ABC

Mahkamah Internasional Sepakat Adili Sengketa Laut Timor

Mahkamah Arbitrase internasional sepakat untuk mengadili sengketa perbatasan antara Australia dan Timor Leste yang sudah berlangsung selama satu dekade atas kawasan di Laut Timor yang memiliki kandungan minyak dan gas besar yang diperkirakan mencapai $40 miliar.

Pengadilan Arbitrase Tetap (PCA) “menyatakan bahwa mereka berwenang untuk melanjutkan proses konsiliasi” yang diprakarsai oleh Timor Leste melawan Australia pada bulan April, demikian dikatakan pengadilan yang berbasis di Den Haag tersebut.
Timor Leste bulan lalu mendesak Mahkamah di Den Haag – arbitrase tertua di dunia – untuk membantu mengakhiri sengketa yang telah memperburuk hubungan antara kedua negara, dengan mengatakan negosiasi yang dilakukan sejauh ini telah gagal.
Australia sebaliknya berpendapat Mahkamah Arbitrase Tetap tidak memiliki jurisdiksi dalam kasus persengketaan ini karena Pemerintah Australia sudah menandatangani perjanjian dengan Timor Leste untuk mengesampingkan jalan apapun untuk menyelesaikan kasus persengketaan ini ke pengadilan.
Timor Timur menyambut baik keputusan Mahkamah Arbitrase Tetap (PCA) ini.
“Sama seperti saat kami berjuang begitu keras dan begitu menderita untuk kemerdekaan kami, Timor-Leste tidak akan beristirahat sampai kami memiliki hak berdaulat kami yang lebih baik atas darat dan lautan kami,” kata pahlawan kemerdekaan Timor Leste dan mantan Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao.
Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop mengatakan Australia menerima keputusan komisi dan akan terus terlibat dalam itikad baik seiring kita bergerak ke tahap berikutnya dari proses konsiliasi ini”.
“Kami berkomitmen untuk bekerja sama demi memperkuat hubungan kita dan mengatasi perbedaan-perbedaan kita di laut Timor,” tambahnya.
Pengacara Pemerintah Australia juga telah berusaha mempertahankan pendapat bahwa pihaknya telah memulai pembicaraan dengan Timor Leste melalui pertukaran surat pada tahun 2003 untuk mencoba memecahkan sengketa ini.
Tapi panel mengatakan pertukaran surat antara Australia dan Timor Timur “tidak merupakan perjanjian … karena pertukaran surat itu tidak … mengikat secara hukum”.
Komisi Konsiliasi PCA yang beranggotakan 5 orang memerintah sengketa ini harus diselesaikan di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, bukan perjanjian tahun 2006 – yakni Pengaturan Maritime tertentu di Laut Timor (CMATS) – yang meliputi ladang gas Greater Sunrise yang luas yang terletak di antara kedua negara.
Timor Leste juga telah menyerukan CMATS itu batal setelah menuduh Australia melakukan kegiatan mata-mata untuk mendapatkan keuntungan komersial selama berlangsungnya negosiasi perjanjian tersebut pada tahun 2004.
Namun Timor Leste secara resmi membatalkan kasus gugatan spionase ini terhadap Pemerintah Australia sebelum Mahkamah Konstitusi Internasional PBB pada bulan Juni 2015 setelah Australia mengembalikan dokumen sensitif tersebut.
Pembicaraan berlangsung tertutup
Mahkamah Arbitrase Tetap (PCA) sejauh ini belum menutup kemungkinan turut membahas juga pertempuran diplomatik yang kompleks.
Awal tahun ini komisi ini juga memicu kemarahan di Beijing dengan memenangkan kasus yang diajukan oleh Filipina bahwa klaim China atas Laut China Selatan yang kaya sumber daya itu tidak valid.
PCA, didirikan pada tahun 1899, didedikasikan untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui pengadilan arbitrase, mediasi dan cara lain, dengan mengacu pada perjanjian internasional dan bilateral.
Timor Leste, yang baru merdeka dari pendudukan Indonesia pada tahun 2002, adalah sebuah negara miskin yang sangat tergantung pada ekspor minyak dan gas.
Pengadilan yang berbasis di Den Haag ini mengatakan pembicaraan antara Timor Leste dan Australia mengenai kasus sengketa ini akan terus berlangsung hingga tahun depan, tetapi menekankan pertemuan ini “sebagian besar akan dilakukan dalam pertemuan tertutup”.
Komisi akan terlibat “dalam proses menciptakan hubungan yang positif antara kedua belah pihak untuk mencoba dan mempertemukan mereka bersama-sama ke meja,” kata Aaron Matta, seorang peneliti senior di dari The Hague Institute for Global Justice think-tank.
AFP

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.

Diterjemahkan pada pukul 17:30 WIB, 27/9/2016, oleh Iffah Nur Arifah.