ABC

Sudahkah Indonesia Memiliki Sistem Pelacakan Kontak COVID-19 yang Benar?

Mendeteksi dini penularan serta pelacakan kontak setelah seseorang dinyatakan positif tertular virus corona menjadi bagian penting dalam menangani pandemi COVID-19. Apakah hal tersebut sudah dilakukan dengan benar di Indonesia?

Kamis pekan lalu (06/08), Yohanes Ari, warga Jabodetabek, berinisiatif melakukan tes PCR mandiri COVID-19 di sebuah rumah sakit swasta di Bekasi, Jawa Barat.

Sebenarnya tidak ada gejala yang dirasakan Ari, demikian ia biasa dipanggil, tetapi kantor tempatnya bekerja memilih waspada menyusul maraknya klaster perkantoran di Jabodetabek.

Tiga hari menunggu, hasil tes Ari dikirim melalui email, Sabtu kemarin (08/08) atas permintaannya sendiri.

“Kalau mau hasilnya keluar lebih cepat dari tiga hari sebenarnya bisa, tapi bayarnya lebih mahal. Polanya sama di semua rumah sakit begitu,” kata Yohanes Ari kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

“Untuk bisa menerima via email, saya harus membuat pernyataan pelepasan informasi. Jadi petugas rumah sakit diperbolehkan membuka amplop hasil tes untuk discan dan dikirim. Hasilnya positif.”

SWAB TEST 1
Petugas mengambil sampel cairan dari hidung dan tenggorokan warga saat mengikuti swab tes di RS Pertamina Jaya, Jakarta, Selasa (5/5/2020).

Supplied: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.

‘Bingung’ karena tak ada arahan

Setelah menerima hasil tesnya melalui email, Ari mengaku bingung karena tidak ada instruksi lebih lanjut dari rumah sakit setelah hasil tesnya positif.

Ia sempat menduga akan dihubungi oleh pihak rumah sakit yang akan menjelaskan apa yang harus ia lakukan sebagai pasien positif corona,.

“Artinya kalau saya mau mengabaikan hasil itu, sebenarnya enggak ada juga yang tahu dan saya bisa saja berkeliaran,” tambah karyawan yang berkantor di pinggiran Jakarta Timur ini.

Tapi Ari memilih untuk melapor dan berkoordinasi dengan kantornya, kemudian menjalankan isolasi mandiri di tempat kostnya sampai 14 hari ke depan.

Selain tidak adanya arahan dari pihak rumah sakit, Ari juga mengaku tidak ada mekanisme pelacakan yang dijalaninya.

“Saya tidak bisa mengetahui terinfeksi di mana dan kapan. Pihak rumah sakit tidak bertanya juga soal riwayat perjalanan saya dan dengan siapa saja saya melakukan kontak erat,” kata Ari.

Ari akhirnya berinisiatif untuk menghubungi sendiri orang-orang yang pernah bertinteraksi atau yang bertemu langsung dengannya selama dua minggu terakhir.

SWAB TEST 2
Ilustrasi

Supplied: istock photo

Angka tes harus diikuti rasio lacak isolasi

Apa yang dialami Yohanes Ari, berbeda dari yang disampaikan oleh wakil ketua Muhammadiyah COVID-19 Command Center, dr Corona Rintawan dalam seminar yang digelar Kawal COVID-19 pekan lalu.

Menurut dr Corona, pada saat kasus terdiagnosa, secara prosedur akan ditanyakan orang tersebut bertemu siapa, pergi ke mana saja, dan apakah kontak dengan orang yang positif corona.

“Tapi cukup banyak yang bilang tidak ingat, sehingga tracing sulit dilakukan,” jelasnya.

RONALD BESSIE
Koordinator data Kawal COVID-19, Ronald Bessie, menggarisbawahi pentingnya tracing atau pelacakan dalam penanganan pandemi corona.

Supplied: Ronald Bessie

Menurut koordinator data Kawal COVID-19, Ronald Bessie, pengalaman yang berbeda ini bisa saja terjadi terutama antara rumah sakit atau laboratorium swasta dan rumah sakit atau puskesmas milik pemerintah.

“Problemnya, terutama di Jabodetabek, adalah laboratorium swasta selama ini tidak menjadi bagian dari chain of command dari Dinas Kesehatan atau Kemenkes,” ujar Ronald kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

“Jadi banyak rumah sakit swasta yang sudah bisa melakukan tes sendiri belum tentu lapor, sehingga penanganan tracing ini bisa jadi berbeda antara yang [kasus] yang ditemukan oleh [instansi] pemerintah dan oleh pihak swasta.”

Padahal, rumah sakit swasta yang memberi pelayanan PCR mandiri, dengan hasil positif, wajib melaporkan ke Dinas Kesehatan tempat tinggal pasien untuk selanjutnya Penyelidikan Epidemiologis.

Kalaupun rumah sakit swasta sudah melapor, Ronald menambahkan, bisa saja langkah ‘tracing’ juga terkendala bila Dinas Kesehatan tidak menindaklanjutinya.

Mengapa perlu adanya pelacakan yang benar?

Sebagai upaya mengendalikan pandemi COVID-19 dan menekan angka kematian di Indonesia, harus dilacak setidaknya 30 kontak erat per kasus positif, menurut Ronald.

“Mengapa angkanya 30? Bukan 15 atau 60, misalnya? Ini sesuai dengan korelasi yang kami lihat dengan angka kematian di negara-negara yang sudah lebih dulu berhasil,” jelasnya.

Jadi, menaikkan RLI akan memperlambat angka kematian dan sebaliknya, jika tidak menaikkan RLI, kematian akan bertambah banyak.

Di Indonesia, menurut peta rasio-lacak isolasi Kawal COVID-19, provinsi yang sudah memenuhi kriteria ini adalah Kalimantan Barat, Kepulauan Riau dan Riau. 

NAKES 2
Seorang tenaga kesehatan menggunakan alat pelindung diri lengkap saat jam pertukaran shift di rumah sakit rujukan COVID-19 RSUD Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (13/07/2020).

Supplied: ANTARA FOTO/Fauzan

Sementara daerah-daerah yang memiliki rasio lacak-isolasi rendah menjadi penyumbang besar kasus-kasus COVID-19 di Indonesia, seperti Jawa Timur, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan.

“Jadi, kami menegaskan, kalau memang belum memiliki kemampuan testing, setidaknya lacak dan karantinalah 30 orang untuk setiap kasus positif. Ini adalah angka yang bisa menjadi matriks sampai ke puskemas,” tutur Ronald.

Untuk itu, menurut Ronald, perlu ada pemahaman bersama dan penyesuaian kebijakan, terutama soal kompensasi, bagi mereka yang harus diisolasi dalam penerapan pelacakan sesuai RLI.

Sampai tanggal 9 Agustus 2020, total kasus COVID-19 di Indonesia telah mencapai 126.299, dengan jumlah kematian pasien terkonfirmasi positif COVID-19 tercatat sebanyak 6.254 orang.

Sementara jumlah spesimen rata-rata mingguan dan orang yang dites dalam tujuh hari terakhir masing-masing adalah 22.314 dan 11.669.

NAKES 1
Sejumlah perawat beristirahat dengan mengenakan alat pelindung diri di Instalasi Gawat Darurat khusus penanganan COVID-19 di RSUD Arifin Achmad, Kota Pekanbaru, Riau, Jumat (05/06/2020).

Supplied: ANTARA FOTO/FB Anggoro.

Angka kematian tenaga kesehatan terus naik

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada ‘situation report’ Indonesia pekan lalu mencatat, setidaknya 70 dokter dan 50 perawat telah meninggal akibat COVID-19 di Indonesia dan ratusan lainnya tertular penyakit tersebut saat memerangi pandemi.

Sementara Perhimpunan Perawat Nasional (PPNI) mengatakan setidaknya 300 dari 1,3 juta perawat sudah tertular virus corona, namun memperingatkan angka sebenarnya bisa saja lebih tinggi.

Peringatan PPNI ini bukannya tanpa alasan. Di Sumatera Utara saja, Senin kemarin (10/08), Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Sumatera Utara, Whiko Irwan, mengumumkan sebanyak 348 orang tenaga medis terpapar COVID-19). 

40 orang diantaranya merupakan dokter spesialis, 13 orang dokter peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) dan 29 orang dokter umum.

Untuk mengatasi kasus tenaga medis yang terpapar COVID-19, Ketua Satgas COVID-19 Doni Monardo meminta kepala daerah agar menyusun standar operasional prosedur (SOP) bagi tenaga medis.