Mengungkap Jeratan Belenggu Hubungan Toksik: Mulai Dari Kontrol Sampai Tindakan Kekerasan

Tidak semua orang menyadari bahwa mereka sedang terjebak dalam hubungan toksik ataupun hubungan yang abuse. Kadang, perhatian berlebihan dianggap sebagai tanda cinta, padahal sebenarnya itu adalah bentuk kontrol. Pasangan yang melarangmu bertemu teman, mengecek ponsel tanpa izin, merendahkan dengan kata-kata kasar, hingga melakukan kekerasan fisik seperti memukul atau menendang, sering kali berdalih bahwa semua itu demi kebaikanmu. Padahal, perilaku tersebut merupakan gejala nyata dari kekerasan dalam hubungan.
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2022), tercatat 3.528 kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan, menjadikannya bentuk kekerasan personal paling dominan. Namun, angka tersebut hanyalah puncak gunung es. Masih banyak korban memilih diam karena takut ancaman, merasa malu terhadap lingkungan sosial, atau bergantung secara emosional maupun finansial pada pasangannya.
Mengapa kekerasan dalam hubungan sering terjadi?
Sayangnya, masih banyak yang beranggapan bahwa kekerasan dalam hubungan hanyalah “bumbu pertengkaran” atau sekadar emosi sesaat yang wajar. Anggapan ini keliru. Laras Yuliansyah, Counselor Academic Monitoring Service BINUS University, dalam program Jurnal Binusian, menjelaskan bahwa perilaku kekerasan sering berakar pada pikiran dan emosi terpendam yang tidak tersalurkan dengan sehat. Pertengkaran kecil bisa menjadi bom waktu yang meledak menjadi kekerasan.
Faktor lain yang membuat kekerasan dalam hubungan sering terjadi adalah adanya ketimpangan kuasa dalam relasi gender dan pasangan. Dalam beberapa budaya di Indonesia, menjelaskan bahwa laki-laki cenderung memiliki posisi dominan, yang diperkuat oleh nilai-nilai patriarki. Dalam Budaya ini bahwa pihak laki-laki bisa mendapatkan hak untuk mengambil keputusan, dan menjadi sebuah alat kontrol terhadap pasangannya.
Selain itu, banyak faktor yang mempengaruhi korban kekerasan dalam hubungan untuk tetap bertahan. Salah satunya adalah perasaan bersalah yang sengaja ditanamkan oleh pelaku. Dalam situasi ini, pelaku biasanya melakukan gaslighting terhadap korban dan bahkan mengancam akan melukai dirinya sendiri jika hubungan diakhiri. Ancaman semacam itu menimbulkan rasa bersalah pada korban, sehingga merasa terjebak dan sulit melepaskan diri.
Ketergantungan ini tidak hanya terjadi pada sisi emosional, tetapi juga bisa muncul dalam aspek ekonomi maupun sosial. Dominasi pelaku yang begitu kuat membuat korban merasa tak berdaya untuk melawan. Perlahan, korban menjadi sangat bergantung pada pelaku, hingga muncul kesan bahwa
Tidak mampu hidup tanpa pasangannya. Kondisi inilah yang semakin memperkuat jeratan hubungan toksik dan membuat korban sulit keluar dari siklus kekerasan. Untuk Smart Viewers yang mau tau penjelasan lebih lengkapnya tentang hubungan abuse dan toksik, nonton program Jurnal Binusian selengkapnya di kanal Youtube BINUS TV