ABC

‘Orang Indonesia Kok China?’: Tetap Bangga Jadi Orang Indonesia di Australia

Banyak warga Indonesia keturunan China di Australia tetap merasa bagian dari Indonesia, meski kadang mereka dipertanyakan identitasnya sebagai orang Indonesia karena tampilan fisik mereka.

Seperti yang dialami oleh Virgondo Kodhiat, yang pertama kali menginjakkan kakinya di Australia tahun 1998, setelah situasi di Indonesia yang tidak stabil menyusul pergantian kekuasaan dari Orde Baru.

Kerusuhan yang marak terjadi di Indonesia dengan menyasar etnis China saat itu membuat orangtua Virgondo menerbangkan anaknya ke Australia untuk sekolah.

Ia mengaku sebagai keturunan China di Australia, Virgondo justru merasa lebih aman dan tidak menjadi warga kelas dua, seperti yang dialami keluarganya saat masih di Indonesia.

“Saya merasa minoritas di sini lebih dihargai, karena berkontribusi bagi kekayaan budaya Australia,” ujarnya kepada Hellena Souisa dari ABC News di Melbourne.

Virgondo-edit.jpg
Virgondo dan keluarganya yang maasih bangga dan mengapresiasi perubahan di Indonesia setelah Orde Baru, terutama di era Gus Dur.

Koleksi pribadi

Namun setiap kali menyebut dirinya berasal dari Indonesia, ia kerap mendapat komentar, seperti “kamu orang Indonesia? Selama ini saya pikir orang Indonesia berkulit gelap, kamu malah terlihat seperti orang China”.

Bern Na juga memiliki alasan yang sama untuk pindah ke Australia demi mendapat rasa aman setelah kerusuhan Mei 1998.

Meski masih memiliki nama China dan sudah menetap 13 tahun lamanya di Australia, ia mengaku lebih suka menyebut dirinya “Indo-Australian”.

Bern Na.JPG
Bern Na lebih merasa dirinya Indo-Australian dan berharap komunitas di Indonesia di Australia bisa lebih menyatu.

Menurut Bern, Indonesia dan Australia sekarang menawarkan peluang yang hampir sama dalam hal pekerjaan dan karir, tapi ia sudah merasa betah di negara barunya.

Kehadiran warga Indonesia keturunan China di Australia tidak bisa terlepas dari sejarah panjang etnis Tionghoa di Indonesia, termasuk mendapat perlakuan yang berbeda.

Bahkan baru di era mantan presiden Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, perayaan Imlek diperbolehkan secara terang-terangan, bahkan menjadi hari libur nasional.

‘Ingat, kita orang Indonesia’

Situasi politik di Indonesia juga menjadi alasan Siauw Tiong Djin untuk memutuskan pindah ke Australia 47 tahun lalu.

Ayah Djin, Siauw Giok Tjhan, adalah aktivis yang pernah menjadi Menteri Negara di era presiden Sukarno.

Setelah Ayahnya dipenjara oleh Soeharto, Djin dibawa oleh pamannya ke Australia agar bisa meneruskan sekolah dan hidup dengan tenang.

Siauw Djin.JPG
Mempertahankan nama Tionghoa sebagai bagian dari identitas, Siauw Djin berjiwa Indonesia.

Terlahir sebagai etnis China, Djin masih merasa memiliki darah Indonesia yang kental, termasuk di dalam hatinya.

Rupanya ini tak lepas dari nasihat sang ayah.

Namun bukan berarti kecintaan dan koneksinya yang kuat dengan Indonesia melupakan Djin dengan identitasnya sebagai keturunan Tionghoa.

“Kenyataannya, saya terlahir sebagai keturunan Tionghoa yang minoritas. Tapi saya merasa tidak perlu mengganti nama saya, atau mengikuti agama mayoritas.”

Sebaliknya, Virgondo justru memutuskan meninggalkan semua identitas dan budaya China, karena “ada trauma pada keluarganya.”

“Ayah saya [saat itu] ingin mengubur identitas kami supaya tidak terlalu mencolok dan mengundang bahaya. Sebagai minoritas, ya harus berbaur saja.”

Perbedaan kiblat dan selera budaya

Klenteng Boen Tek Bio
Klenteng Boen Tek Bio adalah salah satu klenteng yang berada di Tangerang, menunjukkan sejarah Indonesia yang tak lepas dari etnis Tionghoa.

Flickr: Johanes Randy Prakoso, CC

Professor Ariel Heryanto dari Monash University, Melbourne, Australia mengatakan, tidak ada identitas Tionghoa Indonesia di luar negeri yang benar-benar berbeda.

Meski dalam penelitiannya Professor Ariel mengelompokkan identitas etnis Tionghoa Indonesia Jawa ke dalam lima kelompok, menurutnya masing-masing kelompok tidak memiliki batas-batas yang jelas.

Identitas Tionghoa Indonesia di luar negeri juga mencakup ragam lima kelompok tadi, walau dengan kombinasi yang bervariasi.

“Yang membedakan mereka adalah kiblat dan selera budaya. Perbedaan ini tidak mutlak atau permanen. Banyak tumpang-tindih di wilayah perbatasan yang membedakan mereka,” jelasnya kepada ABC.

“Setiap kelompok bisa mempunyai lebih dari satu corak budaya, tetapi masing-masing punya satu corak yang paling dominan,” tambahnya.

Tetapi dengan mengutip ilmuwan Ben Anderson dengan teorinya ‘Imagined Community’, Professor Ariel juga mengingatkan semua kelompok masyarakat pada dasarnya adalah fiksi, hanya ada dalam angan-angan anggota kelompok itu sendiri, dan kelompok lain yang peduli.

“Ini fiksi atau angan-angan yang powerful [kuat]. Ia bisa menggerakkan orang. Gerakan dan hasil tingkah-laku mereka itu konkret,” jelasnya.

“Ada sosok fisiknya, bisa difoto atau direkam. Jadi gagasan identitas Tionghoa yang fiksi itu punya sosok atau wujud fakta empirik. Tapi fakta yang empirik itu bukan identitas sosial.”

Ikuti berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.