ABC

Tren Wajah Pria Berjenggot Tidak akan Bertahan lama

Tren wajah berjenggot dikalangan pria saat ini tampaknya tidak akan bertahan lama. Sebuah riset di Australia menunjukan jenggot hanya terlihat menarik jika langka dijumpai, tapi sebaliknya jika terlalu banyak pria yang tampil dengan wajah berjenggot, maka daya tarik jenggot menjadi berkurang.

Berdasarkan penelitian yang diterbitkan di jurnal Royal Society Biology Letters menyebutkan kalau penelitian ini menyimpulkan daya dorong kekuatan evolusi berperan dibalik naik turunnya pesona tampilan wajah berjenggot maupun pola rambut di wajah lainnya pada laki-laki. .

“Dalam dunia yang penuh dengan pria berjenggot,  jenggot menjadi terlihat kurang seksi dibandingkan dengan dunia yang penuh dengan laki-laki yang wajahnya dicukur bersih,” kata ahli biologi evolusi, Profesor Rob Brooks dari Universitas New South Wales.

Kesimpulan ini berasal dari percobaan online di mana sejumlah pria dan wanita memberikan peringkat atau nilai terhadap gambar wajah pria dengan berbagai jenis  rambut di wajah alias jenggot.

Brooks dan koleganya mendirikan percobaan ini untuk mengetahui apakah tren fashion memelihara jenggot atau rambut di wajah yang tengah digandrungi kaum adam ini kemungkinan dapat berubah dengan cara yang sama seperti yang terjadi dengan gen dan sifat-sifat mahluk hidup dalam proses evolusi.

Secara khusus peneliti ini tertarik untuk melihat apa yang disebut dengan “ketergantungan frekuensi negative atau "Negative Frequency Dependence” yang merupakan bentuk tekanan seleksi pada sebuah gen.

“Ketika sebuah gen atau sifat itu jarang muncul maka itu memberikan keuntungan, sebaliknya kalau gen atau sifat itu muncul terlalu umum maka malah menimbulkan kerugian bagi gen itu sendiri,” katanya.

Kasus Ketergantungan Frekuensi Negatif contohnya terjadi dalam kasus bunga anggrek yang meniru serangga betina untuk menipu serangga laki-laki agar mau kawin dan menyerbuki mereka. Jika bunga terlalu sukses dalam strategi ini, cepat atau lambat serangga pria akan mengambil strategi dan menghentikan penyerbukan bunga.

Brooks mengatakan teori yang sama juga berlaku pada tren fashion. Ketika banyak orang mengikuti suatu tren fashion tertentu, maka tren itu malah menjadi semakin berkurang nilainya, dan apa yang dianggap trendi popularitasnya justru perlahan akan menyurut.

"Kelangkaan ternyata memberikan nilai dan kami berpikir bahwa mungkin hal serupa berlaku juga untuk rambut wajah," katanya.

Percobaan online

Dalam percobaan ini Brooks dan koleganya meminta sejumlah pria dan wanita untuk memberi nilai terhadap foto wajah pria secara online baik wajah yang dicukur bersih maupun wajah pria yang dihiasi oleh rambut wajah yang dalam masa pertumbuhan 5 hari, pertumbuhan 10-hari atau berjenggot penuh.

Partisipan dalam studi ini awalnya diperlihatkan satu rangkaian gambar yang terdiri dari 24 gambar wajah pria. ke-24 gambar tersebut menampilkan gambar wajah pria dengan 4 tipe wajah berjenggot maupun wajah pria yang dicukur bersih atau gambar wajah pria yang dipenuhi jenggot.

Kemudian partisipan ditunjukan gambar standar yang terdiri dari 12 set wajah yang  ditumbuhi 4 tipe rambut di wajah alias jenggot.

Dari percobaan ini Brooks dan koleganya mendapati, kalangan pria maupun wanita terlihat sangat menggemari tampilan wajah berjenggot jika pola wajah ini muncul sedikit atau langka dalam periode penampilan satu rangkaian gambar wajah.

Hal yang sama terjadi, wajah yang dicukur bersih juga dinilai lebih menarik jika mereka tampil langka dan menjadi kurang menarik jika jumlah gambar wajah bersih yang ditampilkan banyak.

Sementara itu pola wajah yang dihiasi rambut ternyata juga dinilai memiliki daya tarik perantara ketika gambarnya disajikan dengan frekuensi menengah selama pengaturan adegan.

Peran evolusi

Para peneliti mengatakan temuan ini menunjukan kalau terori ketergantungan frekuensi negatif dalam teori evolusi berlaku untuk tren wajah berambut dikalangan pria. Temuan ini juga mengindikasikan dorongan kekuatan evolusi kemungkinan turut berperan dalam tingkat kegandrungan pria memelihara jenggot yang terjadi sekarang ini.

Bagaimana sebenarnya evolusi itu bekerja sampai saat ini memangvmasih belum jelas namun menurutnya kecenderungan terjadinya mekanisme ketergantungan frekuensi negatif ini tampaknya secara khusus cukup kuat berlaku untuk jenggot dibandingkan pada sejumlah tren fashion lainnya seperti  rambut yang diberi warna maupun ukuran tubuh yang juga sempat dilakukan percobaan baru baru ini.

Brooks mengatakan budaya fashion mungkin memainkan peran yang besar dalam tren wajah berjenggot, namun fakta itu juga tidak menghalangi peran dari  evolusi juga.

"Gagasan kalau suatu hal seperti ini baik secara  'evolusi atau budaya' merupakan sara berpikir yang usang yang seharusnya sudah tidak berlaku lagi di abad ke-20," katanya. "Dan kebudayaan itu berevolusi dan sangat banyak perubahan evolusioner terjadi melalui mekanisme budaya," kata Brook menyimpulkan.