ABC

Lia “Tak Sendirian”, Ada Ribuan Anak Indonesia Hidup dengan HIV

Namanya “Lia”, usianya 14 tahun, siswa kelas 1 SMP di kawasan Jakarta Pusat yang memulai setiap paginya sebelum jam 7 pagi.

Di sekolah, Lia aktif mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, seperti menari yang dilakukan setiap hari Kamis.

Ia juga memiliki bakat menggambar dan melukis, bahkan beberapa hasil lukisannya pernah dipamerkan bersama karya teman-temannya yang lain saat peringatan 17 Agustus.

Tak ada yang membedakan Lia dengan anak-anak seusia lainnya, hanya saja ia harus patuh minum antiretroviral, atau ARV, setiap jam 6 pagi dan 6 sore.

Obat ARV diberikan kepada mereka yang memiliki virus HIV agar bisa menekan jumlah virus sehingga tubuh mereka bisa terus bertahan, seperti Lia yang sudah hidup dengan HIV sejak lahir.

Anak-anak dengan HIV
Seperti anak-anak lainnya, anak-anak yang hidup dengan HIV tetap aktif sekolah dan bermain tanpa ada perbedaan.

Foto: Koleksi Lentera Anak Pelangi

Penggalan cerita tersebut disampaikan oleh Nataysa Sitorus, akrab dengan panggilan Tasya, manajer advokasi Lentera Anak Pelangi di Jakarta kepada ABC Indonesia.

Sudah hampir 10 tahun yayasan tersebut memberikan dukungan kesehatan, psikososial, hingga advokasi kepada anak-anak yang hidup dengan HIV.

Menurutnya tidak semua anak-anak tahu soal kondisinya yang memiliki HIV, tidak pula ada “keharusan” untuk memberi tahu pihak sekolah karena sejumlah pertimbangan.

Natasya Sitorus
Tasya mengatakan anak-anak tidak bisa langung diberi tahu soal kondisi tubuhnya yang memiliki virus HIV.

Foto: Koleksi pribadi

Tasya mengatakan anak-anak tentunya berhak tahu soal kondisinya, tapi informasi harus diberikan secara perlahan, sesuai dengan perkembangan usianya.

“Kita tidak bisa terus menerus mengatakan kalau obat yang mereka minum ini adalah obat untuk cantik atau pintar,” ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

Anak-anak yang hidup dengan HIV harus melakukan kontrol kepada dokter secara rutin, biasanya di tanggal yang sama setiap bulan dan di jam sekolah.

Karenanya mereka seringkali harus bolos dan menimbulkan kecurigaan dari kalangan sekolah, belum lagi jika teman-temannya di kelas bertanya mengapa mereka harus selalu minum obat.

Siapakah yang seharusnya mengurus?

Anak-anak Pelangi 5-110756.jpg
Menjadi tantangan lain saat anak-anak yang hidup dengan HIV dibesarkan oleh keluarga tak mampu dan memiliki pengetahuan soal HIV.

Foto: Koleksi Lentera Anak Pelangi

Menurut data Kementerian Kesehatan, hingga Juli 2019 tercatat ada lebih dari 10 ribu anak-anak berusia 0 sampai 14 tahun yang hidup dengan HIV dari total 349.000 kasus HIV yang dilaporkan di Indonesia.

Kebanyakan dari mereka dilahirkan dari orang tua yang mendapat HIV dari penggunaan jarum suntik narkoba.

Ada pula yang memiliki orang tua yang pernah memiliki perilaku seks yang beresiko, seperti ayah Lia yang kemudian menularkan HIV kepada istrinya lalu kepada Lia, meski dua kakaknya tidak terinfeksi HIV.

Setelah ayahnya meninggal setahun lalu, Lia kini tinggal bersama ibunya.

Tapi ada sejumlah anak-anak yang tinggal bersama kakek dan neneknya, atau dengan sanak saudaranya lainnya.

Tantangan bertambah jika mereka tinggal bersama keluarga dengan keterbatasan atau ketidakmampuan ekonomi ditambah tak memiliki pengetahuan cukup soal HIV.

Puskesmas di Indonesia
Menurut Tasya, Puskesmas saat ini masih terbatas memberi susu formula kepada anak-anak gizi buruk.

Foto: Flickr CC, Program Keluarga Harapan

Anak-anak hidup dengan HIV juga membutuhkan asupan gizi yang baik, tapi sayangnya Departemen Kesehatan tidak punya dukungan untuk pemberian makanan tambahan bagi anak, tambah Tasya,

Misalnya Puskesmas yang hanya memberikan susu formula kepada “anak-anak dengan gizi buruk”, padahal anak-anak dengan HIV belum sampai ke kondisi tersebut.

Karenanya menurut Tasya, Kemenkes seharusnya bisa memberikan program-program yang lebih berkesinambungan bagi anak-anak yang hidup dengan HIV.

Sementara Kementerian Sosial sudah memberikan program rehabilitasi, tapi hanya berjalan enam bulan. Mereka juga memberikan dana bantuan modal usaha, sayangnya hanya terbatas bagi kalangan usia dewasa yang hidup dengan HIV.

Perlunya dukungan moril

Pelatihan untuk anak-anak dengan HIV
Anak-anak telah diberikan pelatihan untuk mempersiapkan diri mereka saat tahu mereka hidup dengan HIV.

Foto: Koleksi Lentera Anak Pelangi

Meminum obat ARV setiap hari membuat anak-anak yang tadinya patuh kelak menjadi bosan, apalagi jika telah beranjak remaja dan memasuki masa pubertas yang berpotensi menjadi “berontak”.

Karenanya Lentera Anak Pelangi mencoba memberikan tambahan informasi, mulai dari menjaga kesehatan reproduksi, pengenalan apa itu HIV, hingga “disiapkan” karena mereka beresiko mendapat perlakukan diskriminatif.

“Yang paling terpenting adalah anak-anak diberi tahu bahwa mereka tidak sendirian, ada banyak anak-anak yang memiliki kondisi sama,” kata Tasya.

Sejak 10 tahun berdiri, Lentera Anak Pelangi telah merawat lebih dari 100 anak-anak yang hidup dengan HIV.

Lewat sekolahnya yang berlokasi di kampus Universitas Katolik Atma Jaya Semanggi, Jakarta Pusat, mereka mencoba memberikan pelatihan untuk keterampilan hidup.

“Kami latih agar mereka bisa berekspresi, percaya pada kemampuannya sendiri, memiliki prestasi,” kata Tasya.

Tujuan utamanya adalah mempersiapkan diri mereka sendiri ketika tahu hidup dengan HIV dan tidak kemudian merasa berbeda atau merasa rendah diri.

Dalam peringatan Hari AIDS Sedunia kemarin (1/12/2019) Lentera Anak Pelangi juga ingin menegaskan soal hak anak dengan HIV untuk mendapatkan obat yang sesuai.

“Saat ini kebanyakan anak-anak mengkonsumsi obat ARV yang dipotong, digerus, karena dosisnya buat orang dewasa, dan rasanya pun pahit,” tambah Tasya.

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia