Penyiaran dan Kebebasan Berekspresi di Era Digital
Kebebasan berekspresi adalah salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi. Dalam konteks penyiaran, kebebasan ini menjadi jantung dari keberagaman informasi, pandangan, dan budaya yang disajikan kepada publik. Namun, di era digital yang serba cepat dan penuh distraksi, peran penyiaran sebagai penjaga kebebasan berekspresi mengalami tantangan yang semakin kompleks.
Era Digital: Peluang dan Ancaman
Digitalisasi membawa gelombang besar perubahan dalam dunia penyiaran. Platform seperti YouTube, TikTok, dan podcast telah menciptakan ruang-ruang baru bagi individu untuk menyampaikan pandangan, cerita, dan berita tanpa harus melewati jalur penyiaran tradisional. Siapa pun kini bisa menjadi penyiar; tidak dibutuhkan studio besar atau lisensi khusus. Fenomena ini membuka peluang besar bagi kebebasan berekspresi. Konten-konten independen bermunculan, memperkaya lanskap informasi dan memberi ruang bagi suara-suara minoritas yang sebelumnya terpinggirkan. Isu-isu sosial, politik, hingga kebudayaan lokal kini mendapat tempat yang lebih luas dalam konsumsi publik. Namun, kebebasan ini juga datang dengan risiko. Tanpa penyaringan yang memadai, informasi yang salah (misinformasi) dan ujaran kebencian mudah menyebar. Dalam banyak kasus, media digital menjadi ladang subur bagi polarisasi, radikalisasi, dan manipulasi informasi.
Peran Penyiaran Tradisional Masih Relevan:
Di tengah gempuran konten digital, media penyiaran konvensional—seperti televisi dan radio—masih memainkan peran penting dalam menjaga standar jurnalistik dan etika penyiaran. Mereka menjalankan proses redaksi yang ketat, verifikasi berita, serta tunduk pada regulasi yang menjamin tanggung jawab publik. Namun demikian, banyak media penyiaran saat ini menghadapi tekanan yang besar: baik dari segi bisnis, politik, maupun regulasi. Ketika kebebasan berekspresi mulai dikompromikan oleh kepentingan ekonomi atau kekuasaan, maka peran penyiaran sebagai penyalur kebenaran pun terancam. Kasus terbaru mengenai wacana revisi Undang-Undang Penyiaran di Indonesia yang memuat larangan terhadap jurnalisme investigatif adalah contoh nyata. Usulan tersebut dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap media yang kritis, serta upaya untuk mempersempit ruang ekspresi yang sah dalam penyiaran. Reaksi keras dari jurnalis, sineas, dan organisasi masyarakat sipil menunjukkan betapa pentingnya menjaga penyiaran sebagai medium yang bebas dan independen.
Kebebasan Ekspresi vs. Tanggung Jawab Sosial:
Penting untuk menekankan bahwa kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan tanpa batas. Dalam dunia penyiaran, ekspresi harus selalu diimbangi dengan tanggung jawab sosial. Konten yang disiarkan harus mempertimbangkan nilai-nilai publik, keragaman budaya, dan perlindungan kelompok rentan. Inilah dilema yang sering muncul di era digital. Bagaimana menjaga kebebasan berekspresi tanpa membuka pintu bagi penyalahgunaan? Apakah regulasi yang ketat akan menyelamatkan publik atau justru membungkam kritik? Jawabannya bukan pada ekstrem kontrol atau kebebasan mutlak, melainkan pada sistem yang adil, transparan, dan partisipatif.
Kebutuhan Akan Literasi Media:
Salah satu solusi yang paling penting namun sering diabaikan adalah peningkatan literasi media di kalangan masyarakat. Tanpa kemampuan untuk membedakan mana konten yang kredibel dan mana yang manipulatif, kebebasan berekspresi malah dapat menjadi bumerang. Masyarakat yang melek media akan mampu menilai informasi secara kritis dan mendorong media untuk tetap bertanggung jawab.
Program-program literasi media harus menjadi bagian dari strategi nasional untuk memperkuat demokrasi digital. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga institusi pendidikan, media, dan komunitas.