ABC

Timor Leste Timbang Larangan Kontrasepsi Bagi Perempuan Belum Menikah

Pemerintah Timor Leste tengah menimbang kemungkinan pemberlakuan kebijakan baru kontroversial yang melarang kontrasepsi bagi semua warganya kecuali pasangan menikah.

Rancangan kebijakan perencanaan keluarga yang masuk ke Pemerintahan di Dili akan memaksa para perempuan yang belum menikah untuk hanya menggunakan kontrasepsi metode alami yang disebut banyak pihak justru meningkatkan risiko kehamilan tak diinginkan, terutama di antara perempuan muda dan kurang berpendidikan.

Di negara dengan tingkat kehamilan remaja yang tinggi ini, kelompok perempuan khawatir akan dampak potensial jika kebijakan itu diadopsi.

Remaja perempuan di Timor Leste memiliki peluang 1 dibanding 4 untuk melahirkan di saat mereka berusia 19 tahun.

Negara penganut Katolik ini termasuk salah satu negara dengan tingkat kesuburan tertinggi di dunia yakni 5,6 -yang artinya rata-rata perempuan Timor Leste akan mempunyai 5-6 anak.

Dan tingkat kehamilan remaja artinya banyak bayi dilahirkan oleh seorang ibu yang dirinya sendiri belum dewasa.

“Sekitat 1 dari 5 anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Mereka menikah muda dan 50 persen dari mereka sudah punya anak ketika mereka berusia 20 tahun,” kata John Pile, yang mengepalai Badan Populasi PBB (UNPF) di Dili.

“Seringkali itu kehamilan yang diikuti dengan pernikahan lalu munculah sang anak. Dan itu tampaknya lebih menjadi masalah ketimbang menikah lalu hamil dan punya anak.”

Timor Leste punya tingkat kehamilan remaja yang tinggi
Timor Leste punya tingkat kehamilan remaja yang tinggi dan merupakan salah satu negara dengan tingkat kesuburan tertinggi di dunia.

Flickr: Kate Dixon

Kekhawatiran akan risiko dari kontrasepsi natural

Rancangan kebijakan itu akan melarang kontrasepsi bagi siapa saja kecuali pasangan yang telah menikah.

Para perempuan dan remaja perempuan yang belum menikah akan disarankan untuk menggunakan metode kalendar, di mana seorang perempuan menggunakan siklus bulanannya untuk menghitung masa aman untuk berhubungan tanpa pelindung.

“Program perencanaan keluarga yang baru ini akan mengurangi insiden kehamilan dan…mengurangi risiko aborsi,” tulis progam ini, dengan memgutip Tuhan dan gereja Katolik dalam rekomendasinya.

“Metode kalendar alami memungkinkan kehidupan manusia yang bermartabat dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya serta agama seperti ciptaan Tuhan.”

Tapi sejumlah kelompok perempuan mengatakan, metode kalendar itu berisiko tinggi, mengingat sedikitnya anak perempuan di Timor Leste yang diajarkan soal seks dan kehamilan.

Beberapa anak dan perempuan muda bahkan tak menyadari mereka hamil sampai beberapa bulan usia kehamilan.

Sebuah laporan yang diterbitkan awal tahun ini mengutip, satu perempuan muda yang baru mengetahui dirinya hamil di usia kandungan 7 bulan ketika ia ‘merasakan sesuatu yang bergerak di dalam perutnya’.

Meski kontrasepsi tak selalu siap diakses, kelompok perempuan dan juga PBB khawatir rencana pelarangan itu akan memaksa lebih banyak anak perempuan menjalani pernikahan dini.

“Karena kehamilan remaja, mereka akan keluar dari sekolah,” kata Fatima Soares, manajer program partisipasi perempuan dan anak perempuan di organisasi Plan International.

“Mereka tak akan mengakses pendidikan lagi. Mereka akan tinggal di rumah, mereka akan mengasuh anak-anak mereka. Dan mereka akan melakukan pekerjaan rumah tangga.”

Rancangan kebijakan perencanaan keluarga memaksa perempuan belum menikah gunakan metode kontrasepsi alami
Rancangan kebijakan perencanaan keluarga memaksa para perempuan yang belum menikah untuk hanya menggunakan metode kontrasepsi alami.

Supplied: PLAN International

Perilaku budaya di Timor Leste sulitkan perempuan muda

Laporan, yang diproduksi bersama oleh Plan dan lembaga PBB UNFPA, itu mengidentifikasi tingkat kehamilan remaja sebagai penyumbang utama terhadap kematian akibat persalinan, kematian bayi dan malnutrisi.

“Komplikasi yang terkait kehamilan dan kelahiran bayi menjadi penyebab kedua dari kematian untuk anak perempuan berusia 15-19 tahun secara global,” sebut laporan itu.

“Selain itu, tingkat kematian anak-anak yang terlahir dari remaja perempuan jauh lebih besar, dengan bayi lebih mungkin memiliki berat badan lahir yang kecil, dan menghadapi risiko malnutrisi dan masalah perkembangan yang lebih besar.”

“Hasil ini juga tercermin dalam data dari Timor Leste, yang menunjukkan bahwa ibu-ibu remaja berusia 15-19 tahun meninggal hampir dua kali lebih banyak dari ibu berusia 20-24 tahun.”

Pile mengatakan, perilaku budaya di Timor Leste mempersulit anak-anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan jika mereka hamil.

“Meski ada kebijakan agar mereka melanjutkan sekolah, seringkali mereka terpaksa putus sekolah -entah karena keluarga atau seringkali sekolahan sendiri merasa bahwa mereka melindungi siswi itu dengan tidak mengeksposnya ke lingkungan sekolah di mana ia mungkin mengalami keterasingan akibat hamil,” jelas Pile.

“Jadi dampaknya ada dua: anak perempuan itu hamil dan kondisi itu membatasi kesempatannya untuk melanjutkan pendidikan.”

Odelia -18 tahun, dan Elfia -19 tahun, menentang kebijakan baru yang diusulkan.
Odelia -18 tahun, dan Elfia -19 tahun, menentang kebijakan baru yang diusulkan.

Supplied: PLAN International

Perilaku seputar pacaran juga mempersulit para gadis untuk mengendalikan seksualitas mereka.

“Di Timor Leste, tidak ada budaya pacaran,” sebutnya.

“Tak ada lingkungan yang aman bagi remaja laki-laki dan perempuan untuk menjalin pertemanan -platonik atau romantis -jadi jika anda berteman seringkali itu harus dianggap romantis, dan ada tekanan untuk membawa hal itu ke arah seksualitas.”

“Para gadis tak punya banyak peluang untuk bernegosiasi. Anda lihat para perempuan dan gadis muda seringkali membicarakan seks dengan pasangan mereka, seperti membenarkan asumsi ‘jika kamu mencintaiku kamu harus bisa menunjukkannya’.”

“Dan seringkali itu bukan paksaan, tapi si perempuan menerimanya karena mereka juga menganggap itulah masa depan mereka. Dari perspektif mereka, mereka ingin dinikahi, punya keluarga. Itu tujuan mereka.”

Kekhawatiran akan kebijakan baru

Rancangan kebijakan itu diusulkan oleh mantan Menteri Kesehatan Maria do Ceu Sarmento, penganut Katolik taat yang tak lagi menjabat di pemerintahan dan tak bisa dihubungi ABC.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melobi pemerintahan Timor Leste yang baru untuk melupakan kebijakan itu. Lembaga antar bangsa itu mengatakan, melarang kontrasepsi untuk perempuan belum menikah bertentangan dengan hak asasi manusia.

Para perempuan juga mengatakan bahwa kebijakan itu harus diubah.

“Kaum muda seharusnya punya akses ke kontrasepsi karena mereka yang paling terdampak dan memiliki masalah terbesar jika mereka hamil,” kata Elfia Sarmento yang berusia 19 tahun.

Odelia da Luz Vargas, 18 tahun, mengatakan, remaja perempuan juga butuh pendidikan seks yang lebih baik.

“Banyak gadis seumuran saya sudah menikah. Alasan utamanya adalah mereka tak memiliki akses informasi,” sebutnya.

“Para pelajar dan kamu muda butuh untuk mendapatkan pemahaman yang baik tentang pendidikan kesehatan reproduksi seksual.”

ABC mencoba meminta tanggapan dari Pemerintahan Timor Leste, tapi belum ada jawaban. Menteri Kesehatan saat ini dan mantan Perdana Menteri, Rui de Araujo, tak bisa dihubungi.

Tapi berdasarkan informasi terakhir, pemerintahan baru yang terpilih bulan Agustus lali tengah meninjau kebijakan itu dan membuat sejumlah perubahan.

Meski demikian, belum diketahui apakah pemerintah yang baru akan mengadopsi atau melepas larangan kontrasepsi bagi perempuan belum menikah.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.