ABC

Warga Aborigin Tertekan Kehilangan Budayanya Jika Ingin Sukses

Para warga Aborigin menghadapi tekanan besar untuk kehilangan budaya tradisional mereka agar sukses di Australia. Demikian terungkap dalam laporan riset mengenai hubungan ras di wilayah Top End di Australia Utara.

Riset dilaksanakan oleh Larrakia Nation, yang mewakili warga Larrakia wilayah Darwin, yang bekerja sama dengan Universitas Sydney dan Tasmania.

“Setiap harinya saya bergelut dengan (pertanyaan) siapa saya, bagaimana saya berbicara, bagaimana saya bertindak dan terlihat dan lainnya,” kata seorang responden anonim dalam penelitian ini.

“Jadi dari orang kulit putih Anda dapatkan bahwa Anda tidak mampu bicara bahasa Inggris yang baik, dan kemudian dari orang kulit hitam (dapatkan) ini: ‘Mengapa kamu berperilaku seperti orang kulit, berbicara seperti orang kulit putih?’,” kata responden itu.

Lebih dari 500 warga Aborigin yang tinggal di Darwin, mulai dari gelandangan hingga mahasiswa, turut ambil bagian dalam riset tiga tahun yang menghasilkan laporan sementera berjudul “Ceritakan Apa Adanya”.

Banyak responden mengaku lelah dihakimi karena tak mengikuti budaya konsumen “orang kulit putih Australia”, dan lebih menghargai kebebasan mereka untuk menjadi apa adanya.

"Selalu tidak sesuai dengan harapan bahwa orang Aborigin harus kalah, melepaskan nilai-nilai mereka dan siapa mereka," kata seorang responden anonim.

“Kami mendapatkan kekuatan dari kesadaran bahwa kami terhubung… tahu siapa keluarga Anda, latar belakang Anda, punya kampung, bagaimana Anda terhubung, apa totem dan mimpi Anda,” tuturnya.

“Tapi ada budaya lain yang mengatakan tidak, itu bukan kekuatan,” ujarnya lagi.

Para responden menyuarakan keprihatinan tentang apa yang dianggap berharga dalam masyarakat umum di Australia.

“Ada penekanan sangat kuat pada materialisme dan individualisme budaya orang kulit putih Australia dan apa akibat hal itu terhadap orang,” kata Penny Taylor, mantan peneliti kepala di Larrakia Nation.

“Responden menganggap banyak orang kulit putih Australia kesepian dan terisolasi. Mereka mengatakan memiliki rumah indah dan mobil bagus tapi mereka memiliki banyak stres dalam mendapatkan hal-hal itu dalam hidup mereka, dan terkadang menukarnya dengan hubungan dengan keluarga dan sahabat,” tambahnya.

aboriginal29dua.jpg
Larrakia Nation bekerjasama dengan Universities of Sydney dan Tasmania melakukan penelitian relasi ras di wilayah Top End. (Foto: Kiriman)

‘Merasa Tak Diinginkan di Darwin’

Data laporan riset menunjukkan lebih dari 50 persen responden merasa bahwa orang Aborigin tidak diinginkan di Darwin.

Selain itu, lebih dari 90 persen responden mengatakan orang Aborigin yang diajak bicara seakan mereka tidak berharga dan dihakimi oleh stereotip.

Dan hanya 16 persen responden menganggap warga non-pribumi Australia telah mencoba memahami budaya Aborigin.

Banyak responden mengatakan mereka tidak merasa nyaman pergi ke tempat umum, restoran, atau pusat perbelanjaan karena mereka takut dilihati dan diperlakukan berbeda.

“Saya tidak bisa menyetir, jadi saya pakai transportasi umum. Saya melihat supir bus lewat saja karena ada orang kulit hitam berdiri di halte bus dan mereka lewat begitu saja,” kata Larrakia dan Kathy Williams Browne, seorang perempuan West Arnhem.

“Seringkali itu (dialami) ibu bersama anak-anaknya dan para supir itu hanya lewat begitu saja,” tambahnya.

Laporan ini mengungkapkan orang Aborigin juga menemukan sistem peradilan pidana dan sistem politik Australia menjadi sangat rasis karena tidak mengakui tradisi dan pengetahuan Aborigin.

“Bagian besar dari teka-teki adalah membangun kapasitas di kalangan non pribumi Australia agar bisa melakukan hubungan setara dan saling menghargai serta keluar dari pandangan dunia mereka sendiri dan bisa benar-benar berinteraksi secara baik dengan budaya lain di sekitarnya, daripada fokus pada membangun kapasitas orang Aborigin Australia mengatasi ‘kelemahan’ mereka,” kata Taylor.

"Orang kulit putih Australia harus melihat diri mereka, lihat budaya mereka, dan menilai kekuatan dan kelemahannya sama seperti setiap harinya mereka menilai kekuatan dan kelemahan budaya Aborigin," jelasnya.

Para responden berharap orang non Aborigin bisa mempertimbangkan menghabiskan lebih banyak waktu bersama masyarakat Aborigin dan di kampung dalam mencoba mencapai keharmonisan rasial.

“Biarpun kami orang pribumi dan Anda kulit putih, kita harus bersatu,” ujar Anne Moreen dari kampung Belyuen, di seberang daerah pelabuhan dari Darwin.

Riset ini menunjukkan pengalaman terpingggirkan, stigma, stereotip dan rasisme mengarah ke persoalan kesehatan fisik dan mental, buruknya hasil pendidikan, persoalan kepercayaan diri, serta ketidakmampuan individu menggapai potensi diri mereka.

Riset ini dilakukan dilandaskan atas riset serupa yang meneliti perilaku non pribumi terhadap orang Aborigin.

“Kami putuskan meneliti dan membagi dengan masyarakat luas bagaimana perspektif orang Aborigin terhadap budaya orang kulit putih Australia, perspektif orang Aborigin mengenai pengalaman hidup mereka di Darwin, serta relasi ras dalam masyarakat ini sebab kami banyak mendengar dari populasi non pribumi,” kata Taylor.

“Mereka mengelola suratkabar, mereka mengudara (di radio dan TV), mereka politisi yang banyak bicara, namun kita tak banyak mendengar dari kalangan populasi pribumi sendiri,” jelasnya.

Diterbitkan Pukul 13:15 AEST 29 Agustus 2016 oleh Farid M. Ibrahim. Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.