Cancel Culture dan Wajah Baru Pembatalan Publik di Era Digital

Cancel culture adalah praktik sosial ketika publik menolak mendukung seseorang setelah perilakunya dinilai bermasalah. Tindakan ini bisa berupa berhenti mengikuti, memboikot karya, hingga menekan brand agar memutus kerja sama. Di Indonesia, budaya ini tumbuh seiring meningkatnya keberanian publik untuk menuntut akuntabilitas, terutama ketika institusi atau mekanisme formal dianggap tidak responsif. Sosiolog Zeynep Tufekci melihat fenomena ini sebagai hasil dari meningkatnya kekuatan komunitas digital dalam mengawasi figur publik. Sementara menurut peneliti media Sarah Banet-Weiser, cancel culture muncul dari kebutuhan masyarakat untuk menuntut akuntabilitas ketika institusi formal dianggap tidak mampu memberikan keadilan.

Cancel culture sendiri memiliki dampak yang jauh lebih kompleks daripada sekadar aksi kolektif “mengoreksi” perilaku seseorang. Di satu sisi, budaya ini dapat menjadi alat kontrol sosial yang mendorong akuntabilitas, terutama ketika institusi gagal menindak kasus-kasus pelanggaran moral atau etika. Dalam beberapa kasus, cancel culture membantu memberi ruang bagi kelompok termarjinalkan untuk menyuarakan kritik dan ketidakadilan sesuatu yang sebelumnya sulit dilakukan ketika saluran formal kurang responsif

Namun, di sisi lain, dampak negatif cancel culture tidak dapat diabaikan. Dalam banyak situasi, proses “pembatalan” terjadi tanpa verifikasi fakta yang kuat, didorong oleh emosi massal, viralitas, atau framing yang tidak lengkap. Hal ini dapat menyebabkan reputasi seseorang hancur sebelum mereka memiliki kesempatan untuk memberikan klarifikasi. menyoroti bahwa dampak tekanan sosial dari cancel culture dapat memicu polarisasi, kecemasan, bahkan trauma psikologis bagi individu yang menjadi sasaran, terlepas dari apakah mereka benar-benar bersalah.

J.K. Rowling: Kontroversi Pernyataan dan Gelombang Cancel Culture

Salah satu contoh global yang sering dibahas adalah pembatalan publik terhadap J.K. Rowling. Kontroversi ini muncul setelah sejumlah pernyataannya di media sosial dianggap sensitif terhadap komunitas transgender. Respons publik berlangsung cepat mulai dari kritik massal, boikot karya, hingga desakan agar berbagai proyek terkait Harry Potter menjaga jarak dari dirinya. sehingga sampai sekarang nama J.K. Rowling masih kerap menjadi perdebatan setiap kali isu identitas gender mencuat di ruang publik. 

Beberapa aktor utama seperti Emma Watson dari film Harry Potter juga menyatakan ketidaksetujuan terhadap pandangan J.K. Rowling, yang membuat isu ini semakin besar. Kasus Rowling menunjukkan bagaimana pendapat seorang figur publik dapat memicu gelombang cancel culture dan bagaimana tekanan digital bisa berubah menjadi bentuk akuntabilitas sekaligus polemik yang memecah opini publik.

Muhammad Raihan Ramadhan