ABC

Puji Rahayu Bantu Obati Rasa Kangen Tempe Lewat Kursus Gratis di Sydney

Melihat banyaknya minat di tengah masyarakat Indonesia di Sydney, Australia, mahasiswi PhD di Sydney University bernama Puji Rahayu membuka kursus pembuatan tempe gratis di kota tersebut.

  • Kangen tempe Indonesia, Puji dan suami belajar membuat dari Youtube
  • Ada tantangan sendiri membuat tempe di Australia yang cuacanya ekstrim
  • Partisipan kursus menolak jual tempe karena kondisi tempe cepat berubah

Perempuan asal Yogyakarta ini mengatakan ide membuat tempe di Sydney pertama kali muncul karena ia dan suaminya ingin makan tempe yang rasanya seperti yang ada di Indonesia.

“Awalnya kami ingin makan tempe yang rasanya seperti yang ada di Indonesia, yang sulit didapatkan [di Sydney],” kata Puji.

“Setelah berkali-kali mencoba dengan belajar dari beberapa video Youtube, kami berhasil membuat tempe yang rasanya mirip sekali dengan tempe di Indonesia.”

“Karena teman-teman banyak yang suka, kemudian kami berpikir kenapa tidak diajari membuat tempe saja. Setelah disampaikan, ternyata mereka bersedia,” kata Puji lagi kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

Meski sadar bisa jadi sumber penghasilan, Puji menolak untuk memungut biaya kepada para murid yang dalam satu kali kursus jumlahnya bisa mencapai 10-15 orang itu.

“Oh, bisa [jadi sumber penghasilan] juga sih. Banyak juga yang mau bayar. Mereka bersedia membayar AUD$10-$20 (Rp 95 ribu- Rp 90 ribu) per pertemuan untuk satu orang.”

Namun, perempuan berumur 44 tahun itu mengatakan bahwa kursus gratis tersebut merupakan ungkapan rasa terima kasihnya kepada pemerintah Indonesia atas beasiswa yang dianugerahkan kepadanya sebanyak dua kali.

“Ungkapan terima kasih ini sebenarnya karena saya sudah memakai uang pajak untuk sekolah dalam bentuk beasiswa DIKTI untuk S2 dan LPDP untuk S3 saya,” kata Puji.

“Bahwa beasiswa saya dapat karena merit-based [atau berdasarkan kinerja kerja] tapi tetap saya perlu berterima kasih kepada masyarakat Indonesia, salah satunya yang ada di Sydney.”

Menurutnya, ilmu pembuatan tempe adalah tanda terima kasih yang cocok melihat banyaknya warga Indonesia yang selalu kangen makan tempe khususnya di Sydney.

“Selain harganya yang semakin mahal, rasanya pun berbeda dengan tempe yang di Indonesia.”

Membuat tempe di Australia

Puji Rahayu di tengah mengajar kursus
Puji Rahayu mengatakan kursus pembuatan tempe gratis yang ia adakan merupakan bentuk ucapan terima kasih kepada pemerintah Indonesia.

Foto: supplied

Perbedaan Australia dan Indonesia khususnya dalam aspek suhu dan kelembapan mendorong Puji untuk berpikir kreatif demi menghasilkan tempe berkualitas baik.

Beberapa ide tersebut meliputi penggunaan kain dan selimut listrik sebagai penutup dan takaran ragi dalam adonan tempe yang diperbanyak melebihi takaran pada umumnya bila membuat di Indonesia.

“Perbedaan paling utama adalah suhu dan kelembapan. Kami antisipasi dengan memanfaatkan kain-kain untuk menutup pada saat dingin,” kata Puji.

“Bahkan kalau masih terlalu dingin, kami memakai selimut listrik yang dinyalakan sekitar sejam setiap malamnya.”

Ketersediaan ragi di daerah tempat tinggal juga sempat menjadi kendala bagi ibu yang tinggal dengan dua anak tersebut.

“Kendala lainnya adalah ragi. Awal-awal kami [Puji dan suami] membuat tempe, ragi belum tersedia di toko Indonesia di daerah kami tinggal.”

“Alhamdulillah sekarang ragi sudah tersedia di beberapa toko Indonesia di Sydney.”

Karena sistem kursusnya adalah praktik, Puji meminta para murid untuk membawa sendiri 500 gram kedelai yang sudah direndam di rumah ke workshop di kemudian harinya.

“Koordinator kelompok akan memberikan pengingat saat harus mulai merendam,” kata Puji.

“Tempe mentah juga mereka bawa pulang supaya sekalian belajar mengeram [setelah workshop]. Ada yang jadi, ada juga yang tidak.”

“Tempe di Australia kurang enak”

Tempe Buatan Ira
Potret tempe yang dibuat oleh Ira Sunarti setelah mengikuti kursus pembuatan tempe Puji.

Foto: supplied

Setelah satu kali kursus dari Puji, Ira Sunarti mengatakan harus praktik membuat tempe sendiri di rumah sampai berkali-kali hingga akhirnya mendapatkan tempe yang sempurna.

“Pertama-tama sulit [membuat tempe sendiri], karena masalah utamanya adalah temperatur,” kata Ira yang saat ini tinggal bersama anaknya di Sydney.

“Waktu itu saya kursus waktu musim semi, [udara] masih dingin sehingga tidak jadi. Tapi waktu saya coba di musim panas, terlalu panas jadi tidak jadi juga.”

Perempuan yang tidak pernah membuat tempe sewaktu di Indonesia itu mengatakan ikut kursus karena tidak suka dengan tempe yang dijual di Sydney.

“Anak saya suka tempe, tapi tempe di sini [Australia] kurang enak, tidak kering. Jadi jarang sekali memasak tempe.”

Ia merasa beruntung karena menerima pengajaran dari Puji dan suami dalam kursus yang informasinya ia temukan di grup komunitas Indonesia di Facebook itu.

“Bu Puji dan suami menerangkan [cara membuat tempe] nya jelas, mereka juga memberitahu harus beli ragi di mana.”

Meski sudah pandai, Ira tidak tertarik untuk menjual tempe karena adanya resiko kerusakan yang tinggi pada tempe terutama ketika dalam proses distribusi.

“Kendalanya adalah kalau misalnya sedang mengantar tempe untuk teman yang rumahnya agak jauh dan udaranya panas, tempe itu [kondisinya] cepat berubah,” kata dia.

“Di sini kan kalau panas, bisa panas sekali. Kalau kepanasan dalam mobil kondisi tempe juga bisa kepanasan dan berubah. Jadi perawatannya memang agak sulit.”

“Jadi tidak kepikiran untuk produksi. Karena pernah ketika saya memberi ke beberapa teman [secara gratis] ada yang komplain.” kata Ira lagi.

Mimpi bawa peneliti

Meski tidak mendapat penghasilan dari pengadaan kursus ini, Puji yang selain kuliah juga bekerja sebagai tutor sebanyak dua kali seminggu tidak merasakan adanya penyesalan.

“Meskipun kondisi keuangan kami pas-pasan, kami tetap yakin rezeki Insya Allah akan datang dari arah yang berbeda,” kata Puji yang suaminya adalah dosen di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

“Alhamdulillah setiap suami ke Sydney untuk memberikan workshop, ada saja orang yang minta dipijat dia sehingga mendapat imbalan yang kalau dikumpulkan bisa membantu biaya tiket [pesawat dia].”

Setelah menyelesaikan pendidikan S3nya Puji mengatakan akan pulang ke Indonesia untuk kembali mengajar di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UII Yogyakarta.

Walau demikian, ia masih punya mimpi untuk membawa peneliti dari Indonesia yang dapat meneliti lebih jauh kendala membuat tempe di Australia.

“Meskipun [akan kembali ke Indonesia], saya masih punya angan-angan membawa peneliti dari UII untuk memberikan solusi yang tepat tentang kendala suhu dalam pembuatan tempe ini,” kata dia.

“Dengan demikian persentasi keberhasilan membuat tempe akan lebih besar terutama di musim dingin.” kata Puji.

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia