaafkannya? Saya katakan, Saya tidak tahu kita lihat saja nanti,” ujar Nyoman Rencini.
Dalam pertemuan itu, Jan Laczynski bertanya kepada Ali, "Mengapa Anda mau mengendarai kendaraan berisi bahan peledak itu? Apakah kamu bisa tidur nyenyak di malam hari?”
Dua buah bom meledak di Jalan Legian, Kuta, pada 12 Oktober 2012 dan menewaskan 202 orang.
Satu bom diledakan di dalam Puddy’s Club oleh pelaku bom bunuh diri dan satu bom lainnya diledakkan oleh pembom bunuh diri di dalam van di tempat parkir di luar Sari Club.
Tiga orang terpidana pelaku pemboman telah dieksekusi mati pada tahun 2008 sementara yang lainnya masih menjalani masa hukuman mereka di penjara.
Ali Imron terhindar dari hukuman mati dan dihukum penjara seumur hidup setelah mengaku bersalah dan menyatakan penyesalan dan bersedia bekerja sama dengan polisi.
Dia sekarang menjalani program de-radikalisasi dan mengubah pikirannya yang sebelumnya ia pahami sebagai jihad.
Namun, terungkap dalam pertemuan tersebut, kalau Ali masih menerima undangan untuk melaksanakan pemboman lagi di Bali dan bisa "menemukan bom meskipun aku ada di dalam".
"Saya tidak bersyukur dengan peristiwa bom di Bali," katanya.
"Saya bersyukur bahwa saya salah satu pelaku yang menyadari kalau itu perbuatan salah dan bertobat. Saya telah menyatakan meminta maaf kepada semua orang, terutama korban dan keluarganya,” kata Ali.
"Sejak itu saya tidak pernah lagi membunuh orang. Saya bukan monster,” tambahnya.
Ketika Ali Imron memasuki ruangan, dia menawarkan untuk berjabat tangan, namun jan Laczynski menolak.
Belakangan Jan mengatakan, "Tidak terima kasih, saya tidak akan berjabat tangan dengan seseorang yang telah membunuh 5 orang sahabat saya dan 88 warga Australia.”
Nyoman Rencini, yang harus menunggu selama 2 bulan untuk mendapat konfirmasi atas kematian suaminya, dan menyebabkan sekarang dia harus mengurus sendiri ketiga orang anaknya mengatakan, "Orang bilang dia setengah manusia, setengah binatang”.
"Beberapa teman mengatakan saya sebaiknya membawa pisau atau benda tajam dan menggunakannya pada pelaku, tapi kesadaran saya mencegah saya melakukan hal seperti itu,” katanya.
Dalam program SBS itu Ali Imron mengatakan dia hanya mematuhi perintah pemimpinnya.
"Saya hanya menjalankan perintah dari senior saya di Jemaah Islamiyah dan kakak saya Mukhlas,” kata Ali Imron.
Menurutnya jika dia tidak menyelesaikan perintah itu maka dia akan dikeluarkan dari JI dan dianggap sebagai pengkhianat.
Setelah pertemuan itu Erniati mengatakan: "Saya tahu dia berpikir, dia mendengarkan, tapi wajahnya tidak menunjukan tanda-tanda simpati sama sekali.”
Keputusan bagi korban, saudara atau teman korban untuk bertemu pelaku dari peristiwa traumatis seperti Bom Bali bukan hal yang mudah dan bisa menimbulkan dampak psikologis yang berbeda-beda.
Seringkali pertemuan tersebut ditujukan untuk berusaha memahami peristiwa traumatis tetapi dapat menimbulkan efek berbeda dan signifikan di antara individu.
Psikolog dari Universitas Queensland, Professor Justin Kenardy mengatakan dampaknya sangat banyak tergantung apakah orang tersebut sudah memiliki kapasitas untuk mengatasi emosi.
"Jika seseorang benar-benar tertekan saya pikir ini adalah tindakan yang akan menjadi kontra-produktif," katanya.
"Pertemuan ini akan semakin menegaskan seluruh pikiran menakutkan dan membingungkan yang selama ini mereka berusaha atasi,” tambahnya.
Tapi dalam beberapa hal pertemuan ini bisa menjadi proses yang positif dan bermanfaat.
"Jika seseorang merasa didukung dan relatif tahan atau berada dalam lingkungan yang dapat mendorong pemulihan trauma mereka dan mampu beradaptasi, maka pertemuan semacam ini akan menjadi sesuatu yang berguna," kata Prof. Kenardy lagi.