ABC

Penolakan Pemindahan Hukuman Cambuk Ke Lapas Aceh

Penolakan terhadap pemindahan pelaksanaan hukuman cambuk dari ruang publik ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) terus bergulir. Kalangan ormas sipil hingga DPRA di Provinsi Nangroe Aceh Daarussalam (NAD) tetap mendesak aturan baru ini dibatalkan.

Ancaman itu antara lain disampaikan oleh Front Pembela Islam (FPI) cabang Aceh. Pada Jum’at (20/4/2018) kemarin ratusan massa FPI dan mahasiswa menggeruduk Kantor Gubernur Aceh menuntut aturan baru itu dibatalkan.

Ketua Front Pembela Islam (FPI) cabang Aceh, Muslim at-Tahiry mengatakan pelaksanaan hukuman cambuk di dalam Lapas menyalahi ketentuan Qanun dan tidak sesuai dengan kaidah Islam.

“Kalau dibuat di dalam lapas yang menyaksikan itu kan dari kalangan pelaku kriminal, gimana pelaku akan jera? di lapas itu kan ada pemerkosa, pelaku sodomi yang mungkin kasusnya lebih parah dari yang dilakukan orang yang dicambuk.”

Pemindahan pelaksanaan hukuman cambuk ini merupakan bagian dari revisi pelaksanaan hukum pidana Islam bernama Qanun Jinayat yang dituangkan dalam Peraturan Gubernur (Pergun) Aceh Nomor 5 Tahun 2018.

Aturan ini merevisi teknis pencambukan pelanggar Perda Syariat Islam. Lokasi pelaksanaan hukuman itu ditetapkan harus digelar di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan tidak dihadiri anak-anak.

Ketua Komisi 1 DPRA, Azhari Cage
Ketua Komisi 1 DPRA, Azhari Cage menilai pemindahan lokasi hukuman cambuk ke Lapas batasi akses warga dan menghalangi tujuan hukuman cambuk untuk menciptakan efek jera.

Dialeksis.com

Tidak hanya kalangan masyarakat sipil, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) juga menolak aturan baru itu.

DPRA telah resmi mengadukan aturan baru ini ke Mahkamah Agung. Seperti disampaikan Ketua Komisi 1 DPRA, Azhari Cage.

Lebih lanjut Azhari Cage mengatakan, DPRA menilai pemindahan pelaksanaan hukuman cambuk ke Lapas akan membatasi akses masyarakat yang menjadi bagian penting dari tujuan Qanun Jinayat untuk menciptakan efek jera.

“Kalau dipindah ke lapas, akses warga untuk menyaksikan pasti terbatas dan warga Aceh sangat alergi dengan lapas.”

“Padahal dalam Qanun Jinayat sudah diatur rinci, hukuman cambuk harus dilakukan didepan umum, dipanggung dan harus berjarak 12 meter dari warga.” tegasnya.

Hukuman cambuk di Aceh
Qanun Jinayat mulai diterapkan di Provinsi Nangroe Aceh Daarussalam (NAD) sejak 2015. Sejak itu sedikitnya 400 orang warga sudah dikenakan hukuman cambuk.

AFP

Ia juga menambahkan DPRA juga mempersoalkan alasan pemerintah Provinsi Aceh yang mengkaitkan antara hukuman cambuk dengan investasi.

“Sejak Qanun Jinayat berlaku, tidak ada masyarakat atau investor yang protes. Kita sepakat investasi di NAD memang harus ditingkatkan tapi itu terkait dukungan pemerintah dan masyarakat, ketersediaan listrik. Tidak ada kaitannya dengan hukuman cambuk.”

Aturan pemindahan hukuman cambuk ini juga tidak diindahkan oleh sejumlah pemerintah kota di Aceh.

Sepekan setelah aturan ini diterbitkan, tepatnya pada Jum’at (20/4/2018), otoritas kota Banda Aceh tetap melakukan eksekusi pencambukan di depan umum yakni di halaman Masjid Jami, Kota Banda Aceh, sebelum pelaksanaan salat Jumat.

Delapan orang warga yang terdiri dari lima perempuan dan tiga laki-laki divonis sebagai pekerja seks online.

Mereka masing-masing mendapatkan cambuk sebanyak 11 sampai 22 kali.

Eksekusi ini disaksikan setidaknya 1000 orang, termasuk anak-anak, di atas mimbar yang ditandai spanduk besar yang berisi informasi tentang pencambukkan .

Jangan ditonton anak-anak

Gubernur NAD, Irwandi Yusuf
Gubernur NAD, Irwandi Yusuf menandatangani aturan pemindahan hukuman cambuk ke dalam lapas (12/4/2018) disaksikan Menteri Hukum Dan HAM, Yasonna Laoly (kiri).

Hidayatullah/BBC

Pergub No.5 tahun 2018 yang merevisi lokasi pelaksanaan hukuman cambuk ini ditandatangani pada 12 April lalu di Banda Aceh oleh Gubernur Irwandi Yusuf.

Dalam keterangan persnya usai penandatanganan aturan itu ia mengatakan Pergub ini bertujuan untuk menertibkan pelaksanaan Qanun terutama agar tidak disaksikan anak-anak.

Lapas dipilih karena dinilai paling aman dan jauh dari jangkauan anak-anak.

Selain itu, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf juga mengatakan pelaksanaan hukuman cambuk kerap memicu sorotan internasional yang kerap menyatakan pelaksanaan qanun Jinayat ini melanggar HAM.

Untuk meredam protes pihak luar inilah revisi ini dinilai perlu dilakukan.

“Agar investor tidak fobia untuk menanam saham di Aceh. Ini juga dapat membantu peningkatan dan lajur ekonomi di sini,” kata Irwandi Yusuf ketika itu.

Sementara itu menanggapi pro dan kontra ini, pengamat hukum dari Universitas Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh, Fuad Mardhatillan menilai Pergub No.5 tahun 2018 tidak melanggar Qanun Jinayat.

“Qanunnya memang mensyaratkan ditempat umum, tapi kalau kemudian dibuat aturan dilakukan ditempat yang lebih tertutup seperti di Lapas menurut saya tidak masalah tidak membatasi akses publik seperti dikhawatirkan masyarakat yang kontra.”

“Kan alasannya agar tidak dilihat anak-anak, saya rasa itu memang tidak baik secara psikologis.” Katanya.

Lebih dari 400 orang dicambuk

Hukuman cambuk di Aceh
Qanun Jinayat mulai diterapkan di Provinsi Nangroe Aceh Daarussalam (NAD) sejak 2015. Sejak itu sedikitnya 400 orang warga sudah dikenakan hukuman cambuk.

AFP

Qanun Jinayah Aceh mulai berlaku sejak 2015 lalu yang isinya mengatur antara lain tentang khalwat (mesum), khamr (alkohol) dan maisr (perjudian). Belakangan aturan ini juga mencakup 10 tindakan pidana, termasuk pelecehan seksual, pemerkosaan, gay, serta lesbian.

Hukuman paling ringan untuk pelaku mesum, sedangkan ancaman hukuman terberat ialah terhadap pemerkosa anak.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat sejak 2015 lalu sedikitnya lebih dari 400 orang telah dikenakan pidana cambuk.

Bahkan sepanjang tahun 2017 tercatat ada 188 orang yang telah dicambuk di sembilan wilayah Aceh.

Karena itulah menandai tiga tahun pelaksanaan Qanun Jinayat di NAD, akhir tahun lalu Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat mendesak pemerintah Indonesia untuk meninjau ulang pelaksanaan perda Syariah di Provinsi NAD karena menilai sebagian isi dan implementasinya dianggap bertentangan dengan Konstitusi dan merugikan kaum perempuan.