Hamlet

Teater KataK bekerja sama dengan Drama Club Sastra Inggris Universitas Bina Nusantara akan mementaskan Hamlet pada 26-27 September 2015 di Gedung Kesenian Jakarta.

Sutradara Venantius Vladimir Ivan mengadaptasi ulang Hamlet karya William Shakespeare versi WS Rendra yang sempat dimainkan oleh Bengkel Teater pada 1994. Ini akan jadi produksi ke-40 Teater KataK dalam enam tahun perjalanan mereka sejak pertama berdiri pada 12 Juni 2009.

Tragedy of Hamlet, Prince of Denmark, kerap disebut sebagai naskah tragedi terbaik dalam lingkup sejarah sastra Inggris. Diperkirakan, ia dibuat pada 1599-1601; tak ada bukti sejarah pasti untuk menentukan waktu persisnya. Yang jelas, Hamlet lahir di akhir era Renaissance yang kerap dianggap sebagai jembatan transisi antara abad pertengahan dan era modern di Eropa. Pada saat yang sama, sedang berlangsung masa kekuasaan Ratu Elizabeth I (1558- 1603), yang diklaim sebagai era keemasan bangsa Inggris. Kala itu, eksplorasi mendalam dilakukan oleh para seniman, entah di bidang musik maupun sastra, dengan Shakespeare jadi salah satu tokoh utamanya. Hamlet berkisah soal usaha Pangeran Hamlet dari Kerajaan Denmark untuk membalas dendam atas kematian ayahnya yang dibunuh oleh pamannya sendiri, Claudius. Pada suatu malam, Hamlet bertemu dengan arwah sang ayah yang segera menjelaskan segalanya. Ternyata, Cladius membunuh sang ayah dengan racun agar ia bisa menjadi raja dan memperistri ibu Hamlet, Gertrude. Dari sanalah semua masalah bermula. Pada akhirnya, seluruh tokoh utama dalam cerita berujung pada kematian, dari Gertrude, Claudius, hingga Hamlet sendiri. Mereka yang memulai dengan bahagia di akhir cerita pun binasa. Bahkan yang sejak awal telah merana justru kian sengsara. Bisa dikatakan, Hamlet meletakkan fokus pada pergumulan antara cinta, kematian, dan pengkhianatan yang terus meningkat, tanpa memberikan resolusi positif nan mutlak sebagai penawarnya. Selain itu, Hamlet merupakan model ideal kisah tragedi balas dendam yang banyak beredar di dunia teater era Elizabethan Inggris. Biasanya, kisah semacam itu mencakup elemenelemen berikut: tema pembunuhan atau kejahatan lain yang menimpa seseorang dari keluarga kerajaan, arwah korban hadir kembali untuk memberitahukan identitas pelaku, serta muncul konflik batin di tengah usaha pembalasan dendam. Konflik batin inilah yang membuat sosok Hamlet dikenal sebagai peragu kelas wahid. Apa yang ia yakini di satu adegan, bisa ia ragukan kembali di adegan selanjutnya. To be, or not to be, that is the question: Whether ’tis Nobler in the mind to suffer The Slings and Arrows of outrageous Fortune, Or to take Arms against a Sea of troubles, And by opposing end them: to die, to sleep No more; and by a sleep, to say we end The Heart-ache, and the thousand Natural shocks That Flesh is heir to? ‘Tis a consummation Devoutly to be wished. Itulah kalimat-kalimat awal solilokui yang Hamlet ucapkan sesaat sebelum ia menyuruh Ophelia untuk pergi ke biara. Di sana terlihat pergulatan batinnya dalam menjalankan rencana balas dendam, dan bahkan pertimbangannya untuk mati. “Menjadi, atau tidak menjadi, itulah pertanyaannya. Manakah yang lebih mulia, rela menderita dihujani batu dan panah, atau memberontak menantang lautan kesukaran. Dan dengan mengakhirinya: menuju mati, menuju lelap. Tak ada lagi; dan dengan mati, kita akan mengakhiri kepusingan kepala, dan semua bencana lainnya. Inilah akhir yang dengan suci kita damba.” Dalam naskah ini, Shakespeare memang terlihat menaruh porsi lebih pada karakter tokoh dengan segala kerumitan psikologisnya. Ini berbanding terbalik dengan gaya Aristoteles dalam buku Poetics yang menganjurkan agar sebuah drama lebih meletakkan fokus pada aksinya. Dengan gaya seperti ini, bahkan tokoh raja bisa larut dalam emosi dan membuat kesalahan; sesuatu yang jarang terjadi dalam drama yang beredar di masa abad pertengahan Eropa. Di sisi lain, terlihat pula pertentangan di antara pengaruh dua agama: Katolik dan Protestan. Dalam kisah Hamlet, ayah Hamlet berujar, setelah mati ia mesti terjebak dalam api penyucian karena tiadanya ritus terakhir jelang ajalnya. Dalam ajaran Katolik, seseorang yang urung mendapat pengampunan dosa sebelum mati, terpaksa melewati api penyucian sebelum masuk surga. Inilah yang mendorong Martin Luther dan kawan-kawan menginisiasi reformasi protestan di Eropa, sekiranya pada kurun waktu 1517-1648. Luther mengkritik keras komersialisasi pengampunan dosa dalam doktrin Katolik saat itu. Dalam cerita, Hamlet pergi bersekolah ke Wittenberg, tempat Luther banyak menghabiskan masa studinya. Sementara itu, sejak 1536, otoritas keuskupan Katolik Roma di Denmark pun ditiadakan, dan reformasi protestan berlangsung kencang di sana. Karena itu muncul dugaan bahwa Hamlet beragama Protestan. Namun, keraguan Hamlet sebelum membunuh Claudius saat pamannya itu sedang melakukan pengakuan dosa justru menunjukkan pengaruh Katolik dalam dirinya. Ia tak rela bila Claudius mati sesaat setelah melakukan pertobatan. Menurutnya, itu akan otomatis membawa Claudius ke surga, tak seperti ayahnya yang mesti terjebak dalam api penyucian. Hal itu pula yang kemudian membawa Hamlet pada pertarungan akhir melawan Laertes yang menewaskan seluruh tokoh utama dalam cerita. Dengan segala kerumitan yang ada, Hamlet merupakan naskah terpanjang dari seluruh kisah Shakespeare lainnya. Konon, sosok Hamlet pun merupakan tokoh utama dengan porsi terpanjang dibanding porsi para tokoh utama dalam lakon-lakon lainnya. Dari sana, Teater KataK mencoba mengadaptasi Hamlet dan menampilkannya dengan lebih ringkas. Mereka pun sengaja mengemasnya secara tragi-komedi agar bisa diterima oleh kalangan penonton yang lebih luas, dari pecinta teater hingga penikmat awam. Alhasil, diharapkan Hamlet dapat menjawab perubahan zaman dan tetap relevan dengan konteks kekinian.