ABC

Pendekatan Agama Dibutuhkan Tangani KDRT di Australia

Para ilmuwan agama dan sejumlah lembaga masyarakat di Australia telah meminta agar iman memainkan peran lebih besar dalam menghadapi masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Mereka mengatakan bahwa agama, kadang-kadang, secara tidak adil dianggap sebagai masalah mendasar dari KDRT.

Pemimpin multi-agama dari seluruh Australia berkumpul di Adelaide mendiskusikan rencana tindakan dengan rekomendasi berbasis iman untuk mendukung keluarga yang mengalami kekerasan di rumah.

Penyedia layanan dari komunitas Kristen, Yahudi, Muslim, Hindu dan Sikh akan menghadiri simposium penuh hari di Universitas South Australia (Australia Selatan) dan berharap bisa menghasilkan sebuah publikasi untuk memengaruhi pemerintah dan sejumlah lembaga untuk mempertimbangkan pendekatan berbasis iman terhadap masalah tersebut.

Pakar KDRT di Pusat Pemikiran dan Pendidikan Islam, Dr Nada Ibrahim, mengatakan bahwa pendekatan untuk menangani KDRT telah mengabaikan iman.

“Umumnya orang cenderung menjauh dari agama untuk urusan politik,” sebutnya.

"Tapi kenapa kita tak bisa menjadikannya tempat yang aman dan sehat untuk membicarakannya?."

Dr Ibrahim mengatakan bahwa diskusi dengan para pembuat kebijakan dan pemerintah sering mengambil pendekatan top-down (dari atas ke bawah) yang mengabaikan kebutuhan dan pengalaman para pemimpin agama.

“Penanganannya sejauh ini asal-asalan, ‘Ya, Anda datang dan kami akan memberi tahu Anda apa yang harus dilakukan’. Ini bukan seperti, ‘Beritahu kami apa yang Anda, sebagai masyarakat, butuhkan’,” ujarnya.

Pada saat yang sama, Dr Ibrahim mengatakan, hanya ada sedikit kebijakan konkret yang membahas iman sehubungan dengan masalah KDRT, walaupun agama memainkan peran utama dalam kehidupan banyak orang.

“Bagi korban atau pelaku, iman merupakan bagian penting dalam kehidupan mereka,” kata Dr Ibrahim.

“Jika pemimpin berbasis agama tidak memiliki ruang di mana mereka diakui sebagai bagian penting dari solusi, itu bukan penyelesaian holistik.”

Perwakilan komunitas Sikh, Jatinder Kaur, mengatakan 20 persen panggilan telepon hotline ke agen konsultasi budayanya adalah para perempuan yang mencari pertolongan untuk hubungan mereka yang penuh kekerasan.

Tapi ia, seperti komunitas agama lainnya di simposium tersebut, mengatakan, dirinya percaya bahwa nilai-nilai patriarki harus ditantang dari perspektif berbasis agama.

"Banyak nilai tradisional ada di sekitar pria yang menjadi figur utama dan kita harus menggeser pemikiran itu," kata Dr Ibrahim.

“Perempuan perlu memiliki semacam narasi hanya karena budayanya seperti itu, ini bertentangan dengan nilai agama.”

Korban terjebak karena interpretasi yang tidak tepat

Dr Ibrahim dan pakar lainnya melobi untuk mendapatkan sertifikat kepatuhan yang disyaratkan terhadap pemuka agama, sehingga mereka harus menjalani pelatihan agar memenuhi syarat untuk mendukung korban KDRT.

Ia mengatakan, tanpa itu, para pemimpin komunitas tidak akan menerima pelatihan yang memadai untuk mendukung korban.

Dr Ibrahim mengatakan bahwa penelitiannya tentang KDRT telah menemukan bahwa keterlibatan polisi, terutama di kalangan masyarakat Muslim, tak selalu menghasilkan solusi terbaik.

“Sebagai petugas di garis depan, jika mereka tak menyadari kebutuhan religius atau budaya dari masyarakat, itu tidak akan berhasil,” sebutnya.

"Dari dua hari pelatihan yang mungkin mereka lakukan dalam bidang KDRT, bahkan hanya ada sedikit waktu yang didedikasikan untuk masalah budaya dan keyakinan."

Ia mengatakan bahwa para korban bisa menerima sedikit dukungan dan kembali ke pengalaman berulang pelecehan yang coba dibenarkan oleh para pelaku, berdasarkan praktik agama yang salah.

Manajer dukungan keluarga dari lembaga Jewish Care Victoria, Marilyn Kraner, mengatakan bahwa solusi perlu ditanamkan dalam tradisi budaya dan agama.

“Agak naif untuk memikirkan strategi menangani dan memengaruhi apa yang dibutuhkan isu kekerasan keluarga, [seperti] perubahan sikap dan perilaku, [akan terjadi] dengan tidak melibatkan pemimpin agama,” jelasnya.

Kraner mengatakan, meski ada dukungan yang diberikan kepada organisasi multikultural yang lebih luas dan ada pelatihan kompetensi budaya, setiap komunitas memiliki nuansa budaya tersendiri.

Ia menjelaskan bahwa sejumlah program perlu disusun untuk masing-masing komunitas, dan berasal dari pemuka agama mereka sendiri.

“Mengetahui konsep dalam agama bisa membantu Anda memiliki koneksi yang terlihat lebih menarik bagi seseorang untuk terlibat daripada seseorang yang tak mengerti semua itu,” kata Kraner.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.