ABC

“Merasa Diperlakukan Seperti Binatang”, Pendatang di Wamena Ini Terpaksa Bertahan

Sejak pekan lalu kondisi di Wamena, Papua, berangsur membaik. Namun ingatan warga setempat tentang kerusuhan yang menelan puluhan korban jiwa terus membekas. Ribuan warga pendatang juga telah meninggalkan Wamena. Mereka yang masih bertahan sebenarnya ingin hengkang meski tak punya pilihan.

Sudah 10 tahun belakangan, Dwijo Sayoto (Dwi) tinggal dan mencari nafkah di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Pria yang berprofesi sebagai sopir mobil sewaan ini awalnya datang ke Papua untuk mencari peruntungan.

“Sekitar umur 20an saya datang ke Wamena seorang diri. Saya melamar di hotel terus pindah ke Lanny Jaya.”

“Di sana ada kerusuhan terus saya lari lagi ke Wamena,” kisahnya kepada ABC.

Saat kerusuhan pecah di Wamena (23/9/2019), Dwi tengah berada di rumahnya di daerah Pike.

“Waktu itu saya lagi di dalam rumah lagi masak. Setelah itu saya buka jendela kok ada banyak asap?.”

Dwi merasa ketakutan. Di depan rumahnya sendiri, kata pria asal Lumajang -Jawa Timur -ini, ternyata sudah ada massa yang membakar mobil. Tapi ia akhirnya masuk ke rumah meski kebingungan.

“Saya mau melompat dari lantai 2, saya takut, ‘wah ini kalau saya ke depan mati, mau loncat juga mati, akhirnya saya memutuskan ke depan.”

“Setelah itu saya ke depan, dan di antara orang yang bakar-bakar ada teman teriak-teriak. Di situ saya ditolong teman, tapi juga sempat kena parang.”

Oleh temannya yang warga asli Wamena itu, Dwi diungsikan ke sebuah gereja. Di sana ia bergabung dengan sekitar 80 warga pendatang lainnya.

Dwi dan Ramli, warga pendatang di Wamena, Papua.
Dwi dan Ramli, warga pendatang di Wamena, Papua.

Supplied

Dwi sempat mendiami gereja mulai pukul 10 pagi hingga 6 malam, setelah itu ia dipindahkan ke Polres Jayawijaya.

Awalnya, ia tak tahu puluhan pendatang di gereja, termasuk dirinya, dijadikan sandera.

“Waktu disandera kan kita tidak tahu kalau disandera, akhirnya ada orang yang bilang ‘ini nanti bapak ibu semuanya mau ditukar di Polres dengan yang tertangkap di sana ada 6 orang.”

“Tetapi kalau di sana tidak dikasih lepas, otomatis di sini nanti sekitar jam 6 lebih, selesai sudah semuanya’,” ceritanya.

Pertukaran itu akhirnya terjadi, namun rumah Dwi sudah dibakar habis.

Kepada ABC, ia mengaku tak tahu lagi harus tinggal di mana. Harta yang ia miliki juga lenyap bersama api. Ia bertahan dengan satu pasang baju dan telepon genggam.

Sejak rumahnya terbakar dan mengungsi di Polres, Dwi juga berpindah-pindah dari tidur di markas polisi itu ke rumah temannya.

Meski aktivitas di Wamena berangsur pulih, pekerjaannya belum kembali normal.

“Bandara masih sepi, yang datang sehari masih lima orang,” tutur pria yang telah memulangkan istri dan anaknya setahun lalu ini.

Ia ingin kembali ke Jawa, namun tak kuasa hengkang.

“Saya mau pulang, keluarga saya di Jawa menangis terus. Tapi saya mau cari uang dulu buat uang saku, itu saja.”

“Saya cuma bisa berdoa ada yang mau tolong saya sampai saya bisa pulang. Saya enggak kuat, saya baru kali ini ngalami seperti ini. Dulu tidak pernah seperti ini. Saya sudah tidak mau tinggal di sini.”

Gimana ya…mereka memperlakukan kita seperti binatang, saya masih bersyukur masih hidup, nyawa saya bisa tertolong.”

“Kalau ingat teman-teman yang meninggal dibakar di dalam mobil hidup-hidup, di dalam ruko, kalau ingat itu saya ingin menangis,” ujarnya.

Ingin kembali ke Nusa Tenggara Timur

Sama seperti Dwi, Yulianus Ramli juga ingin kembali ke kampung halamannya di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Selama sepekan, Ramli -yang juga berprofesi sebagai sopir mobil sewaan seperti Dwi -sempat mengungsi ke Polres bersama istri dan anak-anaknya.

Ia terpaksa pergi dari rumah lantaran tempat tinggalnya di wilayah Hom-Hom berdekatan dengan lokasi kerusuhan.

“Sebelum mengungsi kami sudah dengar semuah ruko sudah dibakar. makanya kami mengungsi,” tuturnya kepada ABC.

Di tengah rasa takut, ia hanya terpikir bagaimana caranya mengungsi ke tempat yang lebih aman dan menyelamatkan keluarganya.

Berbeda dengan Dwi, rumah Ramli masih utuh. Ia-pun, kini, telah kembali ke rumah.

“Saya pikir karena situasinya sudah mulai aman, dan karena saya masih punya bayi,” sebutnya.

Meski merasa kalut bila mengingat kerusuhan, Ramli mengatakan ia masih percaya jika pendatang seperti dirinya masih diterima di Wamena.

“Dengan teman-teman yang orang asli, kami masih saling sapa-menyapa bila ketemu di jalan.”

“Untuk saat sekarang saya masih percaya diterima. Tidak tahu nanti.”

Namun keinginan terbesarnya adalah kembali pulang ke Flores, berkumpul dengan keluarga besar. Apalagi, setelah kerusuhan pecah, Ramli mengaku orang tuanya terus-menerus khawatir.

“Mereka menangis, terutama ibu saya, suruh saya pulang.”

Terkendala alasan ekonomi, Ramil terpaksa bertahan hingga saat ini.

“Sebenarnya saya sudah mau pulang saja. Wamena-Flores ini bukannya dekat, saya butuh modal banyak untuk pulang dengan keluarga,” tuturnya.

Aktivitas berangsur pulih

Sepekan terakhir, kondisi di Wamena berangsur pulih. Bahkan awal pekan ini, listrik mulai berfungsi normal di sebagian besar wilayah Wamena.

“Untuk aktivitas sekolah, kantor, pasar-pasar sudah mulai buka.”

“Demikia pula untuk bangunan Pemerintah yang rusak, sudah mulai dibetulkan. Seperti jaringan (listrik) PLN, dan lain-lain,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo kepada ABC melalui pesan teks dari Jayapura (8/10/2019).

Welis Doga, warga asli Wamena, mengatakan kepada ABC, toko-toko warga mulai berjualan seperti biasa.

“Kebanyakan masih takut jadi sekolah-pun masih satu atau dua jam saja.”

Ketika ditanya apa yang membuat warga asli Wamena seperti Welis merasa ketakutan, ia menjawab keberadaan aparat dan ingatan tentang kerusuhan.

“Kalau ingat kejadian seminggu itu, saya sedih. Apalagi masih banyak polisi, tentara, di jalan-jalan bawa senjata,” tuturnya.

Simak berita-berita menarik lainnya di situs ABC Indonesia.